15.2.09

amoyOleh Akmal MR

Kegelisahan biasanya akan memberikan suatu hal yang benar. Begitulah sebuah ungkapan yang cocok untuk kasus di Sulawesi Tengah dan Aceh. Banyak kalangan remaja yang akhir-akhir ini telah membuang nilai-nilai budaya dan tradisi dalam kehidupannya sehari-hari. Hal itu kemungkinan besar disebakan oleh pengaruh perubahan sosial yang terjadi akibat bercampurnya pola tradisi luar ke dalam suatu wilayah. Tak hanya itu, perubahan juga telah membuat remaja-remaja lupa akan bahasa dan karya daerah.


”Globalisasi yang terjadi bukan malah membuat kami nyaman, melaikan kami harus merasa kehilangan,” ujar Fahmi. Ia adalah selah satu dari sekumpulan anak muda Palu yang menamakan dirinya PEDATI (Pemerhati Budaya dan Tradisi). Menurutnya, perbubahan cara berbahasa di daerahnya terjadi akibat kurang pedulinya pemerintah terhadap hal tersebut.


”Pemerintah setempat seharusnya memiliki tanggung jawab penuh menjaga dan melestarikan kebudayaan. Hilangnya sebuah jabatan mungkin bisa dicari, tapi hilang sebuah tradisi atau bahasa yang memang manjadi ciri khas suatu daerah, mau dicari ke mana, ya kan?” kata pemuda berbadan besar itu.

PEDATI dibentuk oleh sekelompok pemusik yang beragam warna musiknya. Seiring dengan perkembangn dunia musik yang semakin kontemporer, yang menyebabkan terkikisnya warna musik budaya lokal, maka untuk membunuh kejenuhan itu mereka membangun komuitas PEDATI. Kata dia, PEDATI untuk merangsang dan menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap musik tradisi masyarakat Tanah Kaili, Kota Palu, Selawesi Tengah. Masyarakat Tanah Kaili adalah penduduk asli Kota Palu yang akhir-akhir ini menurut PEDATI telah banyak meninggalkan ciri khas mereka.

”Terus terang, anak-anak Palu saat ini telah krisis identitas. Mereka malu berbahasa sendiri, mereka malu membawa gimba (gendrang), kecapi, la love, dan mereka juga malu memperkenalkan tradisi mereka sendiri. Remaja Palu saat ini cenderung apatis. Mereka telah dipengaruhi gaya hidup yang modern. Remaja Tanah Kaili lebih cinta pada musik modern dari pada musik etnic yang menjadi tradisi mereka sendiri.” lanjutnya.

Hadirnya musik modern atau jenis baru menurut mereka sangatlah wajar jika melihat kondisi perkembangan jaman. Ini hal mutlak. Siapa pun tidak akan sanggup membendung hal tersebut. Namun, pernahkah terbayangkan oleh masyarakat luas ketika perkembangan baru itu akan mengikis habis karya lokal?” tuturnya.

Ketika ditanyai bagamaimana respon pemeritah setempat terhadap hal ini, Fahmi mengatakan, PEDATI tidak perlu perhatian dari pemerintah. Keberadaan PEDATI mungkin menjadi sebuah momok bagi pemerintah sendiri. Yang perlu mereka perhatikan adalah masyarakat. Mereka harus mendampingi masyarakat dalam hal apa pun. Masih banyak masyarakat yang termarjinalkan. Tapi, mereka tidak menyadari hal tersebut. Boleh dikatakan mereka lupa dengan suara rakyat. Padahal, tanpa rakyat, tak ada pemerintahan.

”PEDATI akan terus mendampingi masyarakat sampai ke pedalaman tempat di mana pemerintah tidak tahu jalan masuknya. Sederhana, kami akan mendirikan sekolah musik dua warna, yaitu percampuran antara etnik dan modern, agar remaja kota mau mengakui itu ciri khas tanah mereka. Sekolah musik itu akan diajarkan oleh seniman-seniman pelosok yang akan kami cari ke kampung-kampung. Selain bermusik, kami akan mengajarkan bagaimana mencintai bahasa, budaya, dan tradisi agar ada yang melestarikannya nanti,” lanjut penggesek biola ini.

Tak hanya di Sulawesi, kejadian serupa juga telah terjadi di seluruh penjuru nusantara. Hadirnya warna musik modern telah menghilangkan warna musik asli khas suatu daerah meredup. Di Aceh contohnya, banyak band-band yang tersebar di seluruh wilayah ini. Namun, hanya sedikit yang mau berjalan pada aliran musik etnik. Mungkin mereka bukan tidak mencintai musik lokal. Akan tetapi, melihat target pasar yang membidik musisi-musisi untuk terjun ketingkat nasional, ya, melalui musik modern.

”Kami kini sedang mencoba menggarap beberapa lagu yang kami ciptakan sendiri, tetapi kami mencoba melalui musik dua warna, yaitu etnik dan modern. Penggabuangan instrumen Aceh seperti, rapai, serune kalee, dan guenderang dengan instrumen modern (drum, guitar electric, biola, dan keyboard) adalah usaha yang bagus untuk mencapai target pasar,” ungkap Andi, salah seorang musisi lokal Aceh.

Jika musik di Aceh akan berkembang pesat, dengan hal itu juga masyarakat Aceh akan lebih mengenal bahasa Aceh.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pernah menyerukan untuk berbahasa Aceh di dalam pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal itu berujuan untuk melestarikan kembali bahasa Aceh yang telah luput dari mulut-mulut pengguna bahasa. Warna bahasa Aceh sekarang sudahlah sangat bercampur. Mungkin telalu banyak mengikuti trand bahasa gaul. ”Kita akan memulai program ini dengan didasari tekat untuk mengembalikan cinta anak negeri terhadap bahasa daerahnya,” kata Irwandi.

Ini hal yang sangat mudah. Coba kita mulai dari diri sendiri, kemudian teman dekat, lalu masyarakat umum. Berkomunikasi dengan bahasa daerah akan menjadikan kita sebagai orang yang mencintai daerah sendiri. Dengan hal itu kita juga akan mampu menjaga bahasa dan budaya kita.

Bahasa lokal (derah) dan musik etnik adalah dua hal yang cenderung tidak mudah dipahami masyarakat luas. Misalnya seorang Rafly yang cukup tenar di Aceh dengan lagu-lagu etniknya. Rafly telah membawa harum nama Aceh hingga ke berbagai negara di Asia dan Eropa. Album-albumnya laku keras setelah beberapa lagunya diputar dalam berbagai acara untuk mendramatisasi kejadian tsunami di Aceh pada 26 Desember silam. Timbul pertanyaan di sini, apakah selain orang Aceh akan mengerti bahasa Rafly?

Musik etnik memang perlu dilestarikan. Namun, apakah musik modern harus di hilangkan? Sudah barang tentu tidak. Namun, menjaga akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat membuat karya lokal hilang boleh-boleh saja. Selain Rafly dan Kande Band, ada beberapa Band etnik di Aceh yang menyerukan hal senada seperti PEDATI di Palu. Mereka adalah komunitas Raket dan Bidjeh Band. Grup musik tersebut ingin lebih jauh memperkenalkan warna baru musik Aceh dengan penggabungan pola musik modern dan etnik. Tak hanya instrumen yang digunakan, tetapi juga pada irama dan nada. Liza Aulia dengan tren modernnya mengangkat warna musik etnik menjadi lebih mendunia. Contohnya pada lagu ”Kutidhieng”. Hingga saat ini nama Liza Aulia melejit karena warna musik yang diangkatnya mudah diterima oleh masyarakat luas.

Ini adalah beberapa permasalahan yang semestinya menjadi pertimbangan bersama. Apakah kita akan selalu menjadi orang yang mencoba-coba modern atau kita terus akan menjadi orang-orang tradisi? Adalah kita yang semestinya paham dengan kondisi dan keadaan kita selama ini. Boleh saja kita menjadikan musik-musik modern sebagai bahan pembelajaran untuk menjadikan warna etnic menjadi lebih mendunia.

Banyak orang-orang tidak mengerti apa maksud lagu-lagu Dream Theater, Gun N’ Roses, The Beatles, dan Metalika. Namun, berjuta masyarakat Indonesia mencintai gaya musik mereka, meskipun tidak mengerti maksud lagu-lagu mereka. Nah, sekarang gilaran orang Indonesia yang akan menjadikan musik tradisi dikenal luas di seluruh dunia. Meskipun banyak yang tidak mengerti. Bukankah seperti itu, Ampon?

Mahasiswa FKIP Unsyiah. Aktif di Gemasastrin dan Episentrum Uleekareng

5 comments:

imi surya putera said...

Lebih bagusnya jika anda menulis artikel di site ini menggunakan bahasa Aceh supaya lebih spesifik.
Saya sendiri berencana mulai bulan depan akan membuat site saya ini menjadi bilingual ; dalam bahasa Indonesia dan bahasa Banjar (Kalimantan, mirip bahasa Melayu). Masalah musik etnis, kita harus prihatin. Tapi ini menyangkut selera pasar yang saat ini menyukai syair2 bertema tentang cinta. Kuping anak muda kita kini sudah terbiasa dengan irama musik Barat dan Dangdut Koplo, serta house music. Kuping mereka akan menolak musik bernuansa etnis ; gamelan, atau misalkan keroncong. Tinggal para pemerhati dan pengembang budaya etnis di daerah masing2 yang berupaya keras membuat semacam inovasi atau berkolaborasi terhadap musik atau budaya modern.
Salam dari www.imisuryaputera.co.cc

oldevilmoon said...

saya ingin tau lirik lagu kutidhieng, bisa bantu ga?
saya orang jawa tapi suka sekali lagu aceh
ya meskipun saya juga ga tau sama sekali tentang bahasa aceh.

kalau ada tolong dikirim ke email saya di satria.janar@gmail.com

salam kenal dan terimakasih

akmal MR said...

mungkin dalam beberapa hari lagi saya kirim,
lagu Kutidhieng adalah sebuah buah nyayian yang menggunakan lirik syair tarian Aceh. dia tidak memiliki makna yang jelas. jadi susah menulisnya kembali. tapi akan saya usahakan. terima kasih telah berkunjung.

SUAKCOT said...

dimn bisa download lagu mp3 raket ma bidjeh

Dawz said...

http://www.youtube.com/watch?v=ByDaq8_tdkA versi lain kutidhieng dinyanyikan oleh Rafika dari aceh.. :) semoga semakin memperkaya musik tradisi bangsa :)