8.8.13

Peuturot hatee lon jak meudagang
Peutinggai gampong
Tinggai mandum peunyang lon sayang

Tinggai yah ngon mak
Tinggai boh hatee
Malam ngon uroe
Hantom tuwo
Teuingat sabee

Jino lon tuan jueoh dimeurandeh
Laot yang luah jipeumisah badan geutanyo
Meunyo lon ingat ureung di gampong
Peudeh lam hatee ie mata ilee hana meurasa

Jioh ka lon jak
Ka leuh lon teumeung kalon
Peu nyang ceudah-ceudah peuneuget insani
Teuman that ceudah peuneuget ilahi
Gampong pat asai lon ngon pandangan asri

Peulom bak watee padee kuneng meusuasa
Dimeusu bansi meualon-alon lam blang raya
Gundah hatee lon hanjeut lon theun le
Meunyo lon cicem lon po malam u gampong teuma.

(Teuingat ugampong, Aceh Linto)




Sebuah lagu yang mengangkat rasa rindu terhadap kampung halaman yang tak putus-putus aku dengar saat menyaksikan Festival Meriam Karbit di Sungai Kapuas Hulu. Malam terakhir Ramadan menjadi lebih dingin saat hujan berusaha mengusir keramaian pinggir Kapuas. Tapi ternyata tak lantas membikin orang pada pergi. Malahan mereka terus saja berdatangan menyaksikan ledakan dahsyat yang ditimbulkan dari meriam sebesar pohon kelapa itu.

Ratusan kembang api menyala di atas langit seolah ingin mengantikan cahaya bintang yang dipadamkan kabut mendung. Orang-orang begitu senang menyambut datangnya bulan Syawal. Mereka seakan ingin menjelaskan pada semua orang bahwa saat ini merekalah yang paling bahagia di dunia ini. Ya, Syawal memang telah dinanti sejak awal Ramadan lalu.

Dikejauhan, antara ledakan petasan dan meriam, terdengar sayup takbir yang begitu semangatnya mengaung dari surau-surau. Mereka juga ingin menegaskan kemerdekaan! Dan itulah yang patut dilakukan untuk menyambut bahagianya kemenangan. Namun, tentu kami tidak ingin kehilangan makna Idul Fitri kali ini. Jadi, sekalipun gegap gempita membumbung tinggi bak warna-warni kembang api, hati ini tetap pilu meninggalkan sucinya bulan ramadan.

Ramadan kali ini memang sedikit asing bagiku. Jauh dari keluarga dan kampung halaman menjadikanlu manusia paling kerdil di antara kebahagiaan ini. Namun, setidaknya aku ingin bersyukur bahwa di kampung besar ini, aku masih punya orang-orang yang selalu menganggapku sebagai saudara mereka; anak, adik, abang dan sebagainya telah melekat pada diriku, kini.

Subuh terakhir ramadan aku habiskan di Masjid besar Mujahidin di Pontianak. Sebuah hal takjub kutemukan di sini. Sebuah kumpulan yang diberi nama "Sajadah Fajar" memenuhi masjid Mujahiddin yang kondisinya sedang direhab. Tim safari shalat subuh ini menerangkan bahwa yang melakukan 'itikaf pada malam terakhir ramadan adalah berjumlah lebih dari 400 orang. Kata panitia, walau sempat kelabakan mencari makanan untuk sahur dikarenakan banyak warung yang sudah tutup, akan tetapi tamu Allah yang mulia itu akhirnya bisa menikmati hidangan sahur dengan baik sekali.

Di Masjid ini aku berjumpa dengan Pak Eko. Guru yang biasanya menjadi teman baikku di sekolah. Ia menceritakan banyak hal tentang kegiatan 'itikaf yang telah dijalankannya dalam beberapa hari terakhir ramadan. Menurutnya ini sungguh takjub karena tiap hari makin bertambah. Sungguh luar biasa.

Hujan pun tiba-tiba turun menyambut fajar terakhir ramadan. Aku pun harus jujur untuk menulis yang tidak biasa, aku menangis antara dua hal, ramadan pergi dan bagaimana aku menyambut Idul Fitri di sini tanpa emak dan ayahku.

Di Pontianak, aku tinggal di rumah pak Antha. Ia punya ibu yang cukup baik. Aku menjadi sangat akrab dengannya. Membantunya memasak dan menyiapkan Idul Fitri bersama hingga membuatnya berkata, "Anggap ini rumahmu sendiri, mal. Jangan malu terhadap apapun." Alhamdulillah akhirnya aku punya keluarga (lagi) di sini. Sosok ibu seperti ini sungguh ku dambakan. Ia begitu bersemangat dan selalu memiliki banyak cerita yang menarik untuk disimak hingga tiba-tiba magrib terakhir ramadan datang begitu saja. Kami buka puasa dan mengemakan takbir bersama.

Hujan kembali membungkus pontianak di malam takbir ini. Aku dan pak Antha sudah di perhelatan akbar Festival Meriam Karbit tepat pukul 23.00 wib. Malam dingin, hujan, keramaian yang begitu bersemangat serta dentuman-dentuman yang cukup hebat!

Pagi dibangunkan azan subuh dan lekas menyiapkan diri shalat Id di masjid Mujahidin. Ribuan orang telah berkumpul. Tak ada tempat lagi di dalam. Kami shalat di halaman masjid dengan penuh khidmat sampai akhir khotbah menjadi momen paling indah dalam melaksanakan ibadah di hari yang suci ini.

Sesampai di rumah, aku berbagi cerita dengan keluargaku di Aceh. Ayah orang pertama ku hubungi. Semangat suara ayahandaku tercinta ini membuatku merinding. Ingin memeluk tubunya, memohon ampunan sebagai anak yang tak pernah luput dari salah. Setelahnya aku mendapat telpon dari abangku yang sedang menempuh program doktoral di Harvard University, USA. Kami berbagi maaf dan sungguh aku cukup senang. Lalu aku menelpon kakak-kakakku di Aceh.

Talitha!!!! Keponakanku paling lucu ini baru akan berumur 4 tahun pada November 2013 ini. Apa yang terjadi? Dia begitu lucu membagi cerita. Si kecil ini sedang sibuk melipat angpawnya untuk dimasukkan ke dalam celengan berbie. Dia hendak membeli handphone! Bayangkan! Anak baru berusia 3 tahun lebij itu udah cukup fokus pada apa yang diinginkannya. "Ma, Talita mau beli hp. Biar bisa baca berita, kirim sms dan main game!" Itu katanya. Dari mana dia dapat perkara itu? Entahlah! Anak itu selalu memiliki hal ajaib. Aku selalu merindunya.

Setelah itu, aku telpon ibunda tercinta! Berbagi cerita dengannya selalu dalam tawa dan canda yang bahagia. Aku begitu bersemangat menceritakan apa yang kulewati di sini. Itu aku lakukan agar tak membuatku semakin sedih karena tak bisa memeluk dan menciumnya. Padahal ketika emak mengucap salam, aku ingin rasanya menangis. Tapi walau bagaimanapun ia telah membuatku menjadi anak yang kuat sekali. Kuat dan selalu kuat untuknya!

Siang seperti ini cukup membuatku merindukan kampung halaman. Andai saja punya sayap seperti syair lagu di atas, maka aku sejenak akan berada di kampung untuk berbagi cinta agar rindu hebat ini bisa aku buang. Tapi itu hanya lagu yang selalu membuatku rindu akan kampung halaman.

Pontianak akan aku taklukkan sore nanti. Kami berencana mencari jajanan kuliner Aceh di jalan Johar. Itu nanti sore! Saat ini mau istirahat siang dulu. Buat teman-temanku, saudaraku, semua makhluk yang ada di alam semesta ini, baik yang sedang bersama keluarga atau sedang menyendiri di tempat asing tetaplah semangat dengan terus bersyukur bahwa kita masih diberi nafas untuk saling memaafkan. Lebaran! Buka lebar pintu maaf! Buka lebar hati untuk menerima permintaan maaf. Buka lebar mulut untuk berani meminta maaf!

Hanya rindu yang tersisa jelang pulang ke kampung halaman nantinya. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Mohon maaf lahir dan batin dariku yang pernah dengan sengaja atau tidaknya membuat masalah hingga bermasalah buat semua. Aku mohon maaf. Dengan ikhlas! Alhamdulillah, ya Rabb. Sungguh nikmat rahmatMu hari ini.



Salam
Akmal M Roem, Guru SM3T Aceh di Kalimantan Barat. Follow my twitter: @vanroem

2 comments:

waly said...

Mantappp

Akmal M Roem said...

thanks brooo