5.11.09

(Menanggapi Thayeb Loh Angen)

Tulisan ini lahir setelah membaca artikel “Sastra di Aceh Sedang Sakit” yang ditulis Thayeb Loh Angen di Harian Aceh, Minggu,25 Oktober 2009. Tulisan ini saya persembahkan bagi kaum muda yang sejatinya sakit hati karena telah gagal menulis dengan baik di media massa di Aceh. Apalagi saya yang sudah semenjak SD melumat buku-buku sastra tapi tak juga menghasilkan tulisan yang hebat seperti Marcos ataupun seromantis puisi-puisi Pablo Neruda.

Kami kaum muda, hanya tahu menulis, lalu mengirimkannya ke media agar dibaca oleh khalayak. Kami puas ketika melihat apa yang kami tulis itu dibaca oleh orang banyak. Tapi, tulisan Thayeb Loh Angen minggu lalu membuat saya - kaum muda yang sedang sakit oleh pikiran bagaimana menyusun kata-kata yang rapi – menjadi tercengang. Karena selama ini apa yang telah diterbitkan di media dan dibaca beribu pasang mata adalah sebuah kebohongan. Kebohongan yang lahir dari pikiran dan tangan kami. Miris!


Mengutip sedikit tulisan Thayeb. “Sebagian besar karya fiksi, seperti cerpen dan puisi yang bertebaran di halaman media masa di Aceh belum berkualitas, bahkan sebagian belum layak disebut karya sastra, namun apa boleh buat hanya itu yang ada di antara kita, maka kini perkuatkanlah mutu karya anda wahai teman, jangan hanya menulis kisah cinta muram yang pesimis, mengapa tak menulis yang bikin orang lain bersemangat. Untuk apa berkarya kalau hanya menumpahkan airmata”.

Seperti apa cara berpikir Thayeb sehingga melahirkan hipotesa seperti itu? Thayeb yang seorang penggemar Kahlil Gibran, tapi ia sendiri tidak paham kegalauan yang dirasakan Gibran tentang cinta, kemiskinan, kesedihan, dan kematian. Mungkin dia menulis sambil menangis seperti seorang muda menulis cerita yang mengisahkan tentang kepedihan cintanya. Seperti apapun tulisan itu, tak penting bentuknya. Setiap orang pasti menulis untuk mencari perubahan. Dan tak ada tulisan yang tidak berpengaruh. Meskipun dampaknya kecil sekalipun.

Dalam filsafat kepenulisan, kita akan berhadapan dengan berjuta pertanyaan tentang apa yang kita tulis, untuk apa kita menulis, siapa yang membaca tulisan kita, apa yang akan terjadi setelah membacanya tulisan kita, dan ribuan pertanyaan lainnya akan hadir setelahnya. Semua tulisan sangat berpengaruh dalam kehidupan ini. Sungguh, sastra itu imajinasi, bukan hanya sebatas pengetahuan umum.

Wajar, mungkin Thayeb risau karena belum ada orang Aceh yang mendapatkan penghargaan sastra tertinggi di dunia. Singkatnya adalah nobel sastra! Tapi apakah itu tujuan utama menulis? Tentu saja tidak. Beragam alasan yang bisa kita temukan ketika kita bertanya kepada seorang penulis tentang untuk apa dia menghasilkan sebuah karya.

Pernah dulu saya utarakan di media ini, tentang beberapa faktor orang berupaya menulis sastra dengan bagus. Salah satunya ekonomi dan politik. Saya ambil contoh, seorang mahasiswa yang tingkat ekonomi keluarganya lemah, pasti akan berpikir untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Nah, ada yang memilih jalur menulis, seperti kawan saya misalnya, dia menulis untuk mendapatkan honor. Uang itu kemudian dia gunakan untuk membeli buku baru. Masalah tidak berbobot atau tidaknya sebuah tulisan itu ada pada si pembaca. Dan itu sangat relatif. Bagaimana mengukur itu? Tolong Thayeb jelaskan pada saya yang masih awam untuk mengenal karya sastra.
FKIP Unsyiah, tepatnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia berhak untuk mengklaim bahwa mereka mencetak calon guru. Bukan sastrawan. Sekali lagi, bukan sastrawan! Dari nama saja sudah jelas-jelas itu sebuah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Bukan Fakultas Kesusastraan dan Ilmu Pendidikan. Jadi jelas sekali apa yang hendak dicapai dari kurikulum yang sudah dirancang sedemikian rupa.


Fakultas Sastra di Aceh


Apakah kehadiran fakultas sastra di Aceh akan melahirkan sastrawan yang memiliki karya yang bagus? Nama besar? Tingkat ekonomi yang mencukupi? Belum tentu, kawan! Menurut saya, tak perlu adanya fakultas sastra di Aceh, jika hanya ingin menciptakan sastrawan-sastrawan besar. Banyak sekali penulis di dunia ini yang tidak kuliah di fakultas sastra. Bahkan banyak diantaranya yang berpikir tentang filsafat. Tapi mereka menulis dan dianggap berpengaruh terhadap perekembangan sastra di dunia. Itu semua, mungkin, bermula dari kegundahan, hobi, mau belajar, mau berpikir, dan mau membaca. Kemudian lahir proses terakhir yaitu menulis untuk merubah suatu generasi.

Selanjutnya Thayeb menulis, “Sebagian besar karya fiksi, seperti cerpen dan puisi yang bertebaran di halaman media masa di Aceh belum berkualitas, bahkan sebagian belum layak disebut karya sastra...”

Kualitas seperti apa yang ingin dijelaskan Thayeb di sini? Atau apa definisi karya sastra itu sendiri menurut Thayeb? Sangat disayangkan, jika Thayeb yang pernah menjabat redaktur budaya di Harian Aceh beranggapan bahwa dia sangat paham terhadap sastra, tapi masih memuat tulisan yang tidak layak disebut karya sastra dalam kolom sastra. Maka kami pun akan ikut bodoh karena kami tidak tahu sedang menulis apa saat ini.

Jika Thayeb ingin memiliki tanggung jawab lebih dengan meminta pada pihak yang berwenang untuk mengelola studi sastra di Aceh. Mintalah secara baik-baik. Utarakan alasan yang mampu menggugah. Jika hanya ingin mencetak para penulis cerpen, novel, ataupun puisi. Saya pikir Fakultas Sastra yang Anda impikan hanya akan menjadi bangunan tua yang tidak bermoral. Sehebat apapun fakultas sastra di Indonesia ini, tidak akan pernah bisa melahirkan sastrawan yang wujudnya seperti Hamzah Fansuri, endatu kita. Mungkin, aku bukan cucu yang tidak baik!

Akmal MR adalah mahasiswa semester akhir Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala. Tinggal di Lam U, Aceh Besar.

1 comments:

StarLover said...

Setujuuu....
Sastrawan gk mesti dr fakultas sastra...
Semua orng bsa jdi sastrawan asal punya bakat n minat......