5.6.13

Idrus bin Harun, Atjehpost.com




Metafora "negeri dalam sepatu" adalah ungkapan betapa cerpenis yang berhimpun dalam antologi ini laksana "rakyat",



Negeri Dalam Sepatu- Akmal M RoemDARI judulnya saya sangat tertarik, ‘Negeri Dalam Sepatu’. Dari penamaan kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Bandar Publishing ini amat menggoda. Metafora ‘negeri dalam sepatu’ adalah ungkapan betapa cerpenis yang berhimpun dalam antologi ini laksana ‘rakyat’, yang merekam kejadian demi kejadian dengan alat perekam dan kualitas merekam masing-masing. Negeri dalam sepatu tak ubahnya negeri dengan segala tragedi.


Dari hal paling remeh hingga yang mengerutkan kening. Dari soal cinta berdarah-darah hingga kisah-kisah kematian yang ditolak dan dinanti kehadirannya. Rakyat negeri dalam sepatu adalah rakyat yang sadar akan pentingnya arsip, dokumen yang akan mereka tinggalkan untuk anak cucu mereka kelak di kemudian hari.


“Kelahiran karya sastra diilhami oleh berbagai kondisi manusia, seperti persaudaraan, penderitaan, cita-cita, perjuangan, dan sebagainya. “ ungkap Budi Arianto dalam prolog antologi ini. Usaha sejumlah cerpenis dalam melukiskan kondisi manusia dengan medium sastra yang kita tahu tak selurus karya jurnalistik, mayoritas berhasil. Walau ada beberapa cerpenis yang hanya sampai pada kenyataan objektif. Dalam pengertian, kenyataan yang diukur tanpa mau diimbuhi dengan unsur-unsur pembentuk karya sehingga menjadi ‘art’. Kenyataan dipandang hanya sebagai sesuatu yang amat wajar terjadi seperti rutinitas sehari-hari.


Nyatanya, dalam sastra kenyataan mengalami distorsi agar terkesan absurd, pemaknaan yang berlebihan sekaligus hiperbolis dan bahkan kadang sarkastis. N. G. Chernyshevsky dalam buku ‘Hubungan Estetik Seni dengan Realitas’ mengungkapkan bahwa, “tugas pengarang adalah menyelidiki masalah mengenai hubungan estetik karya-karya seni dengan gejala-gejala kehidupan, menguji ketepatan pendapat yang berlaku bahwa keindahan sejati, yang dipandang sebagai isi hakiki dari karya-karya seni, tidak terdapat dalam realitas objektif, tetapi hanya tercapai oleh seni” (halaman 118).


Namun demikian, kiranya tidak bijak jika terlalu jauh menafsir sebuah karya dalam antologi ini dengan membanding-bandingkan kualitasnya dengan cerpenis besar. Kemauan mereka merekam situasi saja sudah merupakan anugerah tak terhingga. Mengingat banyak berhimpun penulis muda berbakat nan potensial di dalamnya.


Sungguh kelahiran penulis muda dalam kancah sastra Aceh dewasa ini cukup banyak. Baik yang masih malu-malu tampil hingga yang sudah menemukan karakter tersendiri. Semua itu merupakan anugerah terindah. Terlepas berkualitas atau tidak, bukan masalah besar. Bagi saya pribadi, lebih baik hasilnya buruk daripada tidak berkarya sama sekali.


Ke 24 cerpenis di sini memiliki kesaksian masing-masing. ‘Negeri Dalam Sepatu’ mengajarkan mereka untuk bertahan dari gempuran berbagai hal, tangis, tawa, trauma hingga peristiwa di luar nalar. Kepekaan mereka adalah modal awal untuk menjadikan sastra sebagai rumah dokumentasi Aceh agar lebih beradab.


Dalam cerpen Fuady Syukri misalkan, bagaimana sang pengarang membuka cerpennya dengan sangat pelan dan natural nuansa pagi di kampung. Namun, deskripsi pagi yang memacak dalam benak sangat tidak mengesankan manakala harus berakhir dengan kematian sang kakak yang begitu ia cintai oleh peluru nyasar para perampok Bank yang terperangkap dalam sekolah dari kejaran polisi. Walau cerpen ini berhasil melambungkan imajinasi di awal-awal, tetapi tetap saja tak berbekas.


Karena harus melewati kematian Maya yang mudah ditebak. Dan lagi-lagi amat sangat wajar. Pada titik ini, sastra terjebak dalam obral kematian seperti dalam film-film Rambo produksi Hollywood. Namun, usaha memotret kealamian pagi patut kita acungi jempol dari cerpenis yang juga pebiola hikayat ini.


Dua cerpen yang berdimensi Politik yang mampu menjabarkan cukup bagus kondisi ideologi politik. Akmal M Roem dan Zahra Nurul Liza. Dalam cerpennya, Akmal menggugat dasar Negara yang hanya semata simbol tanpa teraplikasi dalam kehidupan. Falsafah Pancasila hanya manis dalam buku pelajaran PPKn. Lihat ungkapan jenaka Sabri tentang Burung Garuda,”andaikan Negara ini merdeka pada tanggal satu, bulan satu, dan tahun sebelas. Bayangkan berapa bulu yang menutupi burung garuda?”


Akmal dengan cerdas mampu mengolah menjadi lelucon sesuatu yang disakralkan. Hal-hal semacam ini mengingatkan kita pada ungkapan-ungkapan jenaka ala Gus Dur. Dimensi politik dalam cerpen Akmal terasa benar ketika menyentuh masalalu saat Pancasila mulai goyah di kampung kita.


Zahra Nurul Liza juga tak kalah menarik mengeksplorasi dua sisi kehidupan politik. Sisi kehidupan ‘negeri Laba-laba’ dalam sepatu dan hari pemilihan pemimpin dunia manusia. Dalam dunia Laba-Laba, meski pun sang presiden Laba-Laba amat ditakuti rakyatnya, ia sering menyempatkan diri untuk berbaur dengan mereka. Sebaliknya, dunia manusia, hanya merakyat secara semu, saat kampanye dengan segudang kepentingan. Lebih lanjut, Zahra telah mampu membuat sintesa antara dunia binatang dan dunia kita yang beradab. Namun, dalam dunia beradab ini sama sekali tak ada jaminan akan tegaknya sifat-sifat humanis. Cerpen negeri dalam sepatu ini adalah wujud dari betapa murungnya kondisi kepemimpinan kontemporer. Hingga kita perlu belajar pada binatang. Tanpa perlu mewarisi kebinatangan seperti yang sudah-sudah. Sungguh sebuah kritik halus dari Zahra. Calon cerpenis potensial.


Putra Hidayatullah dengan ‘Orang Gila’nya juga cukup menarik mengkritisi gersangnya  kemajuan berpikir orang-orang berpendidikan yang menuntut ilmu di Universitas. Lenyapnya tradisi menulis membuat bangsa ini hanya menjadi buruh dari nafsunya. Follower yang kerjanya tetap istiqamah menjadi konsumen sejati. Tanpa mampu berproduksi. Melalui tokoh ‘Lu’ (apakah ini ada kaitannya dengan ‘Alu’ yang saban hari hilir-mudik Darussalam-Simpang Mesra? tempat cerpen ini disettingkan) Putra cukup lihai memainkan imajinasi dan daya kritis kita dalam memandang dunia perguruan tinggi yang seolah-olah kerjanya Cuma beli diktat dan kerjakan tugas dari dosen. Kalau ditarik lebih jauh lagi.NDS_Akmal M Roem


Putra melalui ‘Lu’ sedang membangunkan tidur para mahasiswa, dosen hingga kepala universitas. Tapi, Dunia pendidikan telah mapan dengan kondisi begitu rupa. Ekslusif dan statis. Kalau pun ada kemajuan, tentu saja maju dalam pungutan ini itu. Suruh ini,suruh itu. Merujuk pada kata George Bernard Shaw, sekolah lebih menyiksa ketimbang penjara. tapi di penjara, kita tidak pernah dipaksa untuk membaca buku-buku yang ditulis sipir penjara. Sementara di kampus? Jawabannya terdapat dalam setting cerpen ini, Simpang Mesra tempat tugu pena menusuk langit yang menyimbolkan bahwa, ilmu tak pernah menyentuh masyarakat bawah. Ungkapan menarik dari cerpen ini adalah “orang waras tak berpikir,lebih sinting dari orang gila” pernyataan ini adalah tamparan bagi warga intelektual dan calon-calonnya.


Selain itu, topik kematian yang dipilih beberapa pengarang bukanlah kematian yang sedapat mungkin dihindari oleh makhluk hidup. Nazar Shah Alam memandang kematian sebagai sesuatu yang indah, dinanti-nanti karena akan mempertemukan sitokoh utama dengan kekasih hati yang telah lebih dahulu pergi. ‘Enam Bulan Terlalu Lama Menanti Kematian’ adalah kisah cinta yang demikian singkat untuk direguk sepasangan suami-istri muda. Kematian yang awalnya menakutkan karena harus memisahkan dua kekasih, akhirnya menjadi terlalu lama. Karena ternyata, takdir berkata lain, sang istri mendahului. Pada titik ini takdir seolah-olah digugat karena keterpisahan yang memilukan. Memikul kesendirian di dunia fana bagi sang suami lebih menyakitkan dari vonis mati dalam jangka enam bulan. Begitulah, kematian menjadi idaman bagi yang dipisahkan sang maut.


Buku antologi cerpen yang dieditori oleh Komunitas Jeuneurob ini ibarat album yang menyisakan berbagai macam perasaan bagi kita. Para pengarang di dalamnya yang tidak mungkin saya ceritakan penggalan kisahnya semua karena keterbatasan ruang, adalah para pemotret dengan sudut pandang masing-masing. Kisah-kisah yang saya fragmentasikan secuil ini kiranya dapat mewakili ke 20 cerpen lainnya.[]


Idrus bin Harun. Bekerja untuk ATJEHPOST.com sebagai Ilustrator. Jama’ah Komunitas Kanot Bu, Banda Aceh.

0 comments: