13.6.12

Banda Aceh- Pada 2011, Museum HAM Aceh diluncurkan ke publik. Museum ini merupakan buah pikiran dan kerja dari konsorsium advokasi Hak Azasi Manusia yaitu gabungan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat Aceh yang terdiri dari Koalisi NGO-HAM, Kontras Aceh, LBH Aceh, dan Komunitas Tikar Pandan, dengan dukungan ICTJ. Museum ini bertempat di salah satu bagian dari kantong kebudayaan Episentrum Ulee Kareng yang telah terlebih dahulu dikenal publik sebagai tempat diskusi, peluncuran buku, belajar menulis/sastra/etnografi, pemutaran film, galeri seni rupa, dan tempat pementasan seni.

Reza Idria, alumnus Universitas Leiden yang diamanahi sebagai Direktur Museum HAM Aceh mengatakan bahwa museum ini merupakan salah satu wujud dedikasi pengoptimalan pengetahuan masyarakat tentang makna keadilan transisi dan kampanye antikejahatan kemanusiaan. Hal ini juga sesuai dengan mandat dari MoU Helsinki (2005) serta selaras dengan Pasal 229 UU No. 11 tahun 2006.

“Kita semua semestinya menyadari bahwa kesepakatan damai yang kini telah dinikmati masyarakat Aceh didapat melalui proses yang panjang dan dengan harga yang sangat mahal, tidak terkira kerugian akibat perang yang telah memberi dampak demikian besar bagi masyarakat dan negara,” terang Reza. Reza juga menegaskan “Potensi terulangnya konflik harus senantiasa diwaspadai sehingga memori tentang bagaimana dampak kekerasan harus selalu dijaga. Hal ini bertujuan agar kejahatan perang yang merupakan malapetaka akibat tindakan manusia (man-made disaster) tidak terulang lagi.”

Akmal M. Roem, salah seorang pengelola mengatakan bahwa museum ini merupakan satu pusat informasi dan ingatan yang dapat diakses terbuka oleh masyarakat. Saat ini Museum HAM telah diperkenalkan ke masyarakat melalui dua bentuk pendekatan yakni visual (dalam bentuk bangunan/galeri) serta virtual (dalam bentuk situs dunia maya), pendekatan kedua ditekankan demi mengatasi persoalan jarak dan keterbatasan ruang, serta mengingat teknologi informasi yang semakin berkembang. “Kita berharap tempat ini akan menjadi salah satu tempat rujukan pembelajaran sejarah di Aceh. Hal ini telah kita coba inisiasi sejak pembukaan museum dengan mengundang para guru Sejarah di beberapa sekolah untuk menghadiri acara pembukaan museum ini,” jelas Akmal.

Dalam rangkaian acara malam damai dan peringatan satu tahun Museum HAM Aceh, pengelola museum akan melaksanakan acara bertema “Rekonsiliasi dan Merawat Ingatan: Membangun Aceh yang Damai dan Bermartabat”. Acara ini akan dilaksanakan pada Sabtu (9/6) sejak pukul 20.00 WIB s.d. selesai. Mata acara yang terbuka untuk publik ini akan diisi dengan pidato kebudayaan oleh Nezar Patria; pementasan seni oleh Agus Nur Amal (Agus PMTOH) dkk; pameran visual artistik; dan presentasi dokumen digital Museum HAM Aceh. Kegiatan ini akan digelar di Museum HAM Aceh, Jl. Lamreung No. 20, Ulee Kareng, Banda Aceh.

Reza Idria menyatakan “Sejak peluncurannya tahun lalu, Museum HAM Aceh telah memberi sumbangan tersendiri bagi kerja-kerja kemanusiaan di Aceh dan memberi dukungan mendorong terjaganya perdamaian serta tawaran mekanisme penegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Walaupun demikian, fakta di lapangan menunjukkan cara-cara kekerasan dan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia masih kerap terjadi di Aceh. Termasuk sejumlah kasus yang mencuat selama proses Pilkada Aceh 2012 menunjukkan bahwa pemahaman terhadap bagaimana membangun perdamaian dan penghargaan HAM masih sangat rentan. Rasa syukur patut diekspresikan bersama oleh masyarakat Aceh pascapemilihan kepala daerah yang telah berlangsung dengan sukses, namun agenda-agenda utama yang terkait langsung dengan perdamaian dan pembangunan harus terus disuarakan, terutama kepada para pemimpin terpilih.”

“Museum HAM Aceh ini juga salah satu wujud dari pesan Soekarno tempo hari, jangan sampai bangsa ini melupakan sejarahnya,” pungkas Akmal dalam siaran pers kepada The Globe Journal, Sabtu (9/6). [003]

0 comments: