15.2.09

Catatan kecil untuk pementasan “Meunasah” Toan Jefry TS.
Oleh Akmal MR
Ruangan itu terlihat sangat sesak. Yang hadir tidak begitu ramai. Mungkin  karena ruang tak seluas panggung Taman Ismail Marzuki jadi tampak agak sedikit sempit. Para hadirin terdiam. Tiba-tiba Suara-suara tiupan seluring pilu menyerang dengan lembut. Ditambah tabuh rapai yang singkat, namun terdengar jelas rasa kepiluannya. Tak lama setelah itu, suara bisingnya kota besar mengemuk memburu orang-orang dari setiap sudut. Betapa tidak bersahabatnya kota besar pada kesunyian. Ribut sekali. Hujan lebat dengan gemuruh petirnya membuat suasana semakin menggantung di tengah remang lampu kecil.



Di sebuah desa kecil. Tepatnya di pinggiran kota besar yang ribut itu terdapat sebuah surau kecil. Di kampung kami kemudian disebut Meunasah. Gemuruh hujan lebat membawa seorang anak muda bertubuh kecil berteduh di menuasah tua ini. Lama ia berdiam dan memperhatikan sekeliling meunasah yang tampak lusuh dan tidak terurus. Meunasah kecil beratapkan anyaman daun rumbia kering ini dijadikan anak muda itu tempat berteduh dari kepungan hujan lebat. Suara-suara petir menggelegar di mana-mana. Sepertinya langit begitu marah. Pemuda itu bernama Muhalim. Pernah tinggal di kampung tempat sekarang ia berdiri. Takdir membuatnya kembali berdiri di meunasah ini.
“Hujan, apa yang kau inginkan dariku? Kenapa engkau membuat aku harus berhenti di sini? Aku akan dimarahi ibu jika tidak segera pulang. Aku sangat merindukan ibu yang telah lama aku tidak melihatnya. Aku ingin sekali cepat sampai ke rumah.” Ketus mulut si Muhalim meronta berbicara dengan hujan. Muhalim itu telah lama tidak melihat desanya. Ia kini tinggal di kota besar karena dekat dengan tempat ia menimba ilmu dunia.
Muhalim modar-madir sambil terus mengajak hujan untuk berdamai agar tidak lagi turun. Sibuk. Dia terus berputar ke sana ke mari seraya menghujat hujan yang katanya tidak lagi bersahabat dengannya. Tubuh Muhalim basah kuyup. Dia terus berceloteh. Sendiri. Tidak ada yang mendengar apalagi menjawab semua pertanyaannya. Tidak. Jangan berpikir dia gila. Dia hanya berbica dengan hujan. Dia tidak gila. “Ayolah hujan, pasti ibu dan ayah sangat merindukan kehadiranku!” cetusnya.
Sejenak hujan mulai reda. Petir juga tidak lagi bergemuruh. Seolah semuanya telah membaik. Muhalim pun ingin segera pergi. Muhalim tertawa terbahak-bahak sambil mengucapkan terima kasih kepada hujan yang telah berhenti. “Terima kasih Tuhan. Engkau memang Maha Mendengar. Terima kasih…”. Muhalim bergegas mengambil tasnya dan bersiap untuk meninggalkan meunasah itu. Namun, tiba-tiba hujan kembali. Semakin lebat. Semakin tidak mengampuni siapapun yang ingin berjalan di setiap rintiknya. Pasti basah. Petir-petir terus menyambar. Muhalim kembali berbicara sendiri. Wajahnya kecut. Menahan marah. Muhalim meronta. Dia kembali menyalahkan hujan yang telah membuatnya berhenti di meunasah. Dia kecewa karena tidak cepat sampai di rumah. Padalah ia semakin merindukan wajah ibunya. Betapa susah hati Muhalim. Ia rindu ibunya di rumah.
Hari semakin sore. Saat suara-suara azan berkumandang dari surau-surau jauh di sana. Meunasah ini sepi. Tak ada muazim. Juga tak ada pengeras suara. Mungkin saja tidak ada lagi yang shalat di tempat ini. Hanya ada Muhalim dan suara-suara azan yang mencoba membelah hujan lebat. Tak lema setelah itu, datanglah sesosok orang tua. Kabarnya beliau sangat di hargai di kampung itu. Orang tua itu tak jelas melihat. Ia berjalan menggunakan tongkat untuk memandu langkahnya ke rumah Tuhan. Meskipun agak sedikit basah, ia tetap mengayunkan langkahnya agar tidak telat sampai di meunasah. Lelaki tua itu kerap dipanggil Abu Chik. Muhalim hanya terdiam melihat langkah Abu Chik menuju ke dalam meunasah. Mata Abu Chik tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas. Namun, ia bisa merasakan bahwa saat ini ada yang memperhatikan gerak langkahnya. Tapi Abu Chik bersikap santai saja. Seperti biasanya ia berjalan, lalu masuk ke dalam meunasah. Dia tidak peduli dengan keadaan disekelilingnya. Abu Chik masuk ke meunasah hanya mengerjakan shalat. Ia rindu akan kemuliaan di sisi Tuhan. Di samping meunasah, Muhalim terus berceloteh tak menentu. Muhalim mereasakan sesuatu yang aneh. Dia terus memandangi sosok Abu Chik yang tengah khusu’ melaksanakan ibadah shalat Ashar. Muhalim menerka bahwa ia pernah mengenal orang tua itu.
Setelah menyelesaikan shalatnya, Abu Chik bergegas turun dari meunasah. Abu Chik hendak pulang ke rumah. Namun, tiba-tibu tubuh rapuh Abu Chik terjatuh dan terbaring di tanah. Abu Chik berteriak kesakitan. Muhalim yang tengah berdiri tak jauh dari tangga meunasah langsung berlari ke arah Abu Chik. Muhalim membangunkan Abu Chik. Mereka terlibat dialog yang sangat serius. Keseriusan itulah yang membuat Muhalim sadar bahawa selama ini ia telah durhaka pada semua. Dia telah meninggalkan tempat yang pernah menuntunnya menjadi orang yang berguna. Meunasah!
Muhalim meresa ia telah gagal menjadi anak yang berbakti. Betapa tidak pentingnya gelar sarjana ataupun magister bila ilmu agama yang sepatutnya wajib diketahui namun tak diamalkan. Muhalim terpukul dengan keadaan itu. Betapa malunya ia terhadap Abu Chik yang selama ini telah mengajarinya ilmu-ilmu tentang bagaimana cara mengenal Tuhan. Tentang bagaimana menghargai orang.
Itulah sedikit cerita tentang pementasan Teater Nol yang diadakan di sebuah ruang perkuliahan umum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Pementasan teater yang berjudul “Meunasah” ini adalah karya Toan Jefry TS. Naskah lakon “Meunasah” merupakan saduran dari cerita pendek Eka Kurniawan yang aslinya berjudul “Surau”. Di pementasan ini, Jefry mencoba mengaduk antara ke-Acehan aktor dengan latar pentas yang seolah-olah bukanlah di Aceh sebagai mana aslinya yang diceritakan Eka Kurniawan. Identitas yang diangkat oleh Jefry mencakupi penamaan tokoh, latar, seting tempat, dan emosi yang dibangun dalam cerita tersebut.
Penamaan seperti Abu Chik adalah sapaan khas bagi orang yang di-tua-kan di Aceh. Menjadi Abu bukanlah hal yang mudah. Karena memang Abu merupakan orang yang benar-benar di hormati. Baik karena sikapnya maupun perbuatannya untuk masyarakat luas. Karena Abu juga penerjemah baik bagi mereka yang menuntut ilmu agama. Abu adalah penerang bagi manusia-manusia yang gelap. Karena itulah Abu sangat dimuliakan di Aceh.
Ada beberapa ciri khas Aceh sebenarnya menjadi kabur dalam dialog pementasan. Seperti pada saat Abu Chik menanyakan “Apakah kau sudah sholat Muhalim?”. Kata sholat memang jamak dipakai khalayak. Namun, Aceh memiliki rasa tersendiri ketika menyebutkan hal tersebut. Dalam bahasa Aceh, kata shalat tetap dibaca shalat seperti yang ditulis dalam bahasa Al-quran. Karena dalam bahasa Al-quran tidak ada yang namanya hufuf /o/. Jika kita belajar tentang huruf hijaiyah maka kita akan tahu itu.
Abu Chik yang diperankan oleh Yuli Chandra sepertinya tidak memunculkan identitas seorang tua Aceh yang diharapkan si Toan Sutradara. Baik dari cara penuturan maupun set up pakaian yang dikenakan olehnya. Idealnya Chandra memang terlihat agak tua. Namun, bukan berarti ke-tua-an itu sebuah identitas. Pada dialog penekanan khas Aceh memang dihilangkan dikarenakan ini merupakan konsep garapan teater nasional yang sedianya menyanggupi kriteria umum untuk dipentaskan di mana saja. Karena pementasan ini adalah garapan untuk PEMSTAMASIO atau lebih dekenal dengan Festival Teater Mahasiswa yang kali ini akan dilaksanakan di Jakarta pada Februari-Maret 2009. Namun ada sedikit kejanggalan karakter Chandra, dimana Chandra terbiasa berdialog dengan dialeg Jawa. Mungkin latar belakang pribadi sehingga agak terbawa sedikit. Maaf, Ampon!
Muhalim yang diperankan oleh Decky R. Risakotta mendapat perhatian banyak penonton. Ia membuka pementasan dengan mencoba menjelaskan apa yang menjadi kegundahannya saat ini. Konsep teater ketoprak pun dimunculkan olehnya. Ia mencoba mengajak penonton terlibat dalam setiap dialog yang dimunculkannya. Prolog yang begitu lama membuat penonton sempat menyangkal itu bagian dari pementasan monolog. Garapan kosong dengan emosi yang berbeda-beda membuat Dicky agak sedikit kewalahan mencari-cari karakter yang tepat. Tanpa kekuatan emosional dalam dialog bisa membuat emosi penonton bisa terputus begitu saja. Baik itu gerakan tangan ataupun mimik wajah yang terlalu berlebihan. Menurut saya, ada penonton yang berpikir bahwa eksistensi teater tidak mengenal batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai sikap dan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dan kebutuhan berhubungan dengan sesama. Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yang dihayatinya. Nah, perlu diperhatikan juga bahwa ada yang memang merasa sangat ingin mengetahui pesan apa yang ingin disampaikan dalam sebuah pementasan. Jadi ketika emosional seorang aktor tidak konsisten maka bisa saja penonton tidak akan menemukan apa yang diinginkannya.
Pada proses kerja sutradara, Jefry memberi kebebasan kepada aktornya untuk menemukan kriteria yang tepat untuk diperankan. Namun, ada beberapa hal yang patut digaris bawahi di sini. Dengan metode ini, akan terjadi beberapa bentuk kemungkinan yang membuat karakter tokoh yang diinginkan sutradara tidak di dapatkan oleh aktor. Herymawan (1993) menjelaskan tentang tipe-tipe menjadi seorang sutradara yang baik. Salah satu diantaranya adalah sutradara harus menjadi seorang diktator. Artinya sutradara mencetak pemain-pemainnya sesuai dengan konsep yang diinginkan naskah. Selama proses itu, aktor dibuat seolah menjadi robot dan buta tuli terhadap apapun. Mungkin saja yang diinginkan sutradara tidak sepenuhnya berhasil. Namun, membentuk apa yang diinginkan dari sebuah proses merupakan suatu yang patutnya dipertimbangkan. Bukankah sutradara adalah yang berpikir untuk semua hal. Jadi, boleh-boleh saja ketika seorang sutradara memberikan arahan yang sepatutnya menjurus kepada apa yang dia inginkan sekarang. Bukan melepaskan aktor untuk liar mencari karakternya sendiri. Hal itu bisa mempersulit proses penggarapan. Bisa jadi berbenturan dengan karakter yang diingikan.
Terlepas dari semua itu, saya menilai Jefry telah melakukan hal terbaik untuk sebuah pementasan. Ia sedang mencoba hal-hal baru. Kenapa “Meunasah”? saya mencoba menerka bahwa menunasah di Aceh kini telah kehilangan bentuk. Pengaruh globalisasi kerap dikaitkan dengan itu. Kota besar telah menyibukkan masyarakat sehingga banyak terlihat “jemaah” di warung kopi ketimbang di meunasah. Saya juga menerka bahwa Jefry ingin khalayak tahu betapa besar pengaruh kota besar terhadap hancurnya agama manusia. Mungkin ada yang mengganggap ritual suci seperti shalat itu adalah hal yang tidak begitu berharga lagi. Tapi semua itu salah. Sangat tidak benar. Lalu kemudian Jefry menjawab itu semua dengan memberikan penekanan pada klimaks pementasan itu. Muhalim berteriak menyesal atas semua kesalahan dan kelaliannya selama ini. Benar memang, tak ada yang lebih penting di dunia ini selain mengenal Tuhan.
Muhalim telah meninggalkan meunasah hanya karena mengejar gelar di kota besar. Baginya tidaklah lebih penting dari apapun kecuali bersujud pada Allah. Muhalim sadar oleh kata-kata Abu Chik. Abu menangis sambil mengatakan “Aku yang tua ini telah gagal mendidik anakku sendiri untuk mencari kebenaranmu, bagaimana aku harus mengajak orang lain untuk beribadah dan mencari kebenaranmu. Ya Allah maafkan aku yang mempunyai iman yang sangat lemah ini. Maafkan Abu Chik, Muhalim.”
Jefry telah melakukan hal yang besar hari ini. Hal yang sebelumnya hanya tepikirkan di meja-meja warung kopi. Namun, haruskah kita yang melihat kondisi meunasah saat ini hanya iba dan termangu saja. Bayangkan ketika Abu meninggal. Siapa yang akan shalat di meunasah? Jelas terlihat perkembangan di Aceh sekarang yang telah “agak” modern. Muda-mudi tidak tahu lagi meunasah. Karena tak lagi ada yang melarang ketika anak-anak bermain-main saat azan berkumandang.
Mari kembali ke meunasah yang telah lama kita tinggalkan. Jangan biarkan tempat itu hanya dihuni debu-debu. Jefry, aku ingat satu kata darimu; Aku melihat sesuatu dengan mata hati. Jika meunasah kembali penuh aku ingin berterima kasih padamu. Karena kau telah berhasil melihat sesuatu dengan matahati. Seperti yang pernah kau katakana padaku melalui pesan singkat di ponselku. Bagiku, kau luar biasa, toan!

Akmal MR lahir di Lam U, Aceh Besar. Aktif di teater Gemasastrin.

4 comments:

ekakurniawan said...

terima kasih ulasannya, sayang sekali saya sendiri tak melihat pementasan tersebut,
salam untuk teman-teman di Aceh.

“Surau” Disadur Menjadi “Meunasah” said...

[...] judul “Meunasah”, yang berarti “surau” dalam Bahasa Aceh. Baca ulasannya di aamovi.wordpress.com. Diposting dengan kata kunci: Aceh, Jefry TS, Surau, teater, Teater Nol Gunakan hosting Rumahweb [...]

“Meunasah” - Teater Nol said...

Baca ulasan Meunasah di http://aamovi.wordpress.com

Ratih Kumala
http://ratihkumala.com/blog/meunasah-teater-nol-367.php

zoelmasry said...

Bg, apakah ini salah satu tulisan ketegori esei?
Saya masih kurang paham menulis esei. saya mau tulisa esei, sebagai syarat mendaftar di Dokarim.