31.5.09

Oleh Akmal M. Roem

Sebuah catatan untuk tulisan Alimuddin.


dimuat di Harian Aceh Minggu, 31 Mei 2009
Menulis di koran itu termasuk salah satu dari cita-cita saya juga. Tapi tidak untuk seorang yang mau dianggap sebagai seorang penulis karena tulisannya pernah dimuat di koran lokal ataupun nasional. Sangat tidak bersahabat sekali bila pada artikel yang Alimuddin tulis minggu lalu, Ali menyebutkan bahwa untuk diakui sebagai seorang penulis, seseorang itu harus terlebih menulis di media yang dibaca khalyak. Itu tidak benar, Ali. Sangat tidak menyenangkan bila Ali mengatakan demikian.

Saya membaca buku yang dikarang Natalie Goldberg, di sana ia mengisahkan betapa gilanya ia mencoba untuk terus menulis hingga ia menghasilkan nahkas yang begitu banyak. Apa alasannya sehingga ia menulis sedemikian banyak? Di bagian terakhir buku itu, dia menjelaskan bahwa pekerjaan menulis itu adalah hal yang luar biasa, untuk menulis yang baik dan bagus itu kita perlu melatih dan terus menulis agar terbiasa. Tak ada yang pernah selesai dalam suatu tulisan. Itu pesan yang saya dapatkan setelah membaca bab yang Ali kemukakan minggu lalu di media ini.



Hari ini, sudah sangat banyak sekali penulis-penulis besar lantaran mereka pernah menulis di media seperti yang Ali sebutkan. Nah, ada juga yang menulis kemudian dimuat, kemudian menulis lagi, ketika dikirim tidak pernah dimuat lagi. Apakah dia masih dianggap penulis? Atau bahkan kita menggap dia seorang penulis yang karyanya dimuat karena sudah bertumpuk banyak. Jadi kasihan sekali bila tidak dimuat. Waduh, lucu sekali.

Ada pengalaman menarik yang saya dapatkan selama berbincang dengan Fx. Rudi Gunawan beberapa waktu yang lalu. Dia mengisahkan bagaimana lahirnya buku yang berjudul “Kumpulan Cerpen (Bukan) Pilihan Kompas” padaku. Buku itu lahir dari kesialan si Rudi yang cerpen-cerpennya tidak pernah dihargai oleh redaktur Kompas.

Sebelum mengirimkan ke media, Rudi menyempatkan mengopy tulisannya untuk dibedah oleh teman-temannya. Semua temannya berujuar bahwa cerpen Rudi sangatlah bagus dan pantas mendapat jatah di ruang budaya Kompas. Tapi, kenyataannya ketika dikirim lagi, tidak dimuat juga. Apakah Rudi bukan penulis? Sehingga lahir ide untuk membuat buku itu. Setelah buku itu terbit, tak heran lagi nama Rudi Gunawan tercatat di halaman budaya beberapa Koran nasional.

Ini menjelaskan juga bahwa, bukan hanya tulisan yang baik bisa dimuat, akan tetapi selera seorang redaktur. Apakah dia suka membaca cerita itu. Atau mungkin yang menulis itu belum terkenal betul. Jadi malas untuk dibaca. Meskipun yang dikirim itu cerpen yang bagus. Entahlah. Saya juga tidak paham.

Hal yang lebih menarik lagi adalah kisah Kabawata Yasunari, seorang penulis dari Asia kedua yang mendapatkan penghargaan Nobel Kesusastraan pernah mengalami kisah buruk untuk hal itu. Konon, dikisahkan, Kabawata mengakhiri hidupnya dengan cara menghirup gas karena malu mendapatkan hadiah tertinggi sastra itu setelah ia tidak bisa menghasilkan karya lagi. Meskipun itu hanyalah sebuah dugaan. Akan tetapi saya justru melihat itu sebuah kebenaran. Menurut saya, Kabawata justru menilai sendirinya sudah tidak layak lagi menerima penghargaan itu. Karena tidak ada sebuah cacatan darinya sendiri tentang kenapa ia mengakhiri hidupnya. Padalah itu kebiasaan orang Jepang yang selalu menuliskan catatan akhir sebelum menghabisi nyawanya.

Tulisan ini lantas lantas tidak berusaha membuat orang untuk tidak lagi. Ataupun tidak lagi mengirimkan karyanya ke media. Karena, dalam satu perkuliahan Dokarim yang saya ikuti, seseorang itu menulis karena ada alasan tersendiri. Dalam filsafat kepenulisan juga dijelaskan demikian.

Di perkuliahan itu, Wiratmadinata yang bertindak sebagai fasilitator menanyakan pada kami apa alasan kami menulis. Untuk apa tulisan itu dan akan di kemanakan tulisan itu? Dari sekian peserta, beragam hal yang didapati kemudian. Berbicara tentang kenapa menulis, ada beberapa jawaban yang keluar secara sontan. Diantaranya, ada yang menulis karena orentasi ekomoni. Dijelaskan kemudian, mereka ini yang berkiblat ke arah materil, secara umum, orang mengenal JK Rowling sebagai seorang penulis besar yang menulis untuk meraup keuntungan besar dengan karyanya yang luar biasa seperti Harry Potter. Tak hanya itu, ada juga yang menjawab bahwa saya menulis karena ingin dikenal orang banyak. Nah, saya pikir inilah yang ingin diadopsi oleh orang yang mengakui dirinya adalah penulis.

Lalu ada juga yang menulis karena ingin melakukan sebuah perubahan sosial masyarakat. Kategori ini biasanya untuk mereka yang menulis tentang politik dan sosial. Klasifikasi terakhir adalah menulis karena untuk mengingat bahwa ada sesuatu kejadian dalam hidupnya. Kategori ini untuk mereka yang menulis catatan harian.

Salah satu kata yang menarik untuk ditiru adalah yang diucapkan Milan Kundera yang mengatakan bahwa “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalalah perjuangan manusia melawan lupa”. Perihal itu dikisah Milan Kundera dalam novel Kitab Lupa dan Gelak-Tawa (Bentang, 2000: 4).

Sebuah karya unik yang dengan ringan tapi penuh pukau mampu mengetalasekan penjelajahan fantasi tokoh-tokohnya, lelucon kelam satire politik sebuah negeri yang penuh oleh sengketa ideologi politik, juga jalinan cerita erotis tokoh-tokoh hedonis rekaannya. Inilah yang seharunya menjadi pegangan untuk seseorang untuk bisa menulis lebih banyak lagi.

Jika terkenal karena menulis, itu sebuah anugerah yang sepatutnya tidak bisa dielak. Akan tetapi, untuk mengakui diri sebagai seorang penulis. Semua orang bisa mengakuinya, meskipun tidak pernah mengirimkan tulisannya ke media. Meskipun tulisannya tidak dibaca orang banyak. Karena menulis itu bukan untuk dikenal. Tapi, menulis itu untuk membuat perubahan. Baik untuk diri sendiri maupun untuk semua orang.

Menulis tak hanya merangkai kata-kata yang kemudian menjadi satu tulisan yang utuh. Tanpa membaca, seorang yang mengaku dirinya penulis telah melakukan hal yang sangat bodoh, yaitu membodohi dirinya dengan karya kebohongan.

Saya sepakat dan setuju dengan apa yang dikatakan Ali terhadap kriteria atau tujuan tulisan kita. Seperti menulis mesum itu bukan di Sabili ataupun di Annida. Sampai kapanpun tak akan dimuat meskipun mengirim ratusan karung tulisan mesum. Dalam hal menulis tak serta merta sastra itu bebas, EYD itu harus diutamakan. Tulisan yang tidak bagus bukan hanya dari isi akan tetapi struktur kalimat dan pembubuhan tanda baca harus diperhatikan. Kadang orang menulis bagus secara ide dan konsep akan tetapi terdapat kelemahan di bagian tulisan. Ini menjadi masalah yang besar juga.

Akhirnya, Tulislah sebanyak apa yang engkau mau. Karena semakin engkau banyak menulis, semakin engkau kenal bahwa engkaulah yang memegang kayuh perubahan. Demikian sedikit penjelasan yang bisa saya berikan. Tak semua orang ingin dianggap sebagai penulis karena pernah menulis di koran. Dan sekali lagi, semua orang boleh mengaku dan boleh malu mengaku penulis meskipun tak menulis di koran. Karena yang mengakui itu khalayak bukan kita sendiri. Betul tidak, Ampon?

Akmal M. Roem adalah penikmat kopi Aceh. Berdomilisi di Lam U, Aceh Besar.

5 comments:

Ugie said...

Numpang baca. salam....

abi said...

Hahaha... saya juga bukan penulis!

Muhammad Baiquni said...

Bagus bang tulisannya.

Mungkin, persepsi seseorang siapakah penulis dan bagaimana dikatakan dia sebagai penulis berbeda-beda. Relatif.

Btw, tulisanku juga ga pernah dimuat, cuma menulis diari di blog ku tentang perasaan diriku.

Apakah aku penulis?

kimsanada said...

Seseorang yang menulis sekalipun hanya untuk dirinya, saya kira sudah bisa dikatakan penulis.. :-)

Akmal MR said...

sepakat.. penulis itu tidak perlu pengakuan!