3.6.13


warga dusun Serangkang mempersiapkan ritual adat Me'e Sikuwh
DI ENTIKONG, Kalimantan Barat, gawai mungkin satu-satunya pesta rakyat yang diselenggarakan untuk menyambut panen raya. Me’e Sikuwh atau perayaan makan beras baru merupakan salah satu yang jarang diselenggarakan. Aku beruntung karena menyaksikan upacara langka ini, orang Dayak sendiri pun jarang mengikutinya.

Rabu, 27 Februari 2013, memang agak sedikit beda dari hari biasanya. Aku sendiri biasa melihat keramaian orang-orang kampung hanya saat mereka libur saja. Hari itu masyarakat di perbatasan Indonesia-Malaysia ini libur bekerja. Mereka sepakat membuat acara adat sebagai rasa syukur atas hasil panen yang telah mereka terima selama ini.

Selama dua minggu terakhir, terlihat warga dusun Serangkang mulai mengetam padi. Beras baru dari ladang mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk panen tahun ini, aku rasa warga di sini mendapat hasil yang cukup memuaskan. Hampir setiap harinya, ada saja warga yang datang ke rumahku untuk membagikan beras baru.

Setelah panen padi selesai, mereka memilih satu hari berpomang (berdoa) demi keberkatan hasil panen dan berharap hari depan menjadi lebih baik. Aku memperhatikan kegiatan orang-orang Serangkang dengan saksama. Sebagai orang Aceh di rantau, suasana semacam ini memang asing bagiku.

Pagi hari warga pun mulai sibuk. Babeh Sinchin, misalnya, mulai membungkus beras dengan daun untuk dimasak dan mempersiapkan bahan-bahan lain untuk upacara adat ini.


“Ini semua untuk acara nanti siang,” kata tetanggaku ini sambil menyeruput kopi Aceh dan melanjutkan. “Kita makan bersama di Bentang. Nanti kamu lihat ada orang tua berpomang di pinggir sungai.”

Beberapa hari sebelumnya, beberapa warga yang kukenal membuat tapai untuk mengambil air tuak. Beras ketan hasil peragian ini akan menghasilkan tuak manis. Tentu tidak memabukkan bila dikonsumsi pada hari-hari pertama tapai ini selesai dibuat. Kalau menunggu sampai beberapa hari saja, rasanya mungkin sudah lain dan sudah barang tentu membuat teler.

Setelah semua bekal upacara adat disiapkan, warga menyusun rapi barang tersebut di tepi Sungai Sekayam. Mereka menata takin (keranjang yang terbuat dari kulit bambu untuk mengangkut benda-benda) dengan rapi sekali di atas selembar papan yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Di dalam takin tersebut sudah diisi pelbagai macam bahan yang kemudian dimantrai dan disebut makak nepi (makanan untuk penghuni air).

Ada pukos (beras baru dibalut dengan daun yang dikukus dalam buluh), ayam yang dimasak dalam bambu, sayap ayam yang dipanggang, botol tuak, telur, lemang, bongkik (buluh kecil yang diruncingkan untuk diisi tuak), pekasam ikan seluang sebanyak tujuh ekor yang dibungkus dengan daun, kapur sirih, pinang, beras ketan, darah ayam, ubi jalar dan buah pisang. Beberapa di antaranya dibagi menjadi tujuh bagian.

Benda-benda sembahan yang berjumlah tujuh antara lain: lemang, sebuah pisang yang diiris menjadi tujuh bagian, ubi jalar, bongkik atau buluh kecil yang runcing kemudian diisi tuak, dan pukos. Selain itu ada beberapa bahan lainnya yang tidak dapat dibagi tujuh, yakni telur, pinang, kapur sirih, darah ayam, sayap ayam yang dipanggang, hati ayam dan daging ayam yang dicampur dengan beras, lalu dimasak di dalam bambu.

Setelah semua keranjang itu terkumpul di tepi sungai, Kakek Angol (orang tua yang berpomang ini disebut meutak atau membuang) datang membacakan mantra. Mula-mula ia membuka beberapa keranjang, lalu mengambil hati ayam, satu botol tuak, satu bungkusan pukos, dan sirih. Setelah membaca mantra pertama, ia mencubit hati ayam yang sudah dimasak tersebut. Ia menggigit pinang sambil mengunyah sirih. Beberapa kali terlihat ia menyemburkan ludah yang kemerah-merahan.

“Ia memanggil penghuni air dari hulu sampai hilir Sungai Sekayam. Biasanya kalau ada bahan yang kurang dari dalam sembahan itu, orang yang berpomang akan kesulitan memantrai karena beberapa penghuni sungai tidak datang,” terang pak Lamat yang merupakan kepala adat dusun Serangkang.

Menutup pembacaan mantra itu, ada hitungan tujuh yang diucapkan Kakek Angol sampai semua masyarakat yang menyempatkan diri menyaksikan upacara ini, lantas menyahut girang secara serentak. Setelahnya beberapa botol tuak dibuka untuk dibagi bersama. Tidak ada yang dapat menolak karena takut kempunan (petaka yang menimpa seseorang karena menolak pemberian orang lain).



Aku tidak bisa minum tuak, tapi memakan beberapa masakan yang dibuat oleh orang kampung. Untuk menolak, kami hanya perlu cempalek (menolak secara halus) agar tidak membuat mereka kecewa. Untungnya mereka memahaminya.

Setelah berpomang di tepi Sungai Sekayam, Kakek Angol diantar ke rumah-rumah warga dan membawa takinnya. Ia melanjutkan pembacaan mantra di dekat tempayan (lumbung beras) pemilik rumah untuk keberkatan hasil panen.

Di dekat tempayan sendiri ada benda yang terbuat dari bambu berbentuk tikar yang bisa digantung atau ditancapkan pada tanah sebagai alat untuk menyatukan semua sesembahan dalam bentuk yang lebih kecil lagi. Orang-orang di sini menyebutnya goyough atau mpaw. Pada goyough itu ditancapkan empat bulu ayam pada setiap sudutnya. Bagian atasnya diletakkan kulit kaki ayam dan beberapa bahan yang sama seperti ada di dalam takin. Hanya saja bentuknya lebih kecil.

Setelah berdoa di tempayan, makanan yang ada di dalam rumah dan yang diletakkan di pinggir Sungai Sekayam dibawa ke Bentang Panjang (rumah adat) Kampung Serangkang, untuk bersama menikmati aneka makanan yang telah disiapkan. Untung saja, Babeh Sinchin menghadiahkanku seekor ayam jantan untuk aku sembelih dan memasaknya sendiri. Jadi aku pun bisa ikut kegiatan seperti ini.

Jamuan utama acara ini adalah pukos, yakni beras yang dibungkus dalam daun bekal dimasak dengan cara memasukkan ke dalam buluh, lalu dibakar. Menggunakan daun khas yang agak tebal lalu dilipat dengan cara tertentu. Bukan hanya karena keindahannya, melainkan juga lipatan setiap bungkusan itu memiliki arti tersendiri. Selain pukos, orang-orang bebas menikmati tuak manis.

Setelah kesakralan berlalu, Pak Lamat menjelaskan bahwa upacara Me’e Sikuwh sudah lama tidak dilaksanakan karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh orang kampung ini dan mereka juga tidak kuat secara ekonomi. “Acara ini harusnya dibuat setiap tahun. Tapi karena masyarakat tidak mampu membeli bahan-bahan yang disiapkan untuk acara ini sudah puluhan tahun tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Kita memang harus mempersiapkan bahan yang utuh. Dan itu memang mustahil melihat kondisi masyarakat kita yang sulit,” tambahnya.

“Artinya,” kataku. “Ekonomi masyarakat kali ini lebih baik?”

“Seperti yang engkau lihat,” tandas Pak Lamat.

Di balai Bentang Panjang orang makan bersama dan bertukar cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Ada suara musik yang menggema hingga malam hari. []

Akmal M. Roem adalah guru bakti dari LPTK Unsyiah, Aceh yang ditempatkan di SMPN 4 Satu Atap Entikong. Menetap di Dusun Serangkang, Desa Entikong, Kec. Entikong Kab. Sanggau, Kalimantan Barat.

0 comments: