"Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati" (QS. 3 : 185).
Setiap makhluk
bernyawa pasti akan kembali pada hakikatnya yakni kematian. Sederhananya, hidup
itu harus mati. Hanya saja tibanya kematian seseorang itu tidak akan
pernah bisa disangka. Allah telah menettapkan kematian sebagai suatu hal yang
pasti. Tak ada tawar menawar soal ini. Tak Tak ada manusia yang bisa memastikan
kapan ajalnya akan datang. Namun, yang jelas semua makhluk bernyawa pasti akan
mati.
dokumentasi pribadi Masril, S.Pd. |
Pagi sekali,
saat pertama kali aku melihat handphone, aku membaca pesan singkat dari sebuah
status blackberry teman. “innalillahi wa innailaihi raji'un...., selamat jalan,
teman!” begitu kira status yang akhirnya membuat aku bertanya apa gerangan dan
siapa yang telah pulang ke pangkuan Allah itu. Dan ternyata ia adalah Masril
bin Muhammad Yusuf. Sosok yang mungkin tak begitu dekat dengan aku secara
pribadi. Tapi ini berita duka yang paling dahsyat yang pernah aku dapatkan.
Masril,
begitu sapaan akrab bagi pemuda yang berumur 27 tahun kelahiran Gampong
Meunasah Meucat, Kecamatan Nisam, Aceh Utara ini. Masril adalah teman
seperjuanganku dalam pengabdian bersama sekumpulan guru Aceh yang ditempatkan
di daerah terdepan, terluar dan tertinggal. Program yang diusung oleh dikti
yang bertajuk SM3T inilah yang membawa Masril ke kabupaten Anambas Provinsi
Kepulauan Riau.
Masril
sendiri ditugaskan mengabdi di SMP Negeri Satu Atap Telaga Kabupaten Kepulauan
Anambas di Provinsi Riau. Dalam mengabdi, tentu banyak kisah yang telah ia
siapkan untuk diceritakan sewaktu tiba di Aceh. Hanya saja, pejuang pendidikan
ini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Tarempa saat hendak pulang ke
Banda Aceh.
Program
Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) yang kami ikuti
ini dimulai pada bulan Oktober 2012. Dari LPTK Unsyiah, kami di bagi ke tiga
wilayah penempatan. Saya sendiri bertugas di Kabupaten Sanggau yang berhadapan
langsung dengan negara Serawak, Malaysia. Teman-teman lainnya ditempatkan di
Kab. Anambas, Kepulauan Riau dan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dalam
pengabdian selama setahun di daerah “orang” suka duka tentu menjadi hal
terpenting yang kemudian menguatkan hubungan kami antar sesama guru dari Aceh
dan siswa serta warga tempat kami mengabdi.
Dan
kepergian Masril secara tiba-tiba seperti ini pada akhirnya menyisakan duka
begitu mendalam bagi kami yang merupakan teman seperjuangannya. Khususnya
pendidikan Indonesia, patutlah luka karena telah ditnggalkan oleh pemuda yang
telah memberikan kontribusi banyak terhadap pendidikan negara ini.
Sama hal
dengan teman-teman lainnya, dalam pengabdian yang telah dilalui selama setahun
kebelakang, Masril tentu memberikan cukup banyak kontribusi yang kemudian berdampak
positif bagi daerah penempataannya yakni kabupaten Anambas. Ia telah
menginspirasi siswa-siswanya untuk terus berkreativitas agar kelak bangsa dan
negara ini memiliki pendidikan yang bagus. Dan kepergiannya, sekali lagi,
menjadi kabar mengejutkan.
Mengabdi di
daerah tertinggal bukan perkara yang mudah. Selain mengajar, tentu kita perlu
beradaptasi dengan masyarakat agar proses panjang “memajukan” pendidikan di
Indonesia ini bisa terjangkau. Nah, aku pikir Masril telah mengabdi dengan baik
sehingga pada nisannya tertorehkan tulisan bertinta emas dengan ucapan seperti
ini: “Aku adalah seorang guru, aku pergi
bukan karena berkhianat, bukan karena berbuat salah tetapi aku pergi karena
Allah telah memanggilku namun aku telah mengabdi, aku telah berbuat banyak, aku
telah memberikan sesuatu terhadap bangsa tercinta ini” Itu adalah
penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten Anambas kepada Masril.
Jasad
almarhum telah dimakamkan di Pemakaman Umum dekat masjid Jamik di Terempa,
setelah ada persetujuan pihak keluarga di Nisam dan pihak Unsyiah. Secara
pribadi, kepergian Masril menjadi duka yang begitu dalam bagi saya sendiri.
Teman diskusi selama prakondisi ini harus lebih dulu dipanggil Allah.
Pasca
kejadian ini, dibeberapa grup sosial media, teman-teman khusunya guru SM3T
cukup terkejut dengan keputusan LPTK Unsyiah yang langsung berkoordinasi dengan
dinas pendidikan Kabupaten Anambas yang mengambil kebijakan untuk mengebumikan
jenazah Masril di Kabupaten Anambas, Kepri yang cukup jauh dari tanah
kelahirannya, Aceh. Ini menjadi berita mencengangkan. Sejauh ini duka kami
bertambah bila mengingat keputusan ini bisa diambil begitu cepat.
Menurut
kabar dari teman, Masril meninggal dalam perjalanan dari hotel menuju kerumah
sakit di ibu kota Anambas, Tarempa. Ia bersama 123 guru SM3T yang sudah berada
di hotel ditempat persinggahan yang rencananya pagi itu, Senin (30/9/13) akan
berangkat menuju Tanjung Pinang dengan menggunakan kapal laut.
Tengah
malam, Masril mengeluhkan kondisi kesehatannya. Ia mengeluh masuk angin. Sempat
dipijat rekan-rekannya. Sempat muntah dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Saat dalam perjalanan, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Berita duka ini
kemudian cepat menyebar via blackberry.
Akhirnya
berita dukalah yang kami dapatkan saat hendak menyambut kepulangan pejuang
pendidikan dari Anambas ini. Betapa tidak, keluarga awalnya telah menunggu
dengan begitu rindu dan bahagginya. Ya, kepulangan yang harusnya disambut haru
atas perjuangan setahun ini harus menjadi sebegitu sedih akibat berita ini.
"Sebelum
meninggal, Masril mengeluh masuk angin sehingga dipijat rekan-rekannya.
Kemudian, ia harus dibawa ke Rumah Sakit. Nah dalam perjalanan ke RS, ia
meninggal. Kami telah berupaya maksimal agar jenazah bisa dipulangkan ke Aceh,
termasuk berkoordinasi dengan pihak KASAL Kepri agar bisa dibawa pulang dengan
pesawat mereka, tetapi tak bisa juga karena pesawat mereka sedang
latihan," kata Rektor kepada Serambi, Senin (30/9/2013) siang.
Ini memang
kendak ilahi. Saya dan kawan-kawan tentu
tidak bisa berbuat banyak. Ya, kali ini hanya meratapi kesedihan dan terus
berdoa agar keluarga yang ditinggalkan bisa tabah menghadapi cobaan serupa ini.
Awalnya kami semua (teman-teman seangkatan dan keluarga) sangat berharap bisa
melihat jasad Masril dimakamkan ditanah kelahirannya. Bahkan kami telah sempat
berkoordinasi untuk menjemput jenazah di bandara internasional Sultan Iskandar
Muda jika saja kawan kami itu bisa dibawa pulang ke Aceh. Tapi nasib berkata
lain. Jasad Masril kini sudah beristirahat dengan tenang di tempat jauh di
sana.
Menurut
pihak LPTK Unsyiah, mereka telah berkoordinasi dengan berbagai pihak bahkan
juga dengan pihak KASAL Kepri untuk membawa pulang jenazah Masril. Tapi karena
berbagai alasan, akhirnya pihak LPTK dan Dinas Pendidikan Kabupaten Anambas
mengambil langkah untuk langsung mengebumikan jasad masril di Anambas.
Keputusan
tersebut mendapat respon dari berbagai pihak. Kawan-kawan merasa kecewa dengan
sikap pengambil kebijkan terhadap masalah ini. Meskipun telah diikhlaskan
keluarga, dan pihak LPTK juga telah berjanji untuk memfasilitasi keluarga
Masril untuk berziarah ke makam Masril, tentu rasa ingin melihat jasad Masril
hanya akan tinggal dibenak. Hal ini tak akan pernah terwujud lagi.
Mengutip
sebuah pernyataan teman saya, Darman Reubee dalam tulisannya, “Teman mana yang tega meninggalkan temannya
sendirian di tanah orang, apalagi yang ditinggalkan adalah tubuh yang tak
bernyawa. Mereka semu tidak tega, mereka semua tidak ikhlas tetapi mereka tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak mampu, mereka juga tidak punya wewenang
karena masih ada orang yang paling mampu dan berwenang dalam memulangkan jasad
anak malang tersebut.”
Memang kami
akhirnya juga harus ikhlas dan percaya bahwa koordinasi yang dibangun oleh
pihak Pemerintah Kepulauan Anambas, LPTK Universitas Syiah Kuala dan Kementrian
Pendidikan Nasional untuk berusaha memulangkan jenazah Masril ke Aceh telah
maksimal. Hanya saja kehendak berkata tidak seperti harapan.
Ini tentu
mengingatkan kami pada kasus teman seperjuangan kami dari SM3T asal UPI Bandung
yang meninggal di Simpang Jernih, Aceh Timur. Dalam pengabdian, mereka
gugur. Boat yang ditumpangi mereka terjungkal karena arus sungai yang terlalu
deras. Dengan bantuan berbagai pihak, korban berhasil ditemukan dan pada
akhirnya jenazah diserahkan kepada keluarga mereka untuk disemayamkan.
Dalam akun twitter resminya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh merespon berbagai yang
ditanyai oleh teman-teman SM3T terkait kenapa jenazah Masril tidak bisa
dipulangkan ke Aceh. Kata Muhammad Nuh, Kemdikbud dan Unsyiah telah menyiapkan
dana termasuk carter pesawat. Karena cuaca buruk tak ada pesawat yang bersedia.
Kemudian diusahakan dibawa via kapal laut. Namun keluarga almarhum tak
bersedia. Akhirnya keluarga bersedia almarhum dimakamkan di tempat. Pemakaman
Masril juga dihadiri pihak keluarga dan teman-teman sm3t lainnya. Jadi, isu
mengenai tidak ada perhatian dari pemerintah mohon untuk objektif
menanggapinya.
Kemarin
pagi, beberapa teman didampingi pihak LPTK Unsyiah telah berkunjung ke rumah
duka di Nisam, Aceh Utara. Melihat keluarga korban yang begitu tegar menghadapi
hal ini, semua pada akhirnya hanya bisa menitipkan doa agar Masril mendapat
tempat yang layak di sisi Allah SWT dan kepada keluarga yang ditinggalkan, agar
tetap tabah dan nantinya bisa menziarahi makam Masril.
Foto Masril, S.Pd |
Selamat jalan, kawan! Perjuangan yang telah kau mulai di sana akan dilanjutkan
oleh siswamu. Mereka akan terus mengenangmu sebagai sosok yang telah menjadi
bagian dari hidup mereka. Begitu juga kami. Kenangan tentang kepedihan ini
tentu menyisakan kesedihan dan duka mendalam. Tapi kami percaya bahwa langkah, raseuki, peuteumeun, mawot pajan
troh hat han ek tapike. (Langkah,
rezeki, pertemuan, maut kapan datang tak mampu diprediksi). Semua akan kembali
kepada sang pemilik. Hanya saja kami masih di dunia ini, sebelum dijemput pula,
akan selalu siap melanjutkan perjuanganmu, kawan!
Selamat
jalan, pejuang! Mulialah ilmu yang telah kau berikan!
Duka
mendalam!
0 comments:
Post a Comment