30.7.13

HL | 26 July 2013 | Kompasiana.com

Oleh Akmal M Roem


Seperti kita ketahui, sepak bola menjadi olah raga paling disukai di jagat raya ini. Magisnya sanggup menyedot jutaan pasang mata saat tim kesayangannya bermain. Kompetisi antar klub semacam La Liga di Spanyol, Bundesliga di Jerman, Seri A di Italia dan Liga Primer di Inggris menyuguhkan permainan atraktif yang kemudian menimbulkan efek besar bagi pecinta sepak bola di Indonesia. Efek seperti apa? Secara tidak langsung, fans besar di Indonesia ingin sepak bola di Indonesia bisa bisa menjadi lebih besar dari hari ini. “kami ingin sebuah perubahan yang nyata!”

Jangan terkejut bila akhir-akhir ini Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) malah menjadi angker bagi timnas Indonesia. Ini keangkeran yang sengaja diciptakan oleh pendukung klub besar tim elit eropa yang sengaja datang untuk membuli timnas Indonesia.


Jika selama ini kita selalu berusaha untuk belajar dari pengalaman, apa yang sudah kita pelajari? Bukan sekali dua kali laga uji coba seperti ini dilaksanakan. Apa tidak miris melihat kondisi timnas yang seakan ingin membuat malu dirinya sendiri. Rasa-rasanya persoalan yang dihadapi Timnas Indonesia tetap pada hal yang sama, soal bagaimana memperbaiki stamina pemain yang cukup buruk, mental pemain, ketidakakurasi dalam mengumpan bola, serta buruknya komunikasi yang terjalin antarpemain di lapangan. Ini masalah!

Promotor terus saja mengundang tim-tim hebat ke Indonesia. Dan tentu ini tidak berdampak apapun bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Uji coba hanya urusan bisnis dan keutungan pihak tertentu. Seolah ingin menggadaikan nasionalisme, pengurus PSSI tak pernah berharap bisa belajar dari kekalahan ini. Buat apa ada coaching clinic dan meet and greet serta laga uji coba yang sedemikian hebat itu kalau tidak ada satu pelajaran pun yang bisa dipetik. Jangan-jangan ini soal bisnis saja?

Dengan mudah GBK yang notabennya merupakan stadion kebanggaan rakyat Indonesia disulap menjadi kandang tim lawan. Puluhan ribu supporter yang datang ke GBK tentu berasal dari tim lawan untuk menyemangati pemain-pemainnya yang datang dari negeri jauh sana. Bahkan, dalam sekejap mereka lupa bahwa tim utama di lapangan itu harusnya Indonesia! Tapi kenyataanya selalu berbeda. Dari 80.000 lebih suporter yang memadati GBK, 100% jelas milik tim lawan!

Alhasil pujian pun terus berdatangan. Misal Arsenal dan Chelsea yang secara gamblang menyatakan bahwa penonton di Indonesia cukup fantastis! Hanya itu! Hanya penonton yang selalu mendapat pujian serupa. Bahkan Arsenal dan Chelsea bisa saja melupakan siapa lawan mereka di atas lapangan.

“Penontonnya fantastis, sangat bergairah akan sepakbola. Chelsea? Tim ini menunjukkan evolusi yang fantastis dan kami bisa tetap mempertahankan tren kemenangan ini. Hasilnya memang bagus tapi yang terpenting adalah saya puas dengan penampilan para pemain saya dan mereka begitu ingin terus mencetak gol. Tapi crowd di sini juga fantastis!” ujar Mourinho menjawab pertanyaan tentang suasana gegap gempita yang disuguhkan pendukung mereka di Indonesia.

Hal sama yang pernah di ucapkan oleh Brendan Rodgers ketika tercengang melihat sesaknya GBK yang sejak awal terus mengumandangkan Youll Never Walk Alone untuk menyemangati pasukan Liverpool menghantam Indonesia! Ya, menyaksikan suasana seperti itu jelas mengundang decak kagum Rodgers. “Rasanya sangat luar biasa. Kami selayaknya bermain di Stadion Anfield. Ini bagaikan rumah kedua dan kami tidak akan melupakan pengalaman di sini,” ujarnya.

Dan hal ini seakan telah menciderai nasionalisme masyarakat Indonesia. Buruknya hal itu terjadi hanya karena kegiatan yang jelas entertainment semata. Untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, para promotor tentu tak perlu memperdulikan siapa yang keluar sebagai pemenang. Tentu jauh hari masyarakat Indonesia telah bertaruh bahwa setiap laga uji coba seperti ini, Indonesia akan terus selamanya menjadi pecundang.

Tapi mungkin fenomena demikian justru hanya ada di Indonesia. Kalau kita ke tempat lain, hal langka ini seperti tak pernah ada. Para pecinta sepak bola di sana jelas akan lebih bangga kepada klubnya sendiri atau tim nasional mereka, karena mampu memberikan kebanggaan kepada mereka.

Tapi kita tentu tidak serta merta harus menyelahkan perilaku suporter yang seperti ini. Selama ini mereka tentu hanya melihat tim yang mereka idolakan bermain di layar kaca. Nah, ketika tim itu bisa hadir di tanah air ini, tentu para fans klub besar itu berusaha membangkitkan atmosfer yang seperti mereka lihat di layar kaca. Ini semacam pukulan yang harusnya membuat PSSI menjadi lebih telanjang.

Otak para petinggi di PSSI seperti sudah hilang akal mereka untuk membuat timnas Indonesia berevolusi menjadi lebih bagus. Para pengurus sibuk memikirkan perut mereka sendiri. Hal ini yang membuat timnas Indonesia akan nihil prestasi. Dan anehnya hal itu tidak pernah mereka sadari. Pejabat setinggi Menteri Pemuda dan Olah raga juga tak bisa membuat apa-apa untuk membuat jaya Indonesia di kancah apapun.



Bisnis Sirkus Sepak Bola

Masih ingat kisruh sepak bola Indonesia? Anda tentu memiliki pemahaman dan cara sendiri untuk menjelaskan dualisme sepak bola Indonesia yang muncul tak lain hanya karena perebutan kekuasaan. Ini akan semakin terlupakan. Pada dasarnya masih banyak permasalahan yang sedang melilit internal PSSI. Tapi media dan masyarakat jelas cukup bosan mengikuti perkembangan yang konon katanya seperti hendak meluruskan ekor kucing yang bengkok sedari lahir.

Prinsip berbisnis hanya mencari keuntungan. Kalau mau rugi ya bukan bisnis namanya. Boleh hitung sendiri berapa biaya untuk sebuah pertunjukan semacam ini. Kita butuh segalanya untuk membuat kesan sirkus semakin menarik dan tenang untuk dinikmati. Pengamanan, acara yang menghibur serta penonton yang banyak jelas akan membuat tujuan hiburan ini menjadi sukses.

Promotor mengelontorkan modal miliaran rupiah untuk mengundang tim-tim elit eropa untuk menghibur pecinta sepak bola di Indonesia. Untuk bisa “menghibur” tentu masyarakat perlu membayarnya. Inilah program utama promotor yang mendesain sedemikian rupa indahnya. Promotor tentu sadar bahwa tindakan mereka mengkomersialisasikan para pemain sepak bola itu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Tapi siapa tahu bahwa sebelum Chelsea ke Indonesia, media-media Inggris telah mempermasalahkan cara promotor membuat pertunjukan semacam ini. mereka menganggap pembodohan ini tentu akan menjauhkan klub dengan fansnya. Tentu etika bisnis semacam ini tak akan menjadi masalah Indonesia. Yang penting untung.

Masalah pelik ini menjadi semakin hangat kala Chelsea sendiri sempat mengamcam akan membatalkan keberangkatan ke Indonesia menyusul beredar kabar bahwa promotor akan mengutip sampai 1.300 poundsterling untuk bertemu para pemain, 460 poundsterling untuk mendapatkan tanda tangan di kostum Chelsea, dan 330 poundsterling untuk mengikuti latihan. Dan ini tentu bertolak belakang dengan prinsip sepak bola yang harusnya klub memberikan kemudahan dan hiburan bagi fansnya tanpa harus membayar semahal itu.

Dan akhirnya perhelatan bak sirkus ini menjadi semakin ironis setelah sekali lagi timnas Indonesia yang diberi “embel-embel” BNI All-Stars harus tunduk 1-8 atas Chelsea. Dan ironisnya kita lagi-lagi kalah di kandang sendiri namun justru tak ada pendukungnya. Para penonton datang ke Stadion Utama Senayan bukan mengenakan kostum “Merah-Putih”, tetapi justru klub-klub luar negeri itu.

Apakah suporter Indonesia telah putus asa terhadap sepak bola bangsanya sendiri? PSSI pernah menjanjikan bahwa mereka siap membina generasi penerus bangsa untuk memajukan sepak bola. Tapi bagaimana caranya, tempat yang dibangun untuk membina olah raga bangsa ini belum sempat berdiri udah runtuh akibat rakusnya pelaku politik bangsa ini yang dengan sengaja berusaha memiskinkan dan membodohkan bangsa ini secara gamblang.

Inilah faktanya: Indonesia vs Belanda 1-3, Indonesia vs Arsenal 0-7, Indonesia vs Liverpool 0-2, dan Indonesia vs Chelsea 1-8. Meski diembel-embeli atribut All Star atau Selection, materi pemain Indonesia tak jauh beda. 20 gol bersarang dalam gawang Kurnia Meiga! Suporter Indonesia tertawa terbahak-bahak bahagia tim kesayangannya datang ke Indonesia. Para promotor senyum lebar bahagia bisa meraup keuntungan yang luar biasa. Indonesia semakin tragis di mata banyak orang! Bangga dengan kekalahan!

Ada yang masih ingat kapan terakhir Indonesia menang?

Maaf jika ekspektasi berlebihan seperti ini bisa muncul. Sejatinya mungkin karena aku benar rindu kemenangan. Rindu suara “Garuda di dadaku” kembali menggema. Indonesia tidak sekedar sedang bermain “sirukus”. Pasca kemenangan diraih Chelsea, Mourinho sebut fans di Indonesia yang memadati GBK dengan sebutan “Fantastis!” Andai ada perubahan, kelak, siapa tahu mungkin nanti Mourinho juga akan bilang, “sepak bola Indonesia, Fantastis!”

Tapi kalau saja masih seperti ini sebaiknya lupakan sepak bola! Matikan TV! [ ]

Salam

@vanroem

0 comments: