23.9.10

cerpen Akmal M. Roem

Sumber: Harian Aceh, 19 September 2010

SYAKIR sedang termenung di sana. Dia menghabiskan sisa hari sambil beristirahat di pintu bilik pengajian di belakang meunasah. Menunggu matahari terbenam. Maka ia akan segera mengumandangkan azan. Pertanda akhir dari segala perang. Tak pelak, dia ingin mengumandangkan satu kalimat kemenangan yang maha besar. Agar kampungnya terharu dan sedih melepaskan kepergian Ramadhan.

Sudah lama ia menyimpan hasrat untuk benar-benar bisa melantunkan takbir, tahmid, dan tahlil tanda kemerdekaan suci datang. Tak hanya itu, ia juga akan menyempatkan diri untuk memberi satu pengumuman agar semua jemaah yang begitu ramai ketika bulan puasa, tak berkurang lagi nantinya.

Tak hanya sebagai bilal, Syakir juga seorang penulis cerita yang handal. Entah karena suka mendongeng atau berbicara dengan anak-anak, ia sering menulis pelbagai cerita. Bagi anak-anak kampung itu, bila Syakir mulai bercerita, semuanya senyap. Tak ada yang ribut apalagi memangkas ceritanya. Semua hanyut dalam cerita yang dibawakan Syakir.

Tapi, jangan berharap tentang cinta. Syakir orang yang tidak suka menulis apalagi bercerita tentang sesuatu yang menyangkut cinta lelaki terhadap perempuan. Baginya, cinta bukanlah sesuatu yang hebat. Bahkan, cinta itu seperti gatal yang bilamana diperhatikan akan gatal dan enak, tapi setelahnya bisa jadi petaka. Atas alasan itu Syakir benar-benar tidak suka menulis atau bercerita tentang cinta.

Ada beberapa koran terbitan harian memuat tulisan-tulisan Syakir di saban hari minggu. Iya, Syakir menulis di sana. Ia mengirimkan berkas tulisannya melalui tukang jual koran yang setiap pagi mengantar surat ke kedai kopi. Syakir biasanya menitip tulisannya pada hari Kamis dengan alasan akan dimuat hari Minggu. Bila dimuat, maka akan ada upah tulisan yang bisa dia sumbangkan ke meunasah atau membelikan satu selendang bagus untuk ibunya. Sedikit dari pada itu dia berikan untuk pengantar tulisannya. Ya, sebagai satu ucapan terima kasih. Bila tulisannya dimuat, ia akan segera mengabarkan pada banyak orang agar ada saran, ada komentar, ada semacam selamat atau pujian untuknya. Ia sangat berharap seperti itu.

Suatu ketika, Ramadhan, taman dekat Syakir menulis sebuah cerita pendek yang bagus. Tentang cinta. Ia peruntukkan untuk kekasihnya. Ramadhan sering menuliskan tentang cinta. Baginya, cinta itu sesuatu yang mahabesar dan tak akan habis bila ditulis. Namun, hal itu selalu bertolak belakang dengan pemikiran Syakir.  Dia tidak suka dengan perkara cinta. Baginya cinta itu tak hanya sebatas orang mewakili tangisannya di koran agar diketahui khalayak. Atas dasar itu Syakir kemudian dengan hebat mengkritik tulisan Ramadhan. Dia hidupkan tokoh-tokoh yang benci dengan cinta. Ya, tokoh-tokoh yang berbicara tentang konflik, kemiskinan, pendidikan dan kebudayaan. Dengan bangga dia mengambil contoh-contoh tulisan-tulisan penulis Inggris, Perancis, dan Amerika Latin. Dalam tulisa itu, Syakir tak lupa menuliskan hal yang mengejek serupa “tulisan tentang cinta? Mereka itu tidaklah lebih seperti sedang menangis atau menampakkan diri cengeng agar dikasihani orang!” begitu kira ungkap Syakir dalam pada tulisanya.

Ramadhan yang sungguh sangat mengenal Syakir sempat berang dengan kejadian itu. Tapi, apalah arti bila ia hanya marah dan membenci Syakir. Karena baginya, bila harus berperang, maka ia akan berusaha berperang dengan kata. Ya, dengan tulisan. Mereka beberapa kali terlibat dalam diskusi yang segar. Sampai pada suatu kata Syakir mengeluarkan kata yang tidak sedap. Bagiku haram menulis cinta. Bilapun aku  menulis tentang itu, aku dan dimuat di koran, aku tak akan mengambil upahnya. Kau saja yang nikmati itu. Aku tidak suka dengan upah dari hasil sesuatu yang cengeng. Ramadhan tercengang. Ingin tertawa tapi takut Syakir menaruh benci padanya. Maka Ramadhan memilih untuk diam saja dan mengiyakan apa yang diigingkan Syakir. Sedikitpun tak ada bantahan. Meskipun banyak yang mengetahui bahwa Syakir adalah seoran pujangga. Dia seorang pecinta wanita.

***

Syakir masih murung menatap galau lembut awan yang menyatu berusaha membunuh cahaya matahari. Dia masih menunggu saat magrib tiba. Dalam ingatannya hanya ada Fatimah. Perempuan pujaan Syakir. Fatimah adalah anak kepala desa. Dia memiliki rupa yang manis. Perangai yang baik dan santun. Syakir menaruh harapan agar bisa memilikinya secara halal, kelak. Ya, Syakir ingin menjadikan Fatimah sebagai istrinya.

Disaat sedang indah menerawan tentang Fatimah, dia diserang suatu perkara yang tidak mudah ia lupakan. Tentang kisah cinta dan temannya, Ramdhan. Ada sedikit penyesalan yang memungkinkannya tak bisa berhadapan dengan Ramdhan dalam waktu dekat ini. Dia takut sekali berjumpa dengan Ramadhan.

Hari Minggu yang lalu, Syakir berusaha mengungkapkan rasa rindu yang amat besar terhadap Fatimah. Rasa rindu yang sudah dia pendam begitu lama. Rasa rindu semacam pisau yang mecabik tubuh manusia. Sakit bukan kepalang. Rasa yang memungkinkan orang tidak punya semangat sama sekali untuk menjalani hidup bila tidak dituntaskan dengan segera. Paling tidak rindu itu bisa terobati bila Fatimah tahu rasa apa yang sedang menjadi perkara dalam hati Syakir.

Dituliskanlah sebuah surat cinta yang sangat romantis oleh Syakir untuk Fatimah tercinta. Dalam surat itu, ia ceritakan tentang betapa hebatnya rasa yang selama ini menyerang dan membunuh semangatnya. Dengan rangkaian kata-kata yang romantis, dia awali cerita dalam surat itu. Tak pelak, dia kemudian mengutipkan pelbagai kalimat romantis dari pengarang-pengarang yang dikaguminya.

Ia kutip kata-kata tentang cinta yang dituliskan oleh Paulo Coelho, Pablo Neruda, dan Gabriel Garcia Marquez. Puisi cinta yang bertajuk Sonetanya Neruda menjadi pembuka surat rindu Syakir. Alunan puisi itu kemudian ia mainkan dengan khasnya bercerita. Yang terpenting baginya adalah bagaimana Fatimah bisa mengetahui betapa hebatnya rasa yang satu ini. Rindu. Ia tamsilkan Fatimah sebagai seorang perempuan yang begitu penting bagi dirinya. Andai ada Fatimah dalam hidupnya, maka lengkap pula kisah hidupnya. Begitu kira yang ingin disampaikan dalam secarik surat cerita kerinduan Syakir terhadap Fatimah.

Syakir ingin sekali surat itu sampai ditangan Fatimah dalam waktu dekat. Dia berharap, Fatimah luluh dan bersegera menjadi bagian dari hidupnya. Apalagi lebaran sudah di depan mata. Barangkali lebaran kali ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi seorang Syakir yang sudah begitu lama memendamkan rasa rindu pada Fatimah.

Syakir melamun dan selalu berpikir tentang Fatimah. Ia luput dari katanya tentang cinta. Bahkan, sepertinya apa  yang dikatakanya pada Ramadhan tempo lalu menjadi berita tak penting. Dalam hatinya sekarang adalah alangkah menyenangkan bisa menulis tentang rindu, tentang cinta,  tentang seorang perempuan dan tentang kehidupan yang indah. Apalagi cerita itu bisa dinikmati oleh orang banyak.

Syakir berpikir lagi, lebaran sudah dekat, dia butuh uang untuk membelikan sesuatu yang berharga bagi Fatimah agar cintanya tak mentah ditolak. Ya, koran memang memberikan upah yang layak bagi setiap penulis yang menulis pada rubrik cerita hari Minggu. Karena hanya orang-orang terpilih bisa menulis di halaman khusus itu. Dia juga berpikir bahwa dia harus menyegerakan perkara ini. Menuntaskan segala rindu yang begitu menyiksa. Atas dasar itu ia kemudian mengirim surat rindu yang indah itu ke Koran yang biasa dia kirimkan. Harapnya hanya dua: Fatimah membaca dan dapat uang untuk lebaran.

Ketika hari minggu datang, hati Syakir mulai was-was. Dia menunggu penjual koran lewat. Tapi, sudah hampir siang tak tampak si penjual koran itu. Dia semakin cemas kalau tulisannya tak dimuat. Itu semua bisa menggagalkan rencananya. Syakir mulai kebingungan dan pesimis. Tak lama menunggu, ia putuskan untuk kembali ke rumah dan akan kembali ke warung kopi ini setelah magrib. Tapi, ketika hendak pulang, dari kejauhan tampak penjual koran mendekat. Syakir senang bukan kepalang. Tapi, ada cemas lagi. Apakah tulisanya dimuat. Hatinya bertanya demikian. Penjual koran menghampiri Syakir. Dia langsung membeli satu koran. Dengan segera dia membuka halaman biasa. Tak sempatpun dia melihat ada berita perampokan di halaman utama. Yang penting halaman tengah.

Syakir girang. Dia meloncat bahagia. Senang bukan kepalang. Bergegas ia pergi dari tampat itu. Dia yakin pasti Fatimah juga sudah membaca suratnya di koran. Karena setiap pagi koran itu juga masuk ke rumah kepala desa. Syakir menunggu sesuatu yang bahagia. Iya, komentar, pujian atau apalah yang pentin bisa membuatnya bahagia. Dan itu yang paling diharapkan adalah dari Fatimah sang pemilik surat cinta itu. Tak lama kemudian syakir memutuskan ke bilik meunasah menunggu Fatimah ikut shalat magrib berjamaah di meunasah.

Dalam perjalanan Syakir mendapat banyak pesan singkat di selularnya. Pesan selamat dan pujian atas karyanya yang menggugah itu. Tapi, di antara itu datang sebuah pesan dari temannya, Ramadhan. Syakir tak cemas sedikitpun. Dia lupa segala perihal diskusi tentang cinta. Dengan semangat mengaharap pujian membuka pesan Ramadhan. Syakir murung. Ramadhan hanya menulis, “Cinta, kawan? Cengeng atau rindu, kawan?”[]

(Agustus, 2010)

0 comments: