12.11.14











Dan, Ayah! Orang-orang memperingati 12 November sebagai harimu. Sekalipun di beberapa negara juga beda tanggalnya, tapi hari ini aku melihat beberapa pengguna jejaring sosial sudah menuliskan berbagai ucapan selamat di beranda mereka.









Pun begitu, tak kalahnya Google juga menampilkan gambar menarik untuk mengenang kebahagiaan kala bersamamu.

Tapi, Ayah, aku tidak begitu mengenal hari ini sebagai suatu peristiwa, sebagaimana cara mereka, untuk mengenang semua hal tentangmu. Mungkin, seperti mereka, juga aku, yang dulu pernah menulis untuk mengenang hari ibu atau hari lainnya. Tapi, Ayah, aku rindu! Seperti apa rupamu hari ini? Apa kabarmu hari ini?

Aku sangat ingin menulis selembar surat agar bisa kau langsung bisa membacanya, Ayah. Paling tidak, aku ingin mengabari bahwa saat ini aku sedang baik-baik saja. Sedang bahagia dan tidak perlu ada kekhawatiran yang membuatmu resah. Iya, masih sama seperti ketika aku pergi dulu. Meski saat itu kau sedang tidak di  rumah yang kemudian membuatmu juga tak sempat mengantarku ke bandara. Untuk alasan apapun, aku terima karena aku percaya semua yang kita lakukan adalah kebaikan.

Ayah, aku tak perlu bilang bahwa aku rindu sekali padamu. Tak perlu pula kukatakan bahwa aku sangat berharap bisa segera melihat senyummu saat ini. Mengapa urung? Aku yakin kau sudah tahu itu semua. Makanya kuputuskan bahwa aku tidak perlu rumit memilih kata tepat untuk mewakilkan betapa aku rindu dan berharap bisa segera melihatmu. Karena jauh sebelum aku katakan, kau sudah tahu hal itu.

Maukah kurayakan hari ini sebagai hari Ayah layaknya mereka? Jika mau, maka harus kulakukan hal apa agar kau paham bahwa aku sangat ingin menyanjungmu? Jika memang tidak, hal apa pula yang mesti kupersembahkan agar kau mengerti bahwa aku sangat mengidolakanmu? Duh, mengapa jika kita berhadapan, aku tak pernah bisa berbicara sepandai ini? Ayah yang baik, sebenarnya, di  tulisan singkat ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat bangga menjadi anakmu.  Bangga sekali!

Mewarisi ketampananmu adalah sesuatu yang cukup berat bebannya, Ayah. Aku tahu itu. Tapi beban ini cukup terbantu oleh kekuatan yang juga kau wariskan padaku. Apapun yang kulakukan tak luput dari doa dan mengingat bahwa kekuatan yang baik itu semua berasal dari Tuhan yang telah dititipkan padamu untuk kupelajari sehingga bisa kugunakan dengan baik.

Mustahil bagiku menaklukkan dunia ini tanpa kau ajariku mengenalnya terlebih dahulu. Kesabaranmu mengajarkan banyak hal padaku adalah sesuatu yang paling berharga untuk kuingat. Aku memang belum sepenuhnya berhasil memiliki kesabaran sepertimu. Jadi wajar jika aku kerap tak mampu menahan emosi ketika berhadapan dengan banyak hal di dunia yang belum kukenal ini. Tapi aku yakin bahwa kau selalu memerhatikanku dengan caramu.

Ayah, aku tidak pandai menulis puisi untukmu. Bukan berarti aku tidak ingin. Tapi aku kesulitan memilih kata untuk mewakilkan semua perasaanku. Dan pasti kelihatan lemah sekali nanti. Padahal memang lemah. Tapi tidak seharusnya kelemahanku diketahui banyak orang bukan? Tentu kau juga tidak ingin anakmu ditertawakan orang.

Aku masih sangat mengingat ucapanmu saat itu, tepat di  hari wisudaku. Hari itu kita bikin acara di kantor Tikar Pandan. Kau datang dan berbincang-bincang dengan kawan-kawanku juga. Lantas dengan tegasnya kau memberi "kekuatan" padaku di depan mereka bahwa aku boleh bergaul dengan orang sebanyak mungkin, sebanyak yang kumau. Bekerja apapun, seinginku. Tapi kemudian beberapa kali kau mengulang bahwa janganlah aku mudah terpengaruh, tapi kau ingin aku menjadi orang yang bisa memengaruhi banyak orang. Tentu mengarah ke hal yang baik. Aku ingat itu.

Tapi seberapapun aku bangga menjadi anakmu, Ayah, aku hanya bisa terus dan terus memohon maaf padamu karena belum mampu membanggakanmu. Belum mampu mengganti peluh yang kau cucurkan untukku. Belum mampu mengganti semua ingatan yang kau tujukan padaku. Belum mampu pula kurangkai indah doa seperti yang kau lakukan untuk memberi kekuatanmu padaku. Kau begitu hebat Ayah. Seperti apapun kehidupanku nanti, jika disuruh memilih, aku selalu akan memilihmu sebagai ayahku; lelaki lembut yang mencintai keluarga seperti mencintai dirinya sendiri.

Aku kehilangan banyak kata-kata untuk menulis tentangmu. Sebenarnya sangat ingin kupilih berbagai kata untuk kurangkaikan yang padahal hanya untuk satu hal, Ayah. Menyanjungmu. Maka di sinilah aku akan berhenti menulis karena hanya ingin mengirimkan doa agar kau selalu diberikan kekuatan dan kesehatan. Semoga Allah selalu memberimu kebahagiaan dan dimudahkan segala urusan.

Ayah, aku mencintaimu. Ayah, tolong, titip salam juga kepada emak, istrimu, yang juga kucinta seperti engkau mencintainya.

peluk kuenceeeeeeeeeeeeeeeng,
Anakmu, monster kecilmu! :*
Akmal bin Mohd. Roem

0 comments: