28.6.14

Oleh Reza Idria

Ini kisah saya tentang Aceh dan Puasa Ramadan. Dua hal yang saya kerjakan sejak kecil tanpa tanda tanya. Sampai kemudian saya menyadari bahwa bulan puasa di Aceh memiliki suasana dan bebauan yang tidak tergantikan dalam ingatan, saya memutuskan menulis kenangan tentangnya.

Telah beratus-ratus tahun puasa di sini diawali dengan hari memakan daging sapi atau kerbau terbaik yang meruapkan aroma khas ke seluruh penjuru dari bumbu-bumbu rahasia dan kecekatan meramu kaum ibu. Hari makan besar yang kami sebut sebagai hari Meugang tersebut biasanya dirayakan satu atau dua hari sebelum hari pertama puasa ditetapkan. Tidak ada yang bisa memastikan dari mana muasal ritual ini, bahkan apa makna verbal dari nama itu sendiri, meski beberapa pembual memberi sejumlah pilihan tentang apa definisi dan kemana sandaran hukum untuk masyarakat Aceh merayakan kedatangan Ramadhan dengan memotong hewan dan menikmati dagingnya dalam porsi yang sedikit berlebihan, tapi kita tahu pasti bahwa tak ada pendapat yang pasti tentangnya. Saat masih di bangku Sekolah Dasar (saya sekolah di madrasah) saya pernah membaca bahwa di Minangkabau beberapa komunitas masyarakat juga menyambut kedatangan bulan puasa dengan kenduri dan istilah makan besar, seperti yang ditulis oleh Muhammad Radjab dalam autobiografi-nya Semasa Ketjil di Kampoeng (1913-1928), namun tidak ada keterangan jelas dalam buku koleksi kakek saya itu apakah perayaan yang sama diadopsi dari Aceh atau sebaliknya.

Yang pasti, daging sapi atau kerbau untuk Meugang adalah daging spesial. Mestilah daging sapi jantan dewasa yang dipelihara dengan perhatian ekstra. Umumnya sapi jantan untuk Meugang dipelihara dalam kandang kayu tertutup dan dibatasi kontaknya dengan dunia luar. Hal tersebut menyebabkan sapi-sapi itu liar dan beringas, kalau sesekali sapi jantan untuk Meugang lepas ketika hendak dimandikan satu kampung bisa riuh karenanya. Tidak ada tradisi menggembala sapi jantan ke ladang luas, sehingga setiap hari peternak harus mencukupi kebutuhan rumput segar plus batang pisang, mengasapi kandang selepas petang untuk mengusir nyamuk, dan memandikan hewannya secara berkala. Orang yang memelihara sapi jantan dengan cara tersebut harus mencukupi makanan ternaknya dalam keadaan panas maupun hujan, sedang si hewan peliharaan nyaris tidak pernah sengsara karena cuaca. Ini mungkin yang menyebabkan harga daging sapi jantan untuk Meugang senantiasa melambung tinggi, tidak akan berlebihan jika saya katakan bahkan melampaui harga daging di manapun di dunia ini. Selama beratus-ratus tahun orang Aceh tidak punya kuasa menolak harga tinggi untuk sebuah tradisi tersebut. Inilah mungkin muasal beban bagi sebagian lelaki Aceh yang secara kultural diwajibkan menanggung biaya Meugang bagi keluarganya. 

Hingga abad millenium ini daging Meugang tetap memiliki nilai prestisius dan menjadi ukuran status sosial sebuah keluarga. Jumlah dan kemampuan seorang laki-laki membeli daging Meugang seringkali menjadi tolok ukur pendapatannya. Dengan kata lain, membawa pulang daging Meugang ke rumah jadi semacam kewajiban bagi laki-laki dewasa, diakui meski tanpa dalil dari syara’. Untuk mereka yang memiliki kemudahan secara ekonomi kewajiban tersebut bukanlah masalah, namun bagi yang miskin, bukan main susahnya. Namun seperti saya singgung di atas, telah berabad tradisi tersebut tidak ada penolakan oleh masyarakat. Ada mekanisme di tempat-tempat tertentu yang membuat setiap rumah bisa mencicipi daging meugang. Di kampung saya, misalnya, kekerabatan yang kuat mungkin menjadi berkah bagi setiap mereka yang kurang mampu untuk sekedar bisa membawa pulang satu atau dua kilo daging melalui keterlibatan mereka dalam prosesi pemotongan dan pembagian daging Meugang yang sapinya dibeli secara kolektif.


Banyak juga kisah-kisah tragis yang beredar tentang harga sebuah Meugang bagi lelaki Aceh. Tidak ada yang membuktikan kebenaran, namun ada cerita lelaki yang sampai memotong kemaluannya untuk dibawa pulang sebagai tanda protes terhadap istri atau mertua yang melukai kehormatannya karena hinaan tidak mampun membawa pulang daging Meugang, atau ibu-ibu yang hanya menggoreng daun pandan dan bawang demi menebar bebauan masakan sekaligus menutupi ketidakmampuan lelakinya membawa pulang setumpuk daging untuk makan raya jelang puasa.

O ya, penting juga untuk saya singgung di sini bahwa setelah dewasa saya tahu Meugang juga bisa menjadi alat atau sekaligus teror bagi politisi. Tibanya hari Meugang sering dimanfaatkan para politisi untuk meraih simpati dan suara masyarakat dengan cara membagi-bagikan daging secara langsung atau melalui kupon yang bisa ditukar pada penjual di pasar. Terutama sejak model pemilihan langsung diterapkan dalam demokrasi Indonesia. Politisi yang punya modal kuat sangat menunggu momentum tersebut untuk memperkenalkan diri sekaligus menyamarkan praktik money politics, sementara politisi dengan modal tanggung akan bergegas pergi dari kampung untuk menghindari harapan orang mendapat bagian darinya. Ini budaya jahat mutakhir yang pelan dibangun oleh mereka yang mengejar kekuasaan. Suatu ketika, tepatnya Meugang tahun 2011 memberi kami kisah pilu tatkala seratusan tukang becak yang memegang kupon daging Meugang berebut ke kediaman Wakil Gubernur Aceh waktu itu, Muhammad Nazar, namun kupon tersebut hanya kebohongan politik yang sangat melukai hati. Tak ada pembagian daging, hanya ada tembok pongah kekuasaan dan setelahnya saling lempar tuduhan siapa menggalang kampanye hitam.

Tidak perlu banyak bahasan tentang siapa si penjahat di sini, jadi saya kembali ke bagaimana cara memperoleh daging Meugang tanpa latar belakang politik. Untuk konsumen biasa, ada dua cara membeli daging pada hari Meugang, pertama dari pasar rakyat di mana pembeli datang dan membeli daging yang digantung sepanjang jalanan pasar dengan harga berdasar timbangan kilogram. Cara kedua adalah membeli hasil pembagian daging seekor sapi atau kerbau yang diiris rata dengan jumlah tumpuk tertentu (sesuai ukuran hewan dan jumlah harga pesanan). Pemasaran jenis kedua biasanya lebih disukai karena seorang pembeli bisa memperoleh setiap bagian dari tubuh hewan meugang yang juga dibagi rata, termasuk tulang, kulit dan jeroan. Begitu usai shalat Subuh, para pejual daging sudah bekerja. Menyembelih, menguliti dan memotong-motong hewan dengan cekatnya. Kadangkala sejak tengah malam, tergantung pada jumlah sapi atau kerbau yang hendak dipasarkan oleh seorang pedagang daging. Disinilah biasanya dilibatkan beberapa orang yang kurang mampu untuk membantu proses menyiangi hewan yang sudah dipotong, jasa mereka akan diganjar dengan satu atau dua tumpuk daging, lantas mereka pun dengan kepala tegak membawa pulang bahan untuk makan raya bersama keluarga; menyambut bulan puasa.

Sebelum tengah hari daging sudah harus sampai di rumah, kemudian giliran kaum ibu memotong-motongnya menjadi lebih kecil, memisahkan bagian tertentu untuk jenis masakan tertentu. Ada rendang merah dan putih, asam pedas (masam keu’eung), daging rebus cuka (sie reubôh) dan lain-lain. Jauh-jauh hari para ibu telah mempersiapkan sejumlah rempah khusus seperti tumbukan kelapa gonseng yang diambil minyak gurihnya, lada hitam dan putih, merica, kayu manis, cabai merah dan pala yang telah dijemur matahari untuk menjadi pelengkap ragam bumbu segar lainnya. Khusus untuk daging rebus cuka atau sie reubôh hanya dikenal di sebagian kawasan Aceh Besar. Ide untuk membuat masakan semacam ini bisa jadi karena ada stok daging yang berlebihan untuk dimakan dalam waktu yang singkat, mungkin juga dipengaruhi oleh kondisi Aceh yang senantiasa dilanda perang sehingga terciptalah jenis masakan yang praktis dan bisa bertahan lama untuk disumbangkan kepada para gerilyawan. Dalam kaitan dengan Meugang, jenis masakan sie reubôh ini juga menakjubkan karena bisa bertahan hingga akhir bulan puasa. Paduan cuka, bawang putih, kunyit dan cabe kering serta pengentalan yang disebabkan oleh lepasnya lemak daging membuat masakan ini menjadi juara awet. Hanya tinggal dipanaskan saat ingin dimakan. Praktis untuk lauk nasi sahur dan dipadu dengan sayur bening labu. Semakin lama diperam, semakin dalam resapan bumbunya, semakin sedaplah rasanya. Tapi sie reubôh  bukanlah makanan favorit di hari Meugang, karena ia memang disiapkan untuk dimakan pada hari-hari pertengahan bulan puasa nantinya.

Sambil menunggu ibu memasak, yang lumayan lama karena daging sapi biasa cukup alot untuk bisa matang dengan cepat, kami yang kanak biasanya meminta jeroan atau mencuri-curi kerat daging untuk membuat sate di pekarangan belakang rumah. Ibu tahu tapi membiarkan karena tidak ingin pekerjaannya di dapur terganggu. Setelah masakan ibu siap, kami dipanggil untuk makan bersama. Di rumah saya, asam pedas dan rendang adalah sajian utama bagi orang dewasa, kakek-nenek, ayah-ibu dan kakak yang sudah besar, sementara untuk anak-anak akan dihidangkan sup dan semur kecap. Sejak kecil saya rancak mencoba semuanya, menciduk kuah asam pedas yang disaji untuk ayah dan menimbun nasi dengan daging rendang. Ibu akan menggeleng kepala kepada saya dengan senyum, ia biasanya tak melarang, dan untuk dirinya sendiri ia tak banyak makan, mungkin sudah lelah karena memasak demikian banyak.

Selepas makan di rumah, bersama teman-teman sebaya kami memiliki ritual sendiri yang kami sebut meuramin (makan ramai-ramai) yakni dengan membawa hasil masakan ibu baik dalam rantang maupun bungkus daun pisang ke tempat bermain. Biasanya ke sungai atau ke ladang dekat hutan yang ada di belakang perkampungan kami. Setelah mandi keringat bermain bola atau kuyup berenang kami akan makan kembali dengan lahap, dalam porsi-porsi yang cukup “mengerikan” untuk dihabiskan seorang kanak. Kami makan banyak sekali karena tahu mulai besok ibu akan mengunci semua lemari yang menyimpan masakan meugangnya, hanya untuk dikeluarkan pada saat magrib ketika waktu berbuka tiba.

Sejak usia tujuh tahun kami sudah dibiasakan berpuasa. Ingatan saya kembali pada pengalaman pertamakali berpuasa. Ibu memulai dengan melatih saya puasa hingga setengah hari, lantas berbuka. Esoknya mengharuskan saya menambah satu jam dari waktu berbuka hari sebelumnya, demikian terus sampai di pertengahan Ramadan saya mampu mencapai satu hari penuh pertama berpuasa. Saya kira saat itu saya baru kelas satu di Madrasah Ibtidaiyah.

Puasa di waktu kecil adalah liburan panjang yang menyenangkan. Selama Ramadan, siang malam tidak ada jin yang berkeliaran, demikian kata orang tua-tua. Kami puas bermain di seputaran kampung, merasuk-rasuk ke segenap semak yang takut kami masuki di luar bulan puasa, kini kami berani karena semua jin sudah dirantai di dalam bara api. Suara orang bertadarus di meunasah (surau) dan mesjid membahana sampai pagi. Ibu dan kakak perempuan tidur lebih cepat karena mereka akan bangun lebih pagi menyiapkan makan sahur. Ayah saya selama puasa juga pulang larut karena mengimami shalat tarawih dan membetulkan bacaan Al-Quran mereka yang sedang bertadarus. Subuh bulan puasa memiliki cerita sendiri bagi anak muda. Dalam usia yang lebih remaja, saya berkali-kali melarikan sepeda motor ayah ke sana kemari setiap usai shalat Subuh. Saya memanfaatkan waktu Ayah yang lengah, lelah semalaman menjadi imam, membetulkan bacaan orang bertadarus dan mengimami shalat Subuh lagi setelah sahurnya. Ratusan orang dengan sarung dan mukena berada di jalanan. Luar biasa bersemangatnya kami yang punya kesempatan memacu sepeda motor di antara mereka, sebagian beroleh kesempatan untuk menarik perhatian orang-orang idaman. Maka gelisahlah mereka yang tua, sebab sudah tiba di kampung kami budaya “asmara subuh” yang dapat merusak puasa pahala puasa. Sampai seorang juru khutbah menyatakan kaum muda telah membantu jin melepas rantai yang membelitnya.

Selalu menyenangkan mendengar ayah memberitahu bahwa semua kegiatan baik dalam bulan puasa diganjar pahala besar. Beribu kali lipat dari hari biasa. Tidur juga dianggap ibadah. Apalagi hal yang paling menyenangkan selain hadiah Ilahi seperti ini? Itu membikin saya mengerti kenapa banyak laki-laki bermalas-malas di surau, beribadah tidur mereka rupanya. Orang-orang ramai bersedekah selama Ramadan, memberi makan orang berbuka puasa balasannya surga tertinggi. Selalu ada undangan kenduri berganti-ganti antar kampung di kemukiman kami untuk berbuka puasa. Gulai kambing dengan nangka yang dimasak dalam belanga raksasa adalah menu utama berbuka di meunasah-meunasah tersebut. Meski bergiliran didatangi dan menunya itu-itu juga, tidak terkira bersemangatnya orang makan saat berbuka. Berbuka puasa ditandai dengan bunyi serunai (sirene) dari radio transistor yang dekatkan ke pengeras suara di surau. Raunganya yang menyayat telinga mampu kami dengar karena itu merupakan penanda sudah boleh makan minum. Pada hari-hari setelah puasa, suara sirene itu tak ada sedikitpun merdunya. Dulu sebelum saya lahir, orang-orang memukul bedug tanda tibanya saat berbuka. Tapi saat ini tak ada lagi bedug, hanya sirene yang meraung-raung ke seluruh penjuru kampung. Bergegaslah kami makan begitu terdengar bunyinya. Hanya orang-orang tua seperti ayah yang mampu menahan tidak langsung menyantap nasi dengan gulai kambing nangka, mereka biasanya meminum air timun seteguk dua dan menunaikan shalat berjamaah. Sementara kami yang mengerumuni makanan di pekarangan meunasah menyantap semua hidangan sampai tandas hingga sulit bernafas. Terengah-engah perut kekenyangan dan susah dibawa shalat magrib setelahnya.

Air timun penting saya sebut di sini sebagai minuman yang hampir wajib menjadi pelepas dahaga puasa. Segar bukan main rasanya dicampur dengan sirup gula dan es batu. Di kawasan pedalaman, campuran air timun adalah biji kolang kaling yang mungkin selicin titian menuju surga. Menjelang tiba bulan Ramadan, banyak orang turun ke kebun membersihkan pohon enau dan menyadap nira manis untuk dipasarkan. Pemuda-pemuda kampung yang nakal waktu itu harus gigit jari karena sementara tidak ada nira yang bisa dibikin masam. Bagi yang tinggal tidak terlalu berjarak dari kawasan perkotaan juga dapat memperkaya olahan air timun dengan cincau, agar-agar dari rumput laut yang dijual oleh pedagang Tionghoa di perkampungan Cina. Orang Tionghoa tidak kurang gembiranya selama bulan Ramadan, jualannya laku keras karena tidak banyak pedagang Aceh yang serius berjualan selama bulan puasa. Saban petang mereka sudah mempersiapkan dan menjual beragam penganan untuk berbuka kaum Muslimin.

Sewaktu kakek masih ada, beberapa kali saya dibonceng sepeda ke pertokoan tauke Cina. Sahabat kakek namanya Tauke Tjong, menjual grosir sembako di sudut Peunayong. Diajak ke tempat pedagang Cina berarti kantung saya akan penuh dengan gula-gula dan petasan yang dihadiahkan oleh Tauke Tjong. Pernah dalam bulan puasa ketika datang bersama kakek, saya lihat Tauke Tjong sedang mematikan pipanya. Saya yang kecil bertanya kenapa dia merokok di bulan puasa. Dia bilang sedang tidak puasa karena sakit. Kelak saya tahu bahwa si Tauke itu lain agamanya. Tauke Tjong juga bisa berbahasa Aceh dengan fasih, bahasa yang konon sangat sulit dipelajari.

Semua orang tampak berpuasa sebulan penuh. Tapi sudah jadi rahasia umum bahwa satu dua orang di kampung menyembunyikan periuk di dangau-dangau kebun mereka. Kalau sudah tengah hari biasanya mereka berkomplot untuk memasak di suatu tempat, yang jauh dari perkampungan. Bahan dasar untuk dimakan sudah diselundupkan jauh-jauh hari sebelum bulan puasa tiba. Sore hari mereka akan pulang dengan wajah yang dipucat-pucatkan dan langgam jalan yang dilemah-lemahkan untuk tetap meyakinkan keluarga bahwa mereka masih berpuasa. Tak jarang ada yang ketahuan, maka ramailah terdengar lengking kemarahan istri atau ibunya.

Satu minggu terakhir Ramadan adalah persiapan menjelang hari raya, pasar-pasar bukan main penuhnya. Ibu pernah diantar pulang dengan labi-labi (angkutan kota di Banda Aceh) karena pingsan di pasar. Mungkin gerah karena puasa dan terjepit dalam sesak orang berbelanja. Menyambut datangnya Lebaran membuat ibu dan kakak saya sesibuk orang kantor kecamatan; baju baru, kue-kue, menjemur permadani dan penutup jendela. Ayah sering mengeluh tentang berkurangnya jemaah di minggu-minggu akhir Ramadan. Godaan merayakan Lebaran sering menguapkan semangat dan inti terdalam dari berpuasa, yakni kemampuan menahan diri. Seperti saya katakan di atas, satu dua hari menjelang Lebaran kembali ada hari Meugang. Tapi tak sesibuk Meugang menyambut tibanya Ramadan. Hanya orang-orang tertentu yang membeli banyak daging untuk menjamu tamu-tamunya setelah Shalat Ied. Malam Lebaran senantiasa menjadi puncak kenikmatan berpuasa. Semua rumah terang benderang, ibu-ibu memasak timpan dan ketan untuk tetamu terdekat yang akan bersua esoknya. Anak-anak membakar meriam bambu di setiap penjuru kampung, ditimpali bunyi rentetan petasan, seperti revolusi telah meletus kembali. Kelak ketika saya mencapai usia lebih dewasa, perang yang sebenar-benarnya memang terjadi di sana-sini dan sedikitpun tidak memberi kesempatan anak-anak di bawah generasi saya menyulut meriam bambu. Tapi puasa tetap tidak kehilangan aroma.

Waktu berlalu namun Meugang dan menu utama berbuka puasa masih seperti beratus-ratus tahun lalu, menciptakan suaka tersendiri dalam ingatan kami yang tumbuh besar di Aceh. Tidak banyak hal yang berubah dalam perkara ini, meski kehidupan sudah mengalami banyak kemajuan. Pada zaman-zaman yang sangat sulit sekalipun, puasa dan Meugang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kami.

Sampai di sini saya perlu mengulang paragraf pembuka di akhir kisah saya tentang Aceh dan Puasa Ramadan ini. Semoga pembaca menangkap kenapa dua hal tersebut saya terima sejak kecil tanpa tanda tanya, kemudian menjawab kapan saya sadar bahwa bulan puasa di Aceh memiliki suasana dan bebauan yang tidak tergantikan. Begini, hal tersebut baru saya sadari suatu ketika, nun di perantauan. Saat saya berpuasa di panas musim Eropa dimana matahari begitu enggan tenggelam. Sebenarnya tidak ada masalah yang terlalu besar bagi saya untuk menahan haus lapar 15-16 jam di negeri dengan angin tiada henti bertiup seperti di Belanda. Namun yang paling menyesakkan adalah rindu pada bebauan dan suasana yang telah saya dapatkan lebih dari seperempat abad di kampung kelahiran, terutama setiap bulan puasa menjelang. Saya dibuat sadar tidak siap kehilangan apa yang saya dapat tiap tahun di bulan Ramadan, saya lalu bekerja keras menghimpun aroma dan suasana. Saya tidak bisa mengolah daging secanggih ibu, bumbu-bumbu yang tersedia tidak menerbitkan aroma yang sama. Baik, kemampuan teknologi kini membikin saya mampu mengabari Ibu dan bertanya bumbu apa yang bisa saya gunakan untuk meniru masakannya. Akhirnya saya menyerah dan membela diri bahwa aroma dan rasa itu tidak saya dapat karena jenis lembu dan cara memelihara yang berbeda, dan mungkin para lembu di Belanda tidak mengunyah rumput segar seperti di kampung. Dan jangan lupa rempah-rempah dalam kemasan yang diseleksi oleh jawatan tertentu demi standar kesehatan di sana, telah turut mempengaruhi aroma dan rasa hingga jauh dari harapan. Demikian pledoi saya via telepon kepada Ibu yang mencemaskan puasa saya di rantau. Akhirnya hanya timun dan air gula, meski dengan bentuk dan warna yang sedikit berbeda, mampu memberi aroma sama. Aroma kampung di bulan puasa. Berlinang air mata saya untuk segelas air timun di perantauan. Mengharukan karena laku ini sangat jarang terjadi, seburuk apapun keadaan ketika berada di kampung baik zaman perang maupun saat tsunami menghumbalang, yang untuknya saya tidak ingat apakah saya punya air mata.

*), Memoar ini diterbitkan oleh Mizan, 2013, dalam antologi kisah ramadhan dengan judul "Kembali ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban", editor Lies Marcoes Natsir et, al., bersama 30 tulisan lain, diantaranya: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA., Dr. KH. Affandi Mochtar, MA., Prof. Dr. Dawam Rahardjo, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., KH. Husein Muhammad, Lc., Prof. Dr. Mulyadhi Kertanegara, MA., Prof. Dr. Musdah Mulia, MA., Lies Marcoes-Natsir, MA., Ismed Natsir, MA., Prof. Dr. Zaenun Kamal Tandjung, MA., Dr. Budhy Munawar-Rachman, MA. Dr. Oman Farhurahman, MA., Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dr. Waryono Abdul Ghafur, MA., Nono Anwar Makarim, dll.



Reza Idria, lahir 16 Maret 1981 di Gampong Lam U, pinggiran Aceh Besar. Saat ini bekerja sebagai pengajar tetap di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Turut mengelola sejumlah organisasi dalam Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan dan urus setia Museum HAM Aceh. Sedang menempuh studi doktor di Universitas Harvard. 


_______________
**) tulisan ini ditulis pada catatan facebook Reza Idria pada tanggal 17 Juli 2013

0 comments: