21.12.10

Sumber: Harian Aceh

PADA suatu kesempatan, seorang teman mengajak saya untuk menikmati secangkir kopi di sebuah warung kopi agak terkenal di Banda Aceh. Banyak hal yang kami ceritakan. Maklum, dia seorang penulis yang tulisan-tulisannya sering menghiasi halaman beberapa media. Salah satu yang paling menarik yang dibahas, menurut saya, adalah sesuatu tentang honor penulis yang tulisannya berkesempatan dimuat di media.

Pembicaraan tentang honor itu  mencuat saat dia menjelaskan tentang keadaan pendidikannya yang semakin sekarat. Dia sedang membutuhkan uang untuk membeli beberapa buku yang diwajibkan seorang dosen. Dia binggung, saya sarankan ke dia untuk lebih giat menulis apa saja agar bisa dimuat dan  mendapatkan honor dari situ. Tapi dia berkilah. Media di sini sepertinya masih main-main dengan karya. Seketika saya tertawa sembari bercanda, berhentilah menulis bila hanya ingin mencari uang. Dia tersenyum sinis. Dan kami pun tak bicarakan lagi tentang itu.

Menjadi penulis adalah sesuatu yang benar-benar harus dipertanggungjawabkan oleh setiap pribadi. Bila sudah memutuskan diri untuk menjadi penulis, maka bertanyalah pada diri sendiri tentang bagaimana masa depan kita? Apa yang harus dilakukan setelahnya? Untuk apa saya menulis? Bagaimana saya harus menulis? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus benar-benar dijawab oleh sendiri. Paling tidak, kita akan benar-benar bisa memahami kenapa kita  memutuskan untuk menjadi seorang penulis.

Seperti yang pernah saya utarakan pada satu kesempatan (di media ini), bahwa setiap penulis itu harus memiliki tujuan yang jelas. Baik itu tujuan ekonomi atau sekedar hobi. Tak ada yang salah di antara itu. Kita bisa menilai diri sendiri dan mampu membawa pribadi kita ke arah yang benar-benar ingin kita dalami.

Beberapa orang, mungkin kebanyakan orang, tentunya menulis karena alasan ekonomi. Munafik jika hanya sekadar hobi. Orang-orang sekarang banyak yang berlomba-lomba mengutarakan pendapatnya di pelbagai media untuk supaya dikenal orang. Selain itu, mereka juga menyempatkan diri menanyakan berapa honor saya dibayar untuk satu tulisan? Ya, paling tidak untuk mentraktir kopi atau mengajak teman makan baso.

Tak salah menjadi seorang penulis bila bukan karena uang. Jadi, bila tak bisa menulis karya yang berbentuk ilmiah atau sastra, menulis di kolom suara pembaca pada media tertentu juga menarik. Paling tidak kita sudah membagi pengetahuan untuk masyarakat banyak.  Banyak orang yang selalu berpikir menciptakan karya besar akan tetapi lelah berpikir sehingga tidak menghasilkan apapun. Jadi, tak hanya tulisan dalam bentuk puisi, cerpen, essai atau apalah semacam itu. Kalau mau sering-sering menulis di surat pembaca, tanpa dibayar sama sekali, pasti kita juga sudah membagi ilmu ke orang-orang.

Perkara honor memang hal yang memilukan kalau dilihat pada koran-koran lokal. Mungkin kita memaklumi kalau koran itu oplah penjualannya masih minim. Ataupun iklan yang bertengger di setiap halaman masih sangat kurang sehingga koran itu hanya mengharap penghasilan di hasil penjualan. Tapi, bayangkan koran yang sudah besar dengan oplah penjualan yang begitu banyak. Iklan-iklan malah lebih banyak ketimbang berita. Bukankah penghasilan koran itu sudah hebat? Kenapa tidak membantu pertumbuhan ekonomi penulis di situ?

Pada koran-koran seperti itu, penulis berlomba-lomba agar tulisannya bisa dimuat. Karena setiap pagi koran-koran seperti itu sudah bersebaran di mana saja. Orang-orang membaca ide-ide si penulis. Kadang mereka juga mengerjakan atau membantah ide-ide yang si penulis utarakan. Tapi, karyanya hanya dihargai murah.

Menulis bukan pekerjaan mudah. Apalagi menulis opini yang sifatnya ilimiah atau apalah semacam itu. Pasti membutuhkan pengumpulan data yang akurat agar tidak dikata cang panah. Menulis seperti itu juga tidak cukup waktu sehari atau dua hari. Kita memerlukan pertimbangan yang banyak untuk menghasilkan tulisan yang bagus.

Bayangkan jika seorang penulis amatiran mencoba mengkritik kebijakan pemerintah dengan gaya sok hebat dan tak memiliki data yang akurat. Pasti dia akan dicemooh oleh khalayak. Tapi, seorang penulis yang benar-benar teliti menuliskan sesuatu opininya dengan segala perhitungan yang mapan pasti berharap dibaca oleh orang banyak dan turut pula dikerjakan. Orang-orang seperti inilah yang seharusnya di hargai oleh koran itu. Paling tidak honor yang diberikan oleh koran kepada si penulis bisa membayar keringat yang keluar dari kepalanya sewaktu berpikir untuk menulis.

Nah, sudah sepantasnya koran-koran menghargai karya penulis yang seperti saya utarakan di atas. Belum lagi melihat risiko yang keluar setelah tulisan itu ada. Ya, bayangkan seorang penulis yang mencoba menghujamkan kritik terhadap pemerintah namun dibayar honornya sedikit sekali. Setelah tulisan itu dimuat, dia diperkarakan dan dimusuhi orang banyak.

Menulis itu pekerjaan intelektual. Seorang penulis tidak dilahirkan menjadi seperti itu. Akan tetapi dia bekerja untuk menjadi penulis. Mengutip sedikit kata-kata Sudaryanto dalam bukunya “Menguangkan Ide: Kaya Dari Menulis Artikel”, bahwa “Apalah gunanya faktor bakat dan keturunan jika kita tidak mau belajar keras? Sekalipun Anda, missal, anak kandung dari Sapardi Djoko Darmono, seorang penyair yang juga guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia itu, namun jika Anda tak mau belajar dan berlatih menulis, tak akan mungkin Anda menjadi penyair seperti halnya ayah Anda.”

Menjadi seorang penulis tentunya harus dilakukan dengan usaha yang keras. Berlatih hingga menjadi seorang yang mapan. Membiasakan diri mengirim tulisan-tulisan ke media agar bisa menjadi refleksi atas setiap tulisan yang akan dituliskan selanjutnya. Tulisan-tulisan yang sudah dimuat harus benar-benar disimpan untuk menjadi bahan pertimbangan dan pembelajaran untuk tingkat selanjutnya.

Menulis itu tentunya bukan hanya sekadar tuang ide dalam selembar kertas. Apalah jadi seorang penulis yang bisa menghasilkan karya banyak tapi dia malas membaca tulisan-tulisan yang sudah dituliskan orang lain. Bohong besar bila seorang penulis tidak pernah membaca karya orang. Maka, belajar membaca dan menulis harus dimulai dari ini. Dan tentunya penulis harus benar-benar memiliki tujuan.

Tuliskan apapun yang ingin ditulis. Jangan batasi ide-ide hanya gara-gara terbentur oleh honor yang sedikit itu. Bilamana media tidak menghargai penulis, sudah seharusnya penulis menghargai media itu agar menyerbunya dengan banyak tulisan. Ingat, tulisan yang sudah terpampang di media akan dibaca oleh orang banyak. Tulisan-tulisan itu akan dibaca oleh tukang becak, penjual kopi, tukan sate, sampai presiden mau membaca tulisan kita. Karena yang tidak membaca itu hanya orang bodoh.

Siapapun boleh berbahagia menulis di Koran. Angkat pena itu dan tulislah kebaikan agar orang lain menjadi lebih baik. Buat penyadaran dengan pena kita. Apapun boleh diambil dari kita, asal jangan ide dan pena kita. Kita menulis bukan hanya sekadar hiburan tapi sebuah penyadaran. Seperti yang dikatakan oleh Kartini “Semua orang boleh merampas banyak dari kami, ya semuanya, tetapi jangan pena saya. Ini tetap milik saya, dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu.”

Meski honor tak sepadan dengan ide dan resiko tulisan yang sudah tertulis, masih ingin menjadi penuliskah, Anda?

Oleh Akmal M Roem, lahir di Lam U, Aceh Besar. Penulis pemula yang bekerja di Komunitas Tikar Pandan. Aktif berteater di Gemasastrin.

0 comments: