30.7.13


PADA satu sore, ketika hendak memenuhi undangan berbuka puasa di rumah teman, aku menyempatkan diri menikmati hiruk pikuk pasar kecamatan Balai Karangan. Sambil ngabuburit, aku dan temanku rencanya hendak mencari makanan khas daerah ini. Tapi ternyata di sepajang jalan, hanya kue-kue yang biasa didapatkan di seluruh indonesia memenuhi etalase.

Ya, hanya kue-kue seperti risol, bakwan, lemang, dan kue basah lainnya diatur sedemikian rupa bagusnya untuk menarik pelanggan. Bagi kami itu terlalu biasa, jadi kami sepakat mengatakan itu menu berbuka biasa, mungkin di tempat tujuan nanti sudah ada kue-kue serupa itu, jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Memang benar sekali, tampak jelas sepanjang perjalanan kami melihat ibu-ibu menjual takjil yang hampir sama dengan kondisi di berbagai tempat di Aceh.

“Hana yang meukat sie kameng atawa ie bu peudah ino (tidak ada yang menjual kari kambing dan bubur pedas di sini),” kata temanku sambil tertawa.

Nah, ternyata tidak hanya aku, temanku juga cukup merasa ada sesuatu yang hilang di Ramadan kali ini. Tiba-tiba saja harum ie bu peudah (air nasi pedas/bubur pedas) mengepung pikiran. Kami lantas berbagi cerita tentang meunasah (surau) di kampung yang menebarkan nikmatnya harum rempah-rempah saat hampir berbuka puasa.

Hal yang biasa kita lihat, di meunasah usai salat asar harum bubur pedas khas Aceh membumbung seantero kampung. Bubur khas yang dimasak dalam kuali besar ini menjadi pilihan terbaik untuk berbuka puasa. Untuk menyiapkan makanan khas sejenis bubur kanji rumbi yang berwarna coklat muda ini tentu bukan perkara mudah. Makanya orang kampung sepakat membuatnya di meunasah untuk dibagikan ke seluruh warga.

Ie bu peudah terdiri beberapa jenis rempah yang diaduk dalam kuali merupakan bahan pilihan semisal daun tharer, daun merah saga, dan daun salam. Dedaunan khas ini memang jauh hari disiapkan sebelum Ramadan tiba. Dalam menyiapkan ie bu pedah, bumbu itu kemudian dicampur dengan nasi, jahe, kunyit, dan lada untuk sensi pedas yang keren. Ie bu pedah ini diyakini dapat membuat orang lebih bertenaga dan menjauhkan badan dari masuk angin. Sajian khas Ramadan ini layaknya obat yang cukup digemari.

Resep membuat ie bu pedah sendiri tentu beragam. Lain meunasah, lain pula cara orang menyajikannya. Misal ada yang mengatakan bahwa bahan racikannya terbilang sedikit rumit karena harus mengumpulkan 44 bahan rempah untuk satu masakan. Hal ini mungkin yang kemudian membuat ie bu pedah hanya bisa didapatkan saat Ramadan saja. Tapi yang namanya bubur tetap menjadi primadona dalam berbuka puasa.

Nah itu di Aceh, bagaimana kami di Kalimantan Barat? Saat sampai di kediaman pak Anthasuri di kecamatan Balai Karangan kami dikejutkan dengan sebuah menu yang luar biasa. Ya, di satu sudut meja ada sebuah makanan khas. Melihat keunikan makanan tersebut membuatku memutuskan untuk menjadikan target utama dalam berbuka puasa kali ini. Makanan yang terbuat dari kumpulan rempah-rempah itu adalah bubur pedas khas Sambas, Kalimantan Barat.

Setelah selesai berbuka, aku sempatkan diri bertanya-tanya soal racikan hidangan khas ini. Aku sedikit penasaran karena namanya bubur pedas tapi rasa pedas sama sekali tak terasa. Beda sekali dengan ie bu peudah di Aceh.

“Nama bubur pedas sih tidak asing, tapi rasanya yang membuatku sedikit bingung. Aku tidak merasa pedas dari bubur ini kecuali ketika ditambahkan sambal,” kataku sambil tertawa.

“Ya, itulah bubur khas Sambas. Tentu beda dengan di Aceh,” balas Anthasuri. Makanan khas suku Melayu Sambas, Kalimantan Barat, ini konon katanya adalah sajian di kerajaan. “Bubur pedas ini telah menjadi makanan khas dan merupakan satu tradisi yang cukup kental bagi kami di Sambas. Ini merupakan makanan tradisi yang mengandung nilai budaya kerajaan Melayu Deli,” tutur Anthasuri. merupakan satu tradisi yang amat kental nilai budayanya di kerajaan Melayu Deli.

Anthasuri merupakan warga suku Melayu Sambas yang kini menetap karena tugas menjadi guru di Kabupaten Sanggau. Ia adalah penyuka makanan tradisi. Telah kunikmati sendiri bagiamana lezatnya racikan Ayam Pansuh bikinan istrinya.

Anthasuri kemudian sacara gamblang membagi resep bubur pedas ini. “Untuk memasak kita cukup mencampur bahan-bahan yang sudah disipakan. Beras sangrai dan kelapa sangrai ditumbuk halus adalah bahan utama. Kemudian dicampur bahan lain seperti cabai, bawang merah, kunyit, daun salam dan aneka dedaunan serta rempah lainnya. Pokoknya ada 40 lebih macam bumbulah,” tutur guru bahasa Inggris ini.

bubur pedas sambas. doc: Akmal M Roem
Bentuk bubur pedas ini cukup kental. Ini karena beras yang ditumbuk menjadi padat karena airnya tidak sebanyak bubur lainnya. Aneka sayuran juga membuat corak bubur terlihat semraut. Ada daun kangkung, tauge, daun kesum, ketela, kacang panjang, rebung dan beberapa bahan lain cukup terasa saat melahapnya. Untuk menikmati bubur pedas, kita bisa menyajikannya saat hangat ditambah sedikit jeruk nipis, cabe, kacang tanah, dan ikan teri.

“Bubur ini telah menyebar di berbagai kabupaten di Kalimantan Barat ini. Soal campuran, ya, sesuai selera. Namun melihat begitu banyak racikan bahan dalam satu masakan ini mungkin dinamakan bubur pedas. Tapi kalau mau tahu jelasnya nanti kita ke Sambas saja,” seloroh pria bertubuh kurus ini sambil tertawa.

Ya, cukup banyak kuliner tradisinoal di Indonesia ini. Aku sendiri cukup bangga karena bisa menikmati hidangan berbuka puasa yang tentu tak biasanya. Sekali lagi, Indonesia telah menujukkan padaku betapa kayanya tradisi dan budaya yang terkandung dalam nusantara ini. ini merupakan sejarah sendiri bagiku. Bisa menikmati makanan enak yang konon pernah diklaim sebagai makanan tradisi Malaysia. Menurut warga melayu negeri jiran itu, bubur pedas merupakan makanan khas dari negeri Serawak, Malaysia.

Saya yakin sekali, di Indonesia ini banyak sekali aneka bubur pedas seperti ie bu peudah di Aceh. Bahkan di Medan dan Manado cukup terkenal bubur pedas ketika Ramadan tiba. Walau nama sama, tentu cara menyajikan dan rasannya tentu memiliki khas tersendiri. Itulah kekayaan kuliner Indonesia yang tentu harus tetap dijaga keasliannya.

Sekali lagi, Kalimantan Barat telah menyuguhkan lagi satu tradisi yang cukup berarti bagiku. Kejutan yang memulihkan rindu berbuka puasa dengan ie bu peudah seperti di Aceh. Terima kasih, Borneo![]

Akmal M Roem, guru SM3T Aceh di Kalimantan Barat, penyuka kuliner tradisional. Follow twitternya: @vanroem

0 comments: