3.10.13

"Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati" (QS. 3 : 185).

Setiap makhluk bernyawa pasti akan kembali pada hakikatnya yakni kematian. Sederhananya, hidup itu harus mati. Hanya saja tibanya kematian seseorang itu tidak akan pernah bisa disangka. Allah telah menettapkan kematian sebagai suatu hal yang pasti. Tak ada tawar menawar soal ini. Tak Tak ada manusia yang bisa memastikan kapan ajalnya akan datang. Namun, yang jelas semua makhluk bernyawa pasti akan mati.

dokumentasi pribadi Masril, S.Pd.
Pagi sekali, saat pertama kali aku melihat handphone, aku membaca pesan singkat dari sebuah status blackberry teman. “innalillahi wa innailaihi raji'un...., selamat jalan, teman!” begitu kira status yang akhirnya membuat aku bertanya apa gerangan dan siapa yang telah pulang ke pangkuan Allah itu. Dan ternyata ia adalah Masril bin Muhammad Yusuf. Sosok yang mungkin tak begitu dekat dengan aku secara pribadi. Tapi ini berita duka yang paling dahsyat yang pernah aku dapatkan.

Masril, begitu sapaan akrab bagi pemuda yang berumur 27 tahun kelahiran Gampong Meunasah Meucat, Kecamatan Nisam, Aceh Utara ini. Masril adalah teman seperjuanganku dalam pengabdian bersama sekumpulan guru Aceh yang ditempatkan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Program yang diusung oleh dikti yang bertajuk SM3T inilah yang membawa Masril ke kabupaten Anambas Provinsi Kepulauan Riau.


Masril sendiri ditugaskan mengabdi di SMP Negeri Satu Atap Telaga Kabupaten Kepulauan Anambas di Provinsi Riau. Dalam mengabdi, tentu banyak kisah yang telah ia siapkan untuk diceritakan sewaktu tiba di Aceh. Hanya saja, pejuang pendidikan ini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Tarempa saat hendak pulang ke Banda Aceh.

Program Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) yang kami ikuti ini dimulai pada bulan Oktober 2012. Dari LPTK Unsyiah, kami di bagi ke tiga wilayah penempatan. Saya sendiri bertugas di Kabupaten Sanggau yang berhadapan langsung dengan negara Serawak, Malaysia. Teman-teman lainnya ditempatkan di Kab. Anambas, Kepulauan Riau dan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dalam pengabdian selama setahun di daerah “orang” suka duka tentu menjadi hal terpenting yang kemudian menguatkan hubungan kami antar sesama guru dari Aceh dan siswa serta warga tempat kami mengabdi.

Dan kepergian Masril secara tiba-tiba seperti ini pada akhirnya menyisakan duka begitu mendalam bagi kami yang merupakan teman seperjuangannya. Khususnya pendidikan Indonesia, patutlah luka karena telah ditnggalkan oleh pemuda yang telah memberikan kontribusi banyak terhadap pendidikan negara ini.

Sama hal dengan teman-teman lainnya, dalam pengabdian yang telah dilalui selama setahun kebelakang, Masril tentu memberikan cukup banyak kontribusi yang kemudian berdampak positif bagi daerah penempataannya yakni kabupaten Anambas. Ia telah menginspirasi siswa-siswanya untuk terus berkreativitas agar kelak bangsa dan negara ini memiliki pendidikan yang bagus. Dan kepergiannya, sekali lagi, menjadi kabar mengejutkan.

Mengabdi di daerah tertinggal bukan perkara yang mudah. Selain mengajar, tentu kita perlu beradaptasi dengan masyarakat agar proses panjang “memajukan” pendidikan di Indonesia ini bisa terjangkau. Nah, aku pikir Masril telah mengabdi dengan baik sehingga pada nisannya tertorehkan tulisan bertinta emas dengan ucapan seperti ini: “Aku adalah seorang guru, aku pergi bukan karena berkhianat, bukan karena berbuat salah tetapi aku pergi karena Allah telah memanggilku namun aku telah mengabdi, aku telah berbuat banyak, aku telah memberikan sesuatu terhadap bangsa tercinta ini” Itu adalah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten Anambas kepada Masril.

Jasad almarhum telah dimakamkan di Pemakaman Umum dekat masjid Jamik di Terempa, setelah ada persetujuan pihak keluarga di Nisam dan pihak Unsyiah. Secara pribadi, kepergian Masril menjadi duka yang begitu dalam bagi saya sendiri. Teman diskusi selama prakondisi ini harus lebih dulu dipanggil Allah.

Pasca kejadian ini, dibeberapa grup sosial media, teman-teman khusunya guru SM3T cukup terkejut dengan keputusan LPTK Unsyiah yang langsung berkoordinasi dengan dinas pendidikan Kabupaten Anambas yang mengambil kebijakan untuk mengebumikan jenazah Masril di Kabupaten Anambas, Kepri yang cukup jauh dari tanah kelahirannya, Aceh. Ini menjadi berita mencengangkan. Sejauh ini duka kami bertambah bila mengingat keputusan ini bisa diambil begitu cepat.

Menurut kabar dari teman, Masril meninggal dalam perjalanan dari hotel menuju kerumah sakit di ibu kota Anambas, Tarempa. Ia bersama 123 guru SM3T yang sudah berada di hotel ditempat persinggahan yang rencananya pagi itu, Senin (30/9/13) akan berangkat menuju Tanjung Pinang dengan menggunakan kapal laut.

Tengah malam, Masril mengeluhkan kondisi kesehatannya. Ia mengeluh masuk angin. Sempat dipijat rekan-rekannya. Sempat muntah dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Saat dalam perjalanan, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Berita duka ini kemudian cepat menyebar via blackberry.

Akhirnya berita dukalah yang kami dapatkan saat hendak menyambut kepulangan pejuang pendidikan dari Anambas ini. Betapa tidak, keluarga awalnya telah menunggu dengan begitu rindu dan bahagginya. Ya, kepulangan yang harusnya disambut haru atas perjuangan setahun ini harus menjadi sebegitu sedih akibat berita ini.

"Sebelum meninggal, Masril mengeluh masuk angin sehingga dipijat rekan-rekannya. Kemudian, ia harus dibawa ke Rumah Sakit. Nah dalam perjalanan ke RS, ia meninggal. Kami telah berupaya maksimal agar jenazah bisa dipulangkan ke Aceh, termasuk berkoordinasi dengan pihak KASAL Kepri agar bisa dibawa pulang dengan pesawat mereka, tetapi tak bisa juga karena pesawat mereka sedang latihan," kata Rektor kepada Serambi, Senin (30/9/2013) siang.

Ini memang kendak  ilahi. Saya dan kawan-kawan tentu tidak bisa berbuat banyak. Ya, kali ini hanya meratapi kesedihan dan terus berdoa agar keluarga yang ditinggalkan bisa tabah menghadapi cobaan serupa ini. Awalnya kami semua (teman-teman seangkatan dan keluarga) sangat berharap bisa melihat jasad Masril dimakamkan ditanah kelahirannya. Bahkan kami telah sempat berkoordinasi untuk menjemput jenazah di bandara internasional Sultan Iskandar Muda jika saja kawan kami itu bisa dibawa pulang ke Aceh. Tapi nasib berkata lain. Jasad Masril kini sudah beristirahat dengan tenang di tempat jauh di sana.

Menurut pihak LPTK Unsyiah, mereka telah berkoordinasi dengan berbagai pihak bahkan juga dengan pihak KASAL Kepri untuk membawa pulang jenazah Masril. Tapi karena berbagai alasan, akhirnya pihak LPTK dan Dinas Pendidikan Kabupaten Anambas mengambil langkah untuk langsung mengebumikan jasad masril di Anambas.

Keputusan tersebut mendapat respon dari berbagai pihak. Kawan-kawan merasa kecewa dengan sikap pengambil kebijkan terhadap masalah ini. Meskipun telah diikhlaskan keluarga, dan pihak LPTK juga telah berjanji untuk memfasilitasi keluarga Masril untuk berziarah ke makam Masril, tentu rasa ingin melihat jasad Masril hanya akan tinggal dibenak. Hal ini tak akan pernah terwujud lagi.

Mengutip sebuah pernyataan teman saya, Darman Reubee dalam tulisannya, “Teman mana yang tega meninggalkan temannya sendirian di tanah orang, apalagi yang ditinggalkan adalah tubuh yang tak bernyawa. Mereka semu tidak tega, mereka semua tidak ikhlas tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak mampu, mereka juga tidak punya wewenang karena masih ada orang yang paling mampu dan berwenang dalam memulangkan jasad anak malang tersebut.”

Memang kami akhirnya juga harus ikhlas dan percaya bahwa koordinasi yang dibangun oleh pihak Pemerintah Kepulauan Anambas, LPTK Universitas Syiah Kuala dan Kementrian Pendidikan Nasional untuk berusaha memulangkan jenazah Masril ke Aceh telah maksimal. Hanya saja kehendak berkata tidak seperti harapan.

Ini tentu mengingatkan kami pada kasus teman seperjuangan kami dari SM3T asal UPI Bandung yang meninggal di  Simpang  Jernih, Aceh Timur. Dalam pengabdian, mereka gugur. Boat yang ditumpangi mereka terjungkal karena arus sungai yang terlalu deras. Dengan bantuan berbagai pihak, korban berhasil ditemukan dan pada akhirnya jenazah diserahkan kepada keluarga mereka untuk disemayamkan. 

Dalam akun twitter resminya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh merespon berbagai yang ditanyai oleh teman-teman SM3T terkait kenapa jenazah Masril tidak bisa dipulangkan ke Aceh. Kata Muhammad Nuh, Kemdikbud dan Unsyiah telah menyiapkan dana termasuk carter pesawat. Karena cuaca buruk tak ada pesawat yang bersedia. Kemudian diusahakan dibawa via kapal laut. Namun keluarga almarhum tak bersedia. Akhirnya keluarga bersedia almarhum dimakamkan di tempat. Pemakaman Masril juga dihadiri pihak keluarga dan teman-teman sm3t lainnya. Jadi, isu mengenai tidak ada perhatian dari pemerintah mohon untuk objektif menanggapinya.

Kemarin pagi, beberapa teman didampingi pihak LPTK Unsyiah telah berkunjung ke rumah duka di Nisam, Aceh Utara. Melihat keluarga korban yang begitu tegar menghadapi hal ini, semua pada akhirnya hanya bisa menitipkan doa agar Masril mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT dan kepada keluarga yang ditinggalkan, agar tetap tabah dan nantinya bisa menziarahi makam Masril.

Foto Masril, S.Pd
Selamat jalan, kawan! Perjuangan yang telah kau mulai di sana akan dilanjutkan oleh siswamu. Mereka akan terus mengenangmu sebagai sosok yang telah menjadi bagian dari hidup mereka. Begitu juga kami. Kenangan tentang kepedihan ini tentu menyisakan kesedihan dan duka mendalam. Tapi kami percaya bahwa langkah, raseuki, peuteumeun, mawot pajan troh hat han ek tapike.  (Langkah, rezeki, pertemuan, maut kapan datang tak mampu diprediksi). Semua akan kembali kepada sang pemilik. Hanya saja kami masih di dunia ini, sebelum dijemput pula, akan selalu siap melanjutkan perjuanganmu, kawan!  

Selamat jalan, pejuang! Mulialah ilmu yang telah kau berikan!
Duka mendalam!



0 comments: