20.12.09

Oleh: Akmal M. Roem

Selamat datang, tuan-tuan dan nyonya-nyonya!

Selamat datang di kampung kami yang mulia ini

Lihatlah sekelilingmu, gedung yang indah dan megah ini

Mereka sengaja membuat gedung ini supaya kalian tidak lupa

Bahwa laut pernah sejenak meninggalkan pantai pasir putih di Lhoknga

Bahwa laut pernah hinggap di jalan-jalan sempit di Punge Blang Cut

Inilah kemegahan yang akan kau nikmati puluhan tahun lamanya

Kemegahan yang mereka cipta dari uang-uang ziarah

Tapi, dalam kemegahan ini, mereka juga sempatkan menjarah

Lalu, menyisakan sedikit luka yang tak pernah bisa diselesaikan

Aceh belum sembuh benar dari luka-luka tahun silam

Setelah perang mengurung dan merenggut asa bocah-bocah malang di kampung kami

Kini lara kampung kembali tersentak oleh air raya yang mencabik-cabik

Ribuan tubuh yang sebelumnya tak pernah menyangka akan hal ini

Lima tahun sudah berlalu

Kisah laut berlumpur menggulung kampung sembilan yang murung

Tubuh-tubuh ini tersentak lalu terbujur kaku

Pohon-pohon terburai

Rumah-rumah hancur lebur

Kampung kami luluh lantak, tak bersisa

Lihatlah tulisan di dinding itu, mereka mencoba menghibur kami

Mengajak kami untuk bangkit kembali dari keterpurukan ini

Tapi, aku melihat mereka menari-nari di atas duka

Perempuan-perempuan kenangan,

Mereka menertawakan tangisan bocah-bocah yang malang

Mencari jejak ibunda yang telah menjadi cerita lalu

Sudahlah, tuan-tuan dan nyonya-nyonya!

Jangan kau paksakan diri untuk tersenyum lagi

Begitu busuk negeri kami setelah laut murka

Darimana harus kumulai cerita duka ini?

Ketika anak-anak dan cucuku bertanya tentang kampungnya,

Saat hendak terbuai mimpi

Darimana, tuan?

Dari perangkah?

Dari gempakah?

Dari air rayakah?

Atau,

Dari kebiadaban tuan-tuan berdasi yang menggulung habis uang-uang ziarah itu?

Katakan padaku, tuan!

Kau kumpulkan uang-uang ziarah itu,

Lalu kau sulap menjadi satu singgahsana sejarah yang megah

Kau peruntukkan itu bagi mereka yang kau terka akan melupakan sejarah

Laut berlumpur menggulung kampung ini

O, tuan!

Cukup sudah kami merasakan lara yang begitu menyesakkan

Jangan biarkan kami menambah satu cerita lagi tentang kebiadabanmu itu

Cukupkanlah caramu menjarah uang-uang ziarah itu!

Semoga kau mendengar dan paham benar tetang kegelisahan

Yang kukirim dari dasar tanah yang tak pernah kau kunjung lagi

Dari Siron, Ulee Lheu, Lhoknga, calang, dan Meulaboh

Tempat kami terbujur dalam tumpukan yang maha luas,

Tapi, hanya satu nisan yang kau tancapkan dengan ribuan nama yang kau terka,

Agar keluarga kami bisa menujukan doa yang khusu’

Semoga kau bahagia dengan sejarah yang kau cipta, tuan!

Sejarah yang kau tanam dalam genung yang megah ini

Sejarah yang kau bikin untuk mencabik-cabik hati pengungsi barak Bakoy

Yang hingga kini belum tahu harus menetap di rumah mana!

18 Desember 2009

*Puisi ini dibacakan pada acara penutupan pagelaran kesenian, Peringatan 5 tahun tsunami Aceh yang diselenggarakan pada tanggal 18-19 Desember 2009 oleh BKRA, Pemerintahan Aceh, UNDP, dan Multi Donor Fund di Museum Tsunami, Aceh.

1 comments:

Allian said...

Luar biasa. Saya tersentuh membacanya. Saya seakan berada di sana, di kampung saya di Pungee dan Ulee Lheue. Sedangkan saya sendiri sekarang berada di Jogja untuk menuntut ilmu. Saya sebagai orang Aceh sangat menghargai karya puisi ini. Teruskan kartya anda.