3.6.07

aamovi.jpgOleh : Akmal MR
Dari Ulee Kareng,

Dengan rapi dia mencoba membentuk sebuah bangunan dari gugusan bebatuan yang dia pungut dari halaman orang dan juga dari jalanan, dalam benaknya mungkin itu candi atau hanya sebuah bangunan dengan harapan menjadi bagian dari rumahnya kelak. Satu per satu ia coba pilah batu-batu itu, lalu ia letakkan menumpuk, tumpukan batu kecil dan tumpukan batu besar. Sesekali ia mengubah bentuk bagunan itu. Usai menyiapkan pekerjaannya ia kembali berjalan tanpa tujuan.


Aku tidak begitu akrab mengenal dia, namun kebanyakan orang memanggil dia dengan sebutan Socrates. Nama itu terlintas dibenak beberapa diantara mereka yang sering memperhatikannya bekarja. Mungkin anda sudah begitu mengenal nama Socrates yaitu seorang ahli filsafat dari Yunani. Namun, hari ini aku ingin bercerita tentang Socrates yang selalu berjalan sepanjang jalan Ulee Kareng, Aceh Besar. Sesekali ia singgah di depan sebuah toko buku, Do Karim namanya.

Di halaman toko buku itu terdapat banyak batu yang berlainan bentuk. Ia mencoba memilah batu-batu itu menurut ukurannya. Dia tidak tahu tentang nama-nama batu, dia hanya memilah menurut ukurannya bukan menurut tahun ada batu atau nama batu itu.

Sebelum memulai menyusun batu menjadi sebuah bangunan, ia tampak seperti memikirkan sesuatu untuk menciptakan sesuatu yang maha besar. Ya, dia menginginkan sesuatu yang sangat besar hingga akhirnya membuat dia tersenyum. Setelah batu itu menumpuk runcing menjulang ke langit, dia membakar kertas di atas tumpukan batu itu. Kertas-kertas itu diperoleh dari jalanan. Sekilas kita memperhatikan ia memang memilki akal yang waras karena dengan dia memungut sampah dijalanan untuk dibakar dia telah berusaha membersihkan kota dari kerjaan orang waras yang kotor. Walau Socrates yang ini tidak bisa menciptakan fatwa-fatwa yang kemudian dijadikan arah atau sebuah kunci dalam kehidupan. Pun demikian ia tetap memiliki sesuatu yang semestinya manusia yang waras mampu berbuat seperti keyakinan dia dalam menyelesaikan sasuatu.

Tentang mengapa aku bercerita tentang si Amin atau akrabnya disebut Socreates itu karena melihat dari segi keyakinan yang dia miliki dalam menyelesikan tujuannya maupun keinginan dia memungut sampah dijalanan. Dia mengubah yang sesuatunya tidak mempunyai rupa menjadi hal yang indah dilihat, dan hal itu dilakukan olehnya walau dia tidak lagi memiliki ingatan yang waras.

Pasca konflik dan Tsunami seharusnya menjadi sebuah awal kebangkitan masyarakat Aceh dalam membenah kembali kehancuran yang selama ini telah membuat begitu banyak masyarakat Aceh menderita batin maupun fisik. Mungkin konflik dan tsunami telah menjadi hal yang tidak hangat untuk diperbincangkan lagi. Akan tetapi melihat implementasi dari pelaksanaan rekonstruksi yang telah berjalan lebih dari 2 tahun ini tidak mampu mengembalikan Aceh seperti keinginan masyarakat banyak. Mungkin lembaga yang menangani rekonstruksi dan rehabilitasi ini hanya melihat kerusakan infrastruktur, lalu berpikir utama tentang bentuk fisik daerah menyangkut materil yang diperbaiki. Akan tetapi menurut saya yang seharusnya menjadi tujuan awal membagun kembali Aceh adalah bagaimana cara kerja kita membantu memulihkan mental dan spiritual masyarakat Aceh yang telah terguncang akibat dua hal itu yaitu konflik dan tsunami sehingga dampak buruk bagi metal korban yang selama ini dirasakan lambat laun bisa musnah.

Maka dari itu semua kita (masyarakat Aceh) sekarang semestinya singsingkan lengan baju dan bekerja sama dalam mengembalikan marwah Aceh yang dulunya begitu agung dan megah ketika masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dan jika kita tidak memulainya dari sekarang, maka tidak tertutup kemungkinan Aceh kehilangan nama sebagai Tanoh Seuramoe Mekkah. Dan jika si Amin bisa berbuat dengan keyakinan yang penuh untuk menyelesaikan pekerjaannya, mengapa manusia yang waras tidak bisa berbuat? Apa mungkin dibutuhkan ketidakwarasan untuk memulihkan Aceh dari keadaan yang luka seperti ini?

Bila uang tidak mempunyai harga mungkin kita bisa berbuat yang lebih baik, ketimbang harus bekerja sedikit tapi atas dasar mengharap ubah yang besar, mobil mewah, kehidupan yang enak. Tapi kerjaan itu tidak pernah selesai, dan uang masyarakat yang seharusnya menjadi dana rehab-rekon menjadi salah terget. Dan itu dilakukan oleh manusia yang memiliki pikiran sehat, bukan si Amin sang Socrates dari Aceh.

Usai kesepakatan damai antara GAM dan RI sedikit demi sedikit mental masyarakat Aceh mulai terobati. Trauma yang

* Penulis adalah pegiat sastra dan saat ini bekerja pada ruang seni pertunjukan, diskusi, musik dan perfilman punya swasta, Episentrum Ulee Kareng. Komunitas Tikar Pandan.

1 comments:

sinda said...

sudah lama aku tidak melihatnya lagi. apakah dia masih ada?