Dan ini pagi pertama saya berada di Bumi Pemuda Rahayu yang merupakan
lokasi utama workshop “Kreativitas dan kesiagaan Bencana” yang dilaksanakan
oleh Rujak Center for Urban Studies bekerjasama dengan ARKOM Jogja. Kegiatan
yang berlangsung pada 31 Agustus – 02 September 2013 di Yogyakarta dan Bantul ini didukung oleh The Japan
Foundation.
dan ini adalah Bumi Pemuda Rahayu |
Sambil menikmati sarapan pagi, semua peserta dipersilakan berkumpul
sehingga perkenalan kegiatan berlangsung dengan khidmat. Tidak lama setelahnya,
Marco Kusumawijaya yang merupakan direktur Rujak ini membuka sesi pertama.
Perkenalan secara kecil untuk melanjutkan diskusi singkat pada malam sebelumnya
ini hanya sebatas gambaran awal atau skema apa yang akan dibicarakan pada
workshop ini secara keseluruhan.
Setelah perkenalan, tentu saja acara akan dilanjutkan. Dan ini tentu
serius. Benar! Kata mbak Dian Tri workshop ini ditujukan untuk mempertemukan
beragam pihak yang selama ini berkecimpung di isu kebencanaan (pemerintah,
penyintas dan pekerja kemanusiaan) juga pekerja kreatif untuk bersama memproduksi
pendekatan kesiagaan bencana yang lebih menarik dan kreatif.
Maka oleh itu adalah mereka yang berkumpul hari ini adalah orang-orang
yang sejatinya mereka yang kreatif diberbagai bidang. Lihat saja ada mahasiswa
antropoligi, pekerja seni, arsitektur dan ini dia, kata mbak Dian Tri lagi,
peserta datang dari wilayah berbeda dengan tipologi bencana yang berbeda,
seperti Aceh (Tsunami), Sumatera Barat (gempa bumi), Yogyakarta dan Bantul
(letusan gunung merapi dan gempa bumi) juga Jakarta (banjir).
Kegiatan ini tentu mendapat respon positif oleh berbagai pihak. Ini
dibuktikan oleh jalannya kegiatan yang dibagi atas dua sesi. Ya, pertama adalah
tugas penyintas memberi pengetahuan tentang kejadian bencana yang mereka alami
serta bagaimana cara awalnya kondisi yang dihadapi saat mereka menanggulangi
bencana tersebut. Dari semua data yang masuk, baru kemudian sesi diskusi
kelompok berlangsung untuk menemukan ide-ide kreatif terkait kesiapsiagaan
bencana!
Nah, dari sesi ini, menurut catatan dari notulensi, terangkum poin
penting yaitu bahwa pengetahuan kesiagaan
bencana hanya dimiliki oleh sebagian orang. Kemungkinan besar hal
ini disebabkan karena:
Produksi pengetahuan belum dilakukan bersama. Penentuan jalur evakuasi
dan penentuan lokasi pengungsian masih dilakukan secara sepihak, oleh
pemerintah, dan belum secara maksimal melibatkan masyarakat.
Salah satu contoh nya adalah pengalaman penyintas dari Aceh, Ibu
Nilawati, di mana pada saat gempa bumi besar tahun ini banyak warga yang tidak
lari menyelamatkan diri ke Gedung Tsunami, sebagaimana dilatih tiap tahunnya
pada peringatan Tsunami. Sebagian besar warga justru lari menyelamatkan diri ke
wilayah yang lebih jauh. Pilihan warga ini bukan tanpa alasan. Tsunami lalu
memberikan mereka pengetahuan bahwa menyelamatkan diri ke wilayah tertentu
(semisal Ketapang) yang berada di daratan tinggi terbukti menyelamatkan mereka.
dan ini adalah diskusi |
Begitu juga pengalaman mereka terkait bangunan gedung. Dari pengalaman
Tsunami, bangunan gedung termasuk bangunan yang tidak selamat dari Tsunami.
Kepercayaan warga juga cukup kuat bahwa masjid lebih aman sebagai tempat
pengungsian. Bersama memproduksi pengetahuan menjadi catatan penting karena
masih ada perbedaan cara pandang penyintas dan pemerintah tentang kesiagaan
bencana.
Salah satu contoh adalah kelompok penyintas Merapi di mana terdapat tiga
(3) dusun (Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srenen) yang menetap di wilayah
Kawasan Rawan Bencana (KRB 3). Sejak letusan besar di tahun 2010 lalu, tiga
dusun ini menetapkan prinsip “Living in Harmony with Disaster”. Pesan tersebut
mengakar karena kuatnya desakan dari pemerintah setempat untuk merelokasi warga
yang masih tinggal di kawasan tersebut. Bagi warga, pilihan menetap di kawasan
yang dikategorikan sebagai Kawasan Rawan Bencana bukan tanpa persiapan. Hingga
saat ini, warga telah terorganisir membentuk Komunitas Siaga Merapi. Secara
ekonomi, warga juga bersiaga dengan membetuk tabungan komunitas berupa tabungan
bencana yang dikumpulkan melalui metode jimpitan.
Sebagai bentuk upaya penyadaran, komunitas ini, bersama ARKOM Jogja,
membuat film dokumentasi yang merekam proses pendidikan kesiagaan bencana di
tingkat anak-anak melalui metode gambar. Kesiagaan warga di 3 dusun lereng
Merapi bukannya tanpa dasar pengetahuan. Apa yang kita kerap sebut sebagai
kearifan lokal telah mereka praktekkan selama ini. Pengetahuan yang dihasilkan
dari proses hidup bersama alam membantu warga dalam menyiagakan diri terhadap
bencana. Bunyi gemeretak pohon bambu, binatang yang berlarian, kelompok burung
yang migrasi, merupakan pertanda bencana dan pengetahuan bagi warga untuk
bersiaga. Hal ini masih sulit dimengerti oleh pemerintah, khususnya dalam
penetapan sistem peringatan dini (early warning system). Penetapan standar
siaga dari pemerintah, yang didasarkan pada teknologi, menjadi terlihat
bertolak belakang dengan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat.
ini Nagata lagi ngasih workshop |
Catatan ini menjadi pendorong dilaksanakan nya workshop kreativitas dan
kesiagaan bencana. Pengetahuan kesiagaan bencana yang belum tersebar ke
masyarakat mensyiratkan dua hal, terkait pengemasan produk pengetahuan dan cara
penyebaran pengetahuan itu sendiri. Narasumber workshop, yaitu Hirokazu Nagata
dan Takayuki Shimizu dihadirkan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka
terkait kesiagaan bencana. Hirokazu Nagata adalah seorang arsitek yang bersama
lembaganya, +arts, diminta oleh
Pemerintah Kobe untuk merancang strategi penyebaran pengetahuan kesiagaan
bencana gempa. Dengan pendekatan kreatif dan pengemasan menarik melalui visual
arts, Nagata telah mengkampanyekan kesiagaan bencana selama lima tahun
terakhir.
ini lagi serius! nge-bambu |
Menggandeng perusahaan, termasuk toko Muji, dan lembaga pendidikan,
Nagata mengupayakan agar produk pengetahuan siaga bencana bisa tersebar ke
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bicara kreativitas, Takayuki Shimizu,
seorang pengrajin bambu dari Kota Beppu, memberikan workshop kerajinan bambu
kepada pengrajin bambu yang tersebar di desa-desa sekitar Bumi Pemuda Rahayu.
Di hari kedua workshop, peserta merumuskan beragam pendekatan kreatif
terkait kampanye kesiagaan bencana. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok
berdasarkan tipologi bencana yang disebutkan di atas. Ide yang muncul dari
diskusi kelompok terkait kesiagaan bencana sangat menarik. Untuk mensosialisasikan
keberadaan dan fungsi gedung tsunami, kelompok tsunami menawarkan ide seperti
“game virtual tsunami”, festival tsunami, dan lain lain. Game virtual tsunami
ditujukan sebagai simulasi bencana. Prinsip di balik serangkaian ide ini adalah
mendekatkan keberadaan dan fungsi gedung tsunami dalam kehidupan sehari hari
warga.
Untuk gempa bumi di Sumatera Barat, kelompok peserta mengusulkan konsep
yang bernama “Gadang Bagoyang”, yaitu alat sederhana berupa kerajinan berbentuk
rumah gadang yang dipasang di rumah sebagai penanda adanya getaran untuk
peringatan dini atas gempa bumi. Strategi yang ditawarkan terkait kesiagaan
terhadap bencana dimulai dari level keluarga/rumah tangga yang kemudian akan
menyebar hingga level komunitas. Kumpulan ide kreatif dari empat kelompok dapat
diunduh di sini. Di akhir workshop, peserta mempresentasikan ide-ide kreatifnya
dalam sebuah konferensi yang diadakan di Balai Bambu, Pakuncen, Yogyakarta.
Rencana tindak lanjut workshop adalah undangan dari the Japan Foundation untuk
peserta mengirimkan proposal program sebagai upaya merealisasikan proposal yang
dihasilkan.
Diskusi antar beragam pihak penting untuk terus dilakukan. Proses yang
dilakukan selama workshop kemarin menjadi media diskusi pertukaran pengetahuan
dan cara pandang terkait kebencanaaan. Diskusi
lintas latar belakang memunculkan banyak ide tentang strategi dan
pendekatan kesiagaan bencana yang lebih kreatif.
ini adalah orang-orang kreatif itu |
Dan itulah yang saya alami dalam kegiatan kreatif tersebut. Banyak bencana di Indonesia datang secara tiba-tiba. Namun, dengan adanya pengetahuan awal terhadap bencana tersebut, kita berharap bisa mengurangi dampak dari hal ini. Semoga selalu dalam lindungan tuhan yang maha kuasa!
Ohya,,, saya hampir melupakan sesuatu yang unik. Dan ini seru sekali. Jadi begini, saat acara perpisahan terakhir, teman saya bernama Al membikin semua penonton jadi terpana. Ya, dia mempertunjukkan sebuah atraksi seni yang luar biasa. Dia membunyikan suara-suara aneh dari pentas kecil, gerakan-gerakan unik dari tubuh dan hal lainnya. Sebelum semua akhirnya melihat rekaman kegiatan dalam bentuk komik, saya mempertunjukkan sebuah monolog dan teaterikal tentang tsunami di Aceh... dan itu sudah!
salam!
0 comments:
Post a Comment