31.10.13

Perempuan yang terlahir dari percikan terakhir kembang api
pada satu malam basah yang dingin
Kini telah menjelma bintang sepi
mengapung di laut hitam

Seorang lelaki menemukan sebuah tulisan
yang ditulis oleh perempuan itu
sayatan kata pada secarik kertas lusuh itu
hendak ia ungkapkan tentang kemerdekaan
yang telah diraihnya
setelah  menelan habis simponi angin di bawah gerimis

Kata Perempuan: “Aku tak bisa menyatukan bintang itu. Laut menolakku.
Mereka berkata bahwa akulah putri duyung yang tak bisa berenang itu.”
Kata Lelaki: “Telah tuhan wujudkan kedamaian di antara ribuan bintang itu.
Meski kau harus merebutnya dengan jalan sulit.”

Sebelum malam itu ada,
Seorang nenek tua bernujum pada si perempuan
tentang lelaki yang akan hadir dalam mimpi
lalu kehidupan indah untuk merubah puisinya

Kata Perempuan: “Aku malu bermimpi. Tuhan lebih senang membuatku sedih.”

Kata Lelaki; “hidup yang mesti dialui tak pernah lepas dari sedih dan senang.
Jangan biarkan angin merenggutnya.”

Setelah itu semua berubah
Perempuan itu telah hilang bersama letupan kembang api terakhir
Pada satu malam tak berbintang
Hujan pula yang menenggelamkan harapannya
untuk bertemu kembali dengan si nenek dan lelaki itu

Kata Perempuan: “pantaskah tuhan mengabadikan kesedihan bagiku,
di mana kebahagiaan yang telah dijanjikan?”
Lelaki itu kemudian hanya terdiam
melihat lembut coretan bertuliskan:
 “fa in tagfir fa anta lidzaka ahlun, wa in tathrud faman narju siwaka”
Tertegun.

Rindu meriuhkan ombak
Dan pada percik kembang api terakhirnya
Ada sebuah harapan;
Masih adakah ia kini?
Jakarta-Pontianak, Januari 2013

0 comments: