Oleh Reza Idria
Ini kisah saya tentang Aceh dan Puasa Ramadan. Dua hal yang saya
kerjakan sejak kecil tanpa tanda tanya. Sampai kemudian saya menyadari
bahwa bulan puasa di Aceh memiliki suasana dan bebauan yang tidak
tergantikan dalam ingatan, saya memutuskan menulis kenangan tentangnya.
Telah
beratus-ratus tahun puasa di sini diawali dengan hari memakan daging
sapi atau kerbau terbaik yang meruapkan aroma khas ke seluruh penjuru
dari bumbu-bumbu rahasia dan kecekatan meramu kaum ibu. Hari makan besar
yang kami sebut sebagai hari Meugang tersebut biasanya
dirayakan satu atau dua hari sebelum hari pertama puasa ditetapkan.
Tidak ada yang bisa memastikan dari mana muasal ritual ini, bahkan apa
makna verbal dari nama itu sendiri, meski beberapa pembual memberi
sejumlah pilihan tentang apa definisi dan kemana sandaran hukum untuk
masyarakat Aceh merayakan kedatangan Ramadhan dengan memotong hewan dan
menikmati dagingnya dalam porsi yang sedikit berlebihan, tapi kita tahu
pasti bahwa tak ada pendapat yang pasti tentangnya. Saat masih di bangku
Sekolah Dasar (saya sekolah di madrasah) saya pernah membaca bahwa di
Minangkabau beberapa komunitas masyarakat juga menyambut kedatangan
bulan puasa dengan kenduri dan istilah makan besar, seperti yang ditulis
oleh Muhammad Radjab dalam autobiografi-nya Semasa Ketjil di Kampoeng (1913-1928), namun tidak ada keterangan jelas dalam buku koleksi kakek saya itu apakah perayaan yang sama diadopsi dari Aceh atau sebaliknya.
Yang
pasti, daging sapi atau kerbau untuk Meugang adalah daging spesial.
Mestilah daging sapi jantan dewasa yang dipelihara dengan perhatian
ekstra. Umumnya sapi jantan untuk Meugang dipelihara dalam kandang kayu
tertutup dan dibatasi kontaknya dengan dunia luar. Hal tersebut
menyebabkan sapi-sapi itu liar dan beringas, kalau sesekali sapi jantan
untuk Meugang lepas ketika hendak dimandikan satu kampung bisa riuh
karenanya. Tidak ada tradisi menggembala sapi jantan ke ladang luas,
sehingga setiap hari peternak harus mencukupi kebutuhan rumput segar
plus batang pisang, mengasapi kandang selepas petang untuk mengusir
nyamuk, dan memandikan hewannya secara berkala. Orang yang memelihara
sapi jantan dengan cara tersebut harus mencukupi makanan ternaknya dalam
keadaan panas maupun hujan, sedang si hewan peliharaan nyaris tidak
pernah sengsara karena cuaca. Ini mungkin yang menyebabkan harga daging
sapi jantan untuk Meugang senantiasa melambung tinggi, tidak akan
berlebihan jika saya katakan bahkan melampaui harga daging di manapun di
dunia ini. Selama beratus-ratus tahun orang Aceh tidak punya kuasa
menolak harga tinggi untuk sebuah tradisi tersebut. Inilah mungkin
muasal beban bagi sebagian lelaki Aceh yang secara kultural diwajibkan
menanggung biaya Meugang bagi keluarganya.
Hingga abad millenium ini
daging Meugang tetap memiliki nilai prestisius dan menjadi ukuran status
sosial sebuah keluarga. Jumlah dan kemampuan seorang laki-laki membeli
daging Meugang seringkali menjadi tolok ukur pendapatannya. Dengan kata
lain, membawa pulang daging Meugang ke rumah jadi semacam kewajiban bagi
laki-laki dewasa, diakui meski tanpa dalil dari syara’. Untuk mereka
yang memiliki kemudahan secara ekonomi kewajiban tersebut bukanlah
masalah, namun bagi yang miskin, bukan main susahnya. Namun seperti saya
singgung di atas, telah berabad tradisi tersebut tidak ada penolakan
oleh masyarakat. Ada mekanisme di tempat-tempat tertentu yang membuat
setiap rumah bisa mencicipi daging meugang. Di kampung saya, misalnya,
kekerabatan yang kuat mungkin menjadi berkah bagi setiap mereka yang
kurang mampu untuk sekedar bisa membawa pulang satu atau dua kilo daging
melalui keterlibatan mereka dalam prosesi pemotongan dan pembagian
daging Meugang yang sapinya dibeli secara kolektif.
Banyak
juga kisah-kisah tragis yang beredar tentang harga sebuah Meugang bagi
lelaki Aceh. Tidak ada yang membuktikan kebenaran, namun ada cerita
lelaki yang sampai memotong kemaluannya untuk dibawa pulang sebagai
tanda protes terhadap istri atau mertua yang melukai kehormatannya
karena hinaan tidak mampun membawa pulang daging Meugang, atau ibu-ibu
yang hanya menggoreng daun pandan dan bawang demi menebar bebauan
masakan sekaligus menutupi ketidakmampuan lelakinya membawa pulang
setumpuk daging untuk makan raya jelang puasa.
O ya,
penting juga untuk saya singgung di sini bahwa setelah dewasa saya tahu
Meugang juga bisa menjadi alat atau sekaligus teror bagi politisi.
Tibanya hari Meugang sering dimanfaatkan para politisi untuk meraih
simpati dan suara masyarakat dengan cara membagi-bagikan daging secara
langsung atau melalui kupon yang bisa ditukar pada penjual di pasar.
Terutama sejak model pemilihan langsung diterapkan dalam demokrasi
Indonesia. Politisi yang punya modal kuat sangat menunggu momentum
tersebut untuk memperkenalkan diri sekaligus menyamarkan praktik money politics, sementara
politisi dengan modal tanggung akan bergegas pergi dari kampung untuk
menghindari harapan orang mendapat bagian darinya. Ini budaya jahat
mutakhir yang pelan dibangun oleh mereka yang mengejar kekuasaan. Suatu
ketika, tepatnya Meugang tahun 2011 memberi kami kisah pilu tatkala
seratusan tukang becak yang memegang kupon daging Meugang berebut ke
kediaman Wakil Gubernur Aceh waktu itu, Muhammad Nazar, namun kupon
tersebut hanya kebohongan politik yang sangat melukai hati. Tak ada
pembagian daging, hanya ada tembok pongah kekuasaan dan setelahnya
saling lempar tuduhan siapa menggalang kampanye hitam.
Tidak
perlu banyak bahasan tentang siapa si penjahat di sini, jadi saya
kembali ke bagaimana cara memperoleh daging Meugang tanpa latar belakang
politik. Untuk konsumen biasa, ada dua cara membeli daging pada hari
Meugang, pertama dari pasar rakyat di mana pembeli datang dan membeli
daging yang digantung sepanjang jalanan pasar dengan harga berdasar
timbangan kilogram. Cara kedua adalah membeli hasil pembagian daging
seekor sapi atau kerbau yang diiris rata dengan jumlah tumpuk tertentu
(sesuai ukuran hewan dan jumlah harga pesanan). Pemasaran jenis kedua
biasanya lebih disukai karena seorang pembeli bisa memperoleh setiap
bagian dari tubuh hewan meugang yang juga dibagi rata, termasuk tulang,
kulit dan jeroan. Begitu usai shalat Subuh, para pejual daging sudah
bekerja. Menyembelih, menguliti dan memotong-motong hewan dengan
cekatnya. Kadangkala sejak tengah malam, tergantung pada jumlah sapi
atau kerbau yang hendak dipasarkan oleh seorang pedagang daging.
Disinilah biasanya dilibatkan beberapa orang yang kurang mampu untuk
membantu proses menyiangi hewan yang sudah dipotong, jasa mereka akan
diganjar dengan satu atau dua tumpuk daging, lantas mereka pun dengan
kepala tegak membawa pulang bahan untuk makan raya bersama keluarga;
menyambut bulan puasa.
Sebelum tengah hari daging sudah
harus sampai di rumah, kemudian giliran kaum ibu memotong-motongnya
menjadi lebih kecil, memisahkan bagian tertentu untuk jenis masakan
tertentu. Ada rendang merah dan putih, asam pedas (masam keu’eung), daging rebus cuka (sie reubôh)
dan lain-lain. Jauh-jauh hari para ibu telah mempersiapkan sejumlah
rempah khusus seperti tumbukan kelapa gonseng yang diambil minyak
gurihnya, lada hitam dan putih, merica, kayu manis, cabai merah dan pala
yang telah dijemur matahari untuk menjadi pelengkap ragam bumbu segar
lainnya. Khusus untuk daging rebus cuka atau sie reubôh hanya
dikenal di sebagian kawasan Aceh Besar. Ide untuk membuat masakan
semacam ini bisa jadi karena ada stok daging yang berlebihan untuk
dimakan dalam waktu yang singkat, mungkin juga dipengaruhi oleh kondisi
Aceh yang senantiasa dilanda perang sehingga terciptalah jenis masakan
yang praktis dan bisa bertahan lama untuk disumbangkan kepada para
gerilyawan. Dalam kaitan dengan Meugang, jenis masakan sie reubôh
ini juga menakjubkan karena bisa bertahan hingga akhir bulan puasa.
Paduan cuka, bawang putih, kunyit dan cabe kering serta pengentalan yang
disebabkan oleh lepasnya lemak daging membuat masakan ini menjadi juara
awet. Hanya tinggal dipanaskan saat ingin dimakan. Praktis untuk lauk
nasi sahur dan dipadu dengan sayur bening labu. Semakin lama diperam,
semakin dalam resapan bumbunya, semakin sedaplah rasanya. Tapi sie reubôh bukanlah
makanan favorit di hari Meugang, karena ia memang disiapkan untuk
dimakan pada hari-hari pertengahan bulan puasa nantinya.
Sambil
menunggu ibu memasak, yang lumayan lama karena daging sapi biasa cukup
alot untuk bisa matang dengan cepat, kami yang kanak biasanya meminta
jeroan atau mencuri-curi kerat daging untuk membuat sate di pekarangan
belakang rumah. Ibu tahu tapi membiarkan karena tidak ingin pekerjaannya
di dapur terganggu. Setelah masakan ibu siap, kami dipanggil untuk
makan bersama. Di rumah saya, asam pedas dan rendang adalah sajian utama
bagi orang dewasa, kakek-nenek, ayah-ibu dan kakak yang sudah besar,
sementara untuk anak-anak akan dihidangkan sup dan semur kecap. Sejak
kecil saya rancak mencoba semuanya, menciduk kuah asam pedas yang disaji
untuk ayah dan menimbun nasi dengan daging rendang. Ibu akan menggeleng
kepala kepada saya dengan senyum, ia biasanya tak melarang, dan untuk
dirinya sendiri ia tak banyak makan, mungkin sudah lelah karena memasak
demikian banyak.
Selepas makan di rumah, bersama teman-teman sebaya kami memiliki ritual sendiri yang kami sebut meuramin
(makan ramai-ramai) yakni dengan membawa hasil masakan ibu baik dalam
rantang maupun bungkus daun pisang ke tempat bermain. Biasanya ke sungai
atau ke ladang dekat hutan yang ada di belakang perkampungan kami.
Setelah mandi keringat bermain bola atau kuyup berenang kami akan makan
kembali dengan lahap, dalam porsi-porsi yang cukup “mengerikan” untuk
dihabiskan seorang kanak. Kami makan banyak sekali karena tahu mulai
besok ibu akan mengunci semua lemari yang menyimpan masakan meugangnya,
hanya untuk dikeluarkan pada saat magrib ketika waktu berbuka tiba.
Sejak
usia tujuh tahun kami sudah dibiasakan berpuasa. Ingatan saya kembali
pada pengalaman pertamakali berpuasa. Ibu memulai dengan melatih saya
puasa hingga setengah hari, lantas berbuka. Esoknya mengharuskan saya
menambah satu jam dari waktu berbuka hari sebelumnya, demikian terus
sampai di pertengahan Ramadan saya mampu mencapai satu hari penuh
pertama berpuasa. Saya kira saat itu saya baru kelas satu di Madrasah
Ibtidaiyah.
Puasa di waktu kecil adalah liburan panjang
yang menyenangkan. Selama Ramadan, siang malam tidak ada jin yang
berkeliaran, demikian kata orang tua-tua. Kami puas bermain di seputaran
kampung, merasuk-rasuk ke segenap semak yang takut kami masuki di luar
bulan puasa, kini kami berani karena semua jin sudah dirantai di dalam
bara api. Suara orang bertadarus di meunasah (surau) dan mesjid
membahana sampai pagi. Ibu dan kakak perempuan tidur lebih cepat karena
mereka akan bangun lebih pagi menyiapkan makan sahur. Ayah saya selama
puasa juga pulang larut karena mengimami shalat tarawih dan membetulkan
bacaan Al-Quran mereka yang sedang bertadarus. Subuh bulan puasa
memiliki cerita sendiri bagi anak muda. Dalam usia yang lebih remaja,
saya berkali-kali melarikan sepeda motor ayah ke sana kemari setiap usai
shalat Subuh. Saya memanfaatkan waktu Ayah yang lengah, lelah semalaman
menjadi imam, membetulkan bacaan orang bertadarus dan mengimami shalat
Subuh lagi setelah sahurnya. Ratusan orang dengan sarung dan mukena
berada di jalanan. Luar biasa bersemangatnya kami yang punya kesempatan
memacu sepeda motor di antara mereka, sebagian beroleh kesempatan untuk
menarik perhatian orang-orang idaman. Maka gelisahlah mereka yang tua,
sebab sudah tiba di kampung kami budaya “asmara subuh” yang dapat
merusak puasa pahala puasa. Sampai seorang juru khutbah menyatakan kaum
muda telah membantu jin melepas rantai yang membelitnya.
Selalu
menyenangkan mendengar ayah memberitahu bahwa semua kegiatan baik dalam
bulan puasa diganjar pahala besar. Beribu kali lipat dari hari biasa.
Tidur juga dianggap ibadah. Apalagi hal yang paling menyenangkan selain
hadiah Ilahi seperti ini? Itu membikin saya mengerti kenapa banyak
laki-laki bermalas-malas di surau, beribadah tidur mereka rupanya.
Orang-orang ramai bersedekah selama Ramadan, memberi makan orang berbuka
puasa balasannya surga tertinggi. Selalu ada undangan kenduri
berganti-ganti antar kampung di kemukiman kami untuk berbuka puasa.
Gulai kambing dengan nangka yang dimasak dalam belanga raksasa adalah
menu utama berbuka di meunasah-meunasah tersebut. Meski bergiliran
didatangi dan menunya itu-itu juga, tidak terkira bersemangatnya orang
makan saat berbuka. Berbuka puasa ditandai dengan bunyi serunai (sirene)
dari radio transistor yang dekatkan ke pengeras suara di surau.
Raunganya yang menyayat telinga mampu kami dengar karena itu merupakan
penanda sudah boleh makan minum. Pada hari-hari setelah puasa, suara
sirene itu tak ada sedikitpun merdunya. Dulu sebelum saya lahir,
orang-orang memukul bedug tanda tibanya saat berbuka. Tapi saat ini tak
ada lagi bedug, hanya sirene yang meraung-raung ke seluruh penjuru
kampung. Bergegaslah kami makan begitu terdengar bunyinya. Hanya
orang-orang tua seperti ayah yang mampu menahan tidak langsung menyantap
nasi dengan gulai kambing nangka, mereka biasanya meminum air timun
seteguk dua dan menunaikan shalat berjamaah. Sementara kami yang
mengerumuni makanan di pekarangan meunasah menyantap semua hidangan
sampai tandas hingga sulit bernafas. Terengah-engah perut kekenyangan
dan susah dibawa shalat magrib setelahnya.
Air timun
penting saya sebut di sini sebagai minuman yang hampir wajib menjadi
pelepas dahaga puasa. Segar bukan main rasanya dicampur dengan sirup
gula dan es batu. Di kawasan pedalaman, campuran air timun adalah biji
kolang kaling yang mungkin selicin titian menuju surga. Menjelang tiba
bulan Ramadan, banyak orang turun ke kebun membersihkan pohon enau dan
menyadap nira manis untuk dipasarkan. Pemuda-pemuda kampung yang nakal
waktu itu harus gigit jari karena sementara tidak ada nira yang bisa
dibikin masam. Bagi yang tinggal tidak terlalu berjarak dari kawasan
perkotaan juga dapat memperkaya olahan air timun dengan cincau,
agar-agar dari rumput laut yang dijual oleh pedagang Tionghoa di
perkampungan Cina. Orang Tionghoa tidak kurang gembiranya selama bulan
Ramadan, jualannya laku keras karena tidak banyak pedagang Aceh yang
serius berjualan selama bulan puasa. Saban petang mereka sudah
mempersiapkan dan menjual beragam penganan untuk berbuka kaum Muslimin.
Sewaktu
kakek masih ada, beberapa kali saya dibonceng sepeda ke pertokoan tauke
Cina. Sahabat kakek namanya Tauke Tjong, menjual grosir sembako di
sudut Peunayong. Diajak ke tempat pedagang Cina berarti kantung saya
akan penuh dengan gula-gula dan petasan yang dihadiahkan oleh Tauke
Tjong. Pernah dalam bulan puasa ketika datang bersama kakek, saya lihat
Tauke Tjong sedang mematikan pipanya. Saya yang kecil bertanya kenapa
dia merokok di bulan puasa. Dia bilang sedang tidak puasa karena sakit.
Kelak saya tahu bahwa si Tauke itu lain agamanya. Tauke Tjong juga bisa
berbahasa Aceh dengan fasih, bahasa yang konon sangat sulit dipelajari.
Semua
orang tampak berpuasa sebulan penuh. Tapi sudah jadi rahasia umum bahwa
satu dua orang di kampung menyembunyikan periuk di dangau-dangau kebun
mereka. Kalau sudah tengah hari biasanya mereka berkomplot untuk memasak
di suatu tempat, yang jauh dari perkampungan. Bahan dasar untuk dimakan
sudah diselundupkan jauh-jauh hari sebelum bulan puasa tiba. Sore hari
mereka akan pulang dengan wajah yang dipucat-pucatkan dan langgam jalan
yang dilemah-lemahkan untuk tetap meyakinkan keluarga bahwa mereka masih
berpuasa. Tak jarang ada yang ketahuan, maka ramailah terdengar
lengking kemarahan istri atau ibunya.
Satu minggu terakhir Ramadan
adalah persiapan menjelang hari raya, pasar-pasar bukan main penuhnya.
Ibu pernah diantar pulang dengan labi-labi (angkutan kota di Banda Aceh)
karena pingsan di pasar. Mungkin gerah karena puasa dan terjepit dalam
sesak orang berbelanja. Menyambut datangnya Lebaran membuat ibu dan
kakak saya sesibuk orang kantor kecamatan; baju baru, kue-kue, menjemur
permadani dan penutup jendela. Ayah sering mengeluh tentang berkurangnya
jemaah di minggu-minggu akhir Ramadan. Godaan merayakan Lebaran sering
menguapkan semangat dan inti terdalam dari berpuasa, yakni kemampuan
menahan diri. Seperti saya katakan di atas, satu dua hari menjelang
Lebaran kembali ada hari Meugang. Tapi tak sesibuk Meugang menyambut
tibanya Ramadan. Hanya orang-orang tertentu yang membeli banyak daging
untuk menjamu tamu-tamunya setelah Shalat Ied. Malam Lebaran senantiasa
menjadi puncak kenikmatan berpuasa. Semua rumah terang benderang,
ibu-ibu memasak timpan dan ketan untuk tetamu terdekat yang akan bersua
esoknya. Anak-anak membakar meriam bambu di setiap penjuru kampung,
ditimpali bunyi rentetan petasan, seperti revolusi telah meletus
kembali. Kelak ketika saya mencapai usia lebih dewasa, perang yang
sebenar-benarnya memang terjadi di sana-sini dan sedikitpun tidak
memberi kesempatan anak-anak di bawah generasi saya menyulut meriam
bambu. Tapi puasa tetap tidak kehilangan aroma.
Waktu
berlalu namun Meugang dan menu utama berbuka puasa masih seperti
beratus-ratus tahun lalu, menciptakan suaka tersendiri dalam ingatan
kami yang tumbuh besar di Aceh. Tidak banyak hal yang berubah dalam
perkara ini, meski kehidupan sudah mengalami banyak kemajuan. Pada
zaman-zaman yang sangat sulit sekalipun, puasa dan Meugang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan kami.
Sampai di sini saya perlu
mengulang paragraf pembuka di akhir kisah saya tentang Aceh dan Puasa
Ramadan ini. Semoga pembaca menangkap kenapa dua hal tersebut saya
terima sejak kecil tanpa tanda tanya, kemudian menjawab kapan saya sadar
bahwa bulan puasa di Aceh memiliki suasana dan bebauan yang tidak
tergantikan. Begini, hal tersebut baru saya sadari suatu ketika, nun di
perantauan. Saat saya berpuasa di panas musim Eropa dimana matahari
begitu enggan tenggelam. Sebenarnya tidak ada masalah yang terlalu besar
bagi saya untuk menahan haus lapar 15-16 jam di negeri dengan angin
tiada henti bertiup seperti di Belanda. Namun yang paling menyesakkan
adalah rindu pada bebauan dan suasana yang telah saya dapatkan lebih
dari seperempat abad di kampung kelahiran, terutama setiap bulan puasa
menjelang. Saya dibuat sadar tidak siap kehilangan apa yang saya dapat
tiap tahun di bulan Ramadan, saya lalu bekerja keras menghimpun aroma
dan suasana. Saya tidak bisa mengolah daging secanggih ibu, bumbu-bumbu
yang tersedia tidak menerbitkan aroma yang sama. Baik, kemampuan
teknologi kini membikin saya mampu mengabari Ibu dan bertanya bumbu apa
yang bisa saya gunakan untuk meniru masakannya. Akhirnya saya menyerah
dan membela diri bahwa aroma dan rasa itu tidak saya dapat karena jenis
lembu dan cara memelihara yang berbeda, dan mungkin para lembu di
Belanda tidak mengunyah rumput segar seperti di kampung. Dan jangan lupa
rempah-rempah dalam kemasan yang diseleksi oleh jawatan tertentu demi
standar kesehatan di sana, telah turut mempengaruhi aroma dan rasa
hingga jauh dari harapan. Demikian pledoi saya via telepon kepada Ibu
yang mencemaskan puasa saya di rantau. Akhirnya hanya timun dan air
gula, meski dengan bentuk dan warna yang sedikit berbeda, mampu memberi
aroma sama. Aroma kampung di bulan puasa. Berlinang air mata saya untuk
segelas air timun di perantauan. Mengharukan karena laku ini sangat
jarang terjadi, seburuk apapun keadaan ketika berada di kampung baik
zaman perang maupun saat tsunami menghumbalang, yang untuknya saya tidak
ingat apakah saya punya air mata.
*), Memoar ini diterbitkan oleh Mizan, 2013, dalam antologi kisah ramadhan dengan judul "Kembali ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban",
editor Lies Marcoes Natsir et, al., bersama 30 tulisan lain,
diantaranya: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA., Dr. KH. Affandi
Mochtar, MA., Prof. Dr. Dawam Rahardjo, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., KH.
Husein Muhammad, Lc., Prof. Dr. Mulyadhi Kertanegara, MA., Prof. Dr.
Musdah Mulia, MA., Lies Marcoes-Natsir, MA., Ismed Natsir, MA., Prof.
Dr. Zaenun Kamal Tandjung, MA., Dr. Budhy Munawar-Rachman, MA. Dr. Oman
Farhurahman, MA., Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dr. Waryono Abdul
Ghafur, MA., Nono Anwar Makarim, dll.
Reza Idria, lahir
16 Maret 1981 di Gampong Lam U, pinggiran Aceh Besar. Saat ini bekerja
sebagai pengajar tetap di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Turut mengelola
sejumlah organisasi dalam Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan dan
urus setia Museum HAM Aceh. Sedang menempuh studi doktor di Universitas Harvard.
_______________
**) tulisan ini ditulis pada catatan facebook Reza Idria pada tanggal 17 Juli 2013
0 comments:
Post a Comment