4.10.11

"Kesadaran hanya datang ketika bencana merenggut nyawa. Tapi, itu semua hanya sesaat. Ketika waktu sudah mengembalikan keadaan seperti semula, maka itu semua menjadi tak berarti. Kematian yang sebelumnya menghadirkan luka yang mendalam seolah tak pernah terjadi di tempat itu."

Oleh Akmal M Roem

Untuk kesekian kali kuceritakan tentang kampung yang selalu dirundung pelbagai keresahan. Apatah itu pembunuhan pun bencana yang datang dengan seketika hebat. Tak ada yang bisa menduga sebelumnya. Hanya saja, kita akan seketika ternganga saat mengetahui bahwa kampung itu terkurung dalam duka yang menyayat. Di sebuah waktu yang kiranya tak terduga setelah bulan menampakkan diri dengan gagah lalu dibalut resah awan gelap. Hujan dan petir. Dan ketakutan.

Ketika aku hendak menutup mata. Pada sebuah malam yang berbeda. Nenekku, dalam satu riwayat, dia berkisah tentang sebuah kejadian yang membuat hatiku terhenyak. Sebuah kisah yang mulanya aku tak ingin mendengarnya. Tapi, tiba-tiba saja cerita itu menjadi sesuatu yang harus kulumat hingga selesai.

Malam itu, bulan tampak redup. Tak ada bintang di sekitar. Hanya cahaya temaram yang berusaha keluar dari kurungan. Sekelabat angin datang membawa gemuruh membahana. Hujan membuat nenek begitu semangat bercerita. Aku pun tak berniat untuk cepat menenggelamkan diri dalam mimpi yang belum tentu kudapatkan. Maka kuputuskan untuk tetap tidak menutup mata. Menunggu cerita sampai akhir.

Nenek mengawali cerita tentang kisah kampungnya yang digulung air raya. Mematikan banyak orang. Menghancurkan rumah-rumah, jalanan, gedung-gedung dan lainnya. Saat itu, wajahnya muram sekali. Ada ketakutan yang berbeda di setiap kerut keningnya. Lirih suara yang begitu dalam membuat cerita itu semakin menyedihkan.

Sejenak nenek terdiam lesu. Kupandangi lagi wajahnya. Aku seperti terkurung dalam keresahanya yang dahsyat. Kurasakan kengerian yang begitu menyayat saat nenek berkata, hari itu pula kakekku pulang ke tuhan bersama orang-orang kampung yang sedang berkumpul di meunasah.

Orang-orang kampung hari itu lagi bikin rapat untuk membahas rencana kenduri maulid. Suasana cukup sejuk. Baru saja hujan berhenti. Langit masih tampak gelap. Mengingat kakek berada di meunasah, perasaan nenek, lanjutnya bercerita, kembali menjadi tidak enak saat hujan mulai turun lagi. Kali ini sangat lebat, ungkapnya. Ada gemuruh petir dan sayatan kilat yang terang sesekali. Pokoknya menakutkan, tegas nenek mayakiniku.

Hujan semakin deras. Seperti tak akan berhenti dalam waktu yang cepat. Nenek mulai cemas dengan keberadaan kakek. Dia memutuskan untuk memberanikan dir menjemput kakek. Tapi, pada pertengahn jalan, ia seketika mendengar suara gemuruh dan denduman yang hebat. Suara-suara itu semakin mendekat. Lalu ada teriakan. Orang-orang berlarian. Jeritan ketakutan terdengar di mana-mana. Suara teriakan terus membesar. Terus terdengar. Semakin banyak yang berlarian. Nenek berusah menjauh dari suara itu. Melarikan diri dengan kemampuan terbatas. Ia melihat pada air yang mengalir itu ternyata ada puluhan akar-akar kayu berukuran besar menyurut tajam dibawa air raya.

Dalam seketika semuanya lenyap. Suara-suara itu hilang ditelan gemuruh air yang menyerang begitu hebat. Rumah-rumah berantakan. Tanah dan bekas-bekas pohon mati terngaga di sepanjang aliran air. Lumpur dan kepedihan yang tersisa.

Banyak orang yang terkubur dalam lumpur itu. Termasuk suami nenek; kakekku. Ia tidak selamat karena berada di meunasah bersama banyak orang lainnya. Mereka terkubur dan hilang. Puluhan hari orang-orang menggali tanah itu untuk mencari keluarganya yang tertanam dalam lumpur yang sudah mengering. Di saat yang bersamaan orang-orang kota berduyun-duyun menyusup ke kampung itu untuk membantu mencari korban dan membangun kembali kampung yang telah hancur. Tapi, nenek yang tak ingin mengingat perkara itu memutuskan pergi meninggalkan kampung. Membawa anaknya yang masih berumur tujuh tahun; ibuku.

Nenek dan ibu kemudian menetap di kota yang terletak tak jauh dari kampungnya. Setelah pemerintah menetapkan status aman bagi masyarakat, orang-orang pun kembali ke kampung itu. Termasuk nenek dan ibuku. Mereka memulai hidup baru tanpa kekek hingga pada suatu ketika jauh setelah bencana itu ibuku menikah dengan pemuda kampung.  Dan melahirkanku.


Pada akhir cerita, kulihat nenek mengusap sudut matanya yang telah berair. Lantas ku tanya pada nenek tentang kenapa air itu bisa tiba-tiba saja datang tanpa diketahui oleh orang-orang kampung. Nenek diam. Lalu, sayup terdengar suara dari mulutnya. Kecil. Manusia. Orang-orang itu telah merencanakan hal ini semua.

Aku bingung dengan itu. Lantas ku tanya lagi siapa orang-orang itu. Nenek kembali diam. Tanpa sadar kupaksa nenek untuk menceritakan semua. Aku tidak lagi merasa ingin tidur. Yang kupikirkan adalah siapa yang membunuh kakek dan orang-orang kampung lainnya.

Malam semakin larut. Nenek memaksaku untuk menutup mata. Tapi, tetap saja tidak bisa. Maka kupaksa dia untuk terus bercerita. Nenek kembali terlihat galau. Ia seperti marah. Padalah kesedihan terlalu sulit untuk disembunyikan. Aku melunak. Diam dan menurut untuk segera tidur. Hal ini kuperbuat agar nenek tak kembali bersedih. Ketika aku henda pamitan untuk tidur, nenek mengatakan bahwa ada beberapa pengusaha yang melibatkan oknum-oknum tertentu yang merencanakan ini semua. Sudah lama mereka berusaha untuk membunuh kami, tegas nenek. Tapi tak ada yang berani menyentuh kerja mereka atau sekadar menegur perilaku buruk mereka. Pintarnya, mereka juga melibatkan orang-orang kampung yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Lebih dari empat tahun terakhir sebelum kejadian itu, mereka masuk kekampung ini secara diam-diam membawa peralatan yang hebat untuk menebang pohon-pohon di gunung.

Pernah suatu kali pemerintah masuk ke kampung ini memberikan penyuluhan agar masyarakat tidak menebang kayu secara berlebihan. Tapi itu semua percuma. Orang-orang kampung sudah menganggap ini semua sebagai penghasilan utama mereka. Pun orang-orang kampung juga menyadari bahwa ada beberapa orang yang juga dari pemerintahan ikut ambil bagian dari ini. Ya, mungkin sekadar mencari penghasilan sampingan. Setahu mereka hasil dari ini melebihi gaji yang mereka terima dari kerja tetapnya.

Usaha menebang kayu memang sesuatu yang menjanjikan. Tapi, itulah kesalah mereka, tak ada yang mau menanggung resiko. Seenaknya orang menghancurkan hutan sedemikian rupa. Tapi, setelah kejadian itu datang, semua orang hanya bisa diam dan saling menyalahkan.

Kesadaran hanya datang ketika bencana merenggut nyawa. Tapi, itu semua hanya sesaat. Ketika waktu sudah mengembalikan keadaan seperti semula, maka itu semua menjadi tak berarti. Kematian yang sebelumnya menghadirkan luka yang mendalam seolah tak pernah terjadi di tempat itu.

Di sini malam semakin larut. Aku terus berusaha menahan rasa kantuk ini. mencoba menepis luka mengingat kampung seberang yang baru saja dihantam hal serupa. Dan itu jelas pasti meninggalkan bekas luka yang tersiksa. Hanya saja, yang kuharap, semoga orang-orang itu tidak lagi menebang kayu sembarangan. Semoga mereka menyadari bahwa suatu ketika mereka akan kehilangan apa yang mereka cintai.

Banda Aceh, Maret 2011

Penulis lahir dan menetap di Aceh Besar.

2 comments:

miswarsyah said...

menyentuh banget.semoga mjd peringatan

Rahmad Fauzi said...

mantap pak tuliasanya.. :)))
ajarin kami ya pak...