7.4.14


Malam Puisi Surabaya | @vanroem

Ketika aku sampai di tempat itu, mereka yang duluan datang ternyata sudah mengisi tempat duduk dengan nyaman. Tidak aku. Karena masih mencari tempat duduk yang ternyata sudah penuh. Tapi aku sudah di dalam Oost koffie & thee Surabaya dan langsung melihat ke depan yang ada panggung itu telah berdiri dua orang perempuan yang sedang berbicara. Menggunakan microphone dan ternyata mereka MC.

Apakah ini tempat berkumpulnya para pujangga? Aku tidak tahu. Yang pasti, malam ini, para pengunjung ke tempat ini merupakan sekumpulan anak muda yang ingin membuat diri menjadi lebih dingin. Dengan apa? Dengan puisi dong! Walau di luar tempat ini udara sedang panas, tapi di dalam, ada yang sedang menggigil karena puisi. Itu aku. Yang lain? Mungkin saja sama.

Aku memang tidak tahu persis sudah kali keberapakah malam puisi di kota Surabaya diselenggarakan. Tapi yang jelas ini adalah kali pertama aku berada persis di antara kerumunan manusia romantis khas kota Surabaya. Untuk mengikuti ritual yang bertajuk #inPOEMnia itu kini ternyata aku sudah datang, mendengar, menyaksikan semua orang membaca dan meneriakkan kejujuran dalam puisi.


Ada beberapa penampilan yang menarik tersaji di pentas. Tidak hanya sekedar membacakan puisi, para penyair muda itu ternyata ada juga yang sudah benar paham dengan puisi-puisinya itu. Mereka bisa dengan mudah menyanyikan setiap bait yang ditulis. Petikan gitar terdengar begitu syahdu. Seolah berusaha membongkar keterbatasan puisi yang sekian lama terpenjara dalam manusia berstatus penyair. Tapi tidak malam ini. Siapa saja boleh meneriakkan kejujuran mereka! Dan sekali lagi, tidak semua yang ada di tempat itu adalah penyair! Ini menjadi pernyataan penting untuk diketahui bahwa puisi milik siapapun.

Saya terkesan dengan Fahimi dari @Serbukayu yang membacakan puisi W.S Rendra. Dengan vocal khasnya, ia menghidupkan pentas dan seolah menghadirkan sosok Rendra dalam panggung kecil itu. Begitu berkelas! Selanjutnya, ia membacakan puisi karyanya sendiri. Panjang dan sangat menyentuh. Diiringi petikan gitar yang sekali lagi bikin mata tak pindah dari panggung. Puisi yang lahir dari sebuah  kerinduan dan cinta.

Setelah itu, ada gadis kecil yang membuat semua hanyut dalam puisi. Namanya Rahma, ia masih kelas 3 SD. Membacakan salah satu puisi yang termaktub dalam kumpulan puisi yang disediakan panitia kegiatan. Sejenak aku berpikir bahwa malam seperti ini memang haruslah sering diselenggarakan untuk mereka yang punya bakat luar biasa. Selama ini, keterbatasan tempat berekpresi membuat generasi seperti Rahma ini menjadi sangat sulit berkarya. Rahma si kecil itu sudah membuat semua penonton tiba-tiba diam dan tenggalam dalam puisi “Hujan Rintik-rintik.”

Malam Puisi Surabaya bukan sekedar kopi daratnya penyair muda. Para pengunjung ternyata juga disuguhkan lagu dari komunitas @SoundcloudSBY. Lagu bikinan sendiri dan sudah mendapat tepukan tangan meriah pada akhir nyanyian. Siapa dia yang membawakan lagu itu? Saya tidak tahu. Tapi orangnya kece dan lagunya bagus. 

Setelah itu semuanya juga menyimak sosialisasi tentang stop sirkus lumba-lumba dan penghentian kegiatan topeng monyet yang dibawakan oleh kawan-kawan dari komunitas Animal Welfare Surabaya. Mereka yang itu memang banyak sekali membicarakan tentang hewan kesayangan. Juga tentang para kolektor binatang yang diberi ijin bebas oleh BKSDA yang baru-baru ini meramaikan Taman Bungkul dengan ngumpul-ngumpul sambil nentengin burung hantu, musang, dan reptil. Seharusnya semua binatang itu bisa hidup pada tempatnya. Tidak di bahu manusia.

Tapi yang paling menakjubkan, ini masih menurutku, ketika seorang gadis berbaju merah jambu membacakan puisi untuk ayahnya yang duduk manis di depannya. Suasana menjadi lebih dingin dan larut dalam setiap bait puisinya itu. Ia menangis. Ketika aku lihat ayah si pembaca puisi itu mengenakan peci dan melihat lembut anaknya di pentas, aku langsung deh merindukan ayah sendiri. Heuheuheu… belum lagi saat melihat ekpresi ibundanya itu yang memang sepertinya sangat bangga memiliki anak seperti dia. Aku juga bangga bisa lihat kakak perempuan yang dipanggil Sekar itu telah mempersembahkan mahakarya puisi dia untuk sang ayah!

Nah, pada akhirnya aku juga meminta kesempatan agar bisa berdiri di panggung itu. Setidaknya semua menjadi lebih berbeda ketika aku berkata ini adalah malam pertama aku berdiri di sini dan kenyataannya aku adalah Akmal M Roem dari Aceh yang datang ke Malam Puisi Surabaya untuk menghadirkan “Perempuanku” dalam wujud nyata.

Alhamdulillah sekali, puisi “Salam Damai” karya bang Fikar W. Eda yang aku bacakan mendapat apresiasi dari para penikmat puisi. Entah ya begitu. Aku tetap masih saja seorang penerka. Jadi ya sudahlah… semoga memang adanya begitu. Salam damai!

Ini pura-pura aja padahal :D

Untuk puisi  kedua, aku berusaha menghidupkan dan menghadirkan “Perempuanku” yang nyatanya pernah aku bacakan di Malam Puisi Aceh perdana sekitar November 2013 di Sebuah Caffe Cokelat dengan pentas yang dihiasi lilin, bunga dan penonton yang mulia sekali. Di sini, "perempuan" itu aku hadirkan dalam segenap kerinduan padanya. Semoga ia tahu bahwa kenyataanya adalah ialah sebenarnya puisiku. Wah…. Apa ini? Maka sudahlah…
Dan tentunya sudah kali ketiganya aku membacakan puisi di Malam Puisi. Dua malam di Malam Puisi Aceh dan sekali di sini, Malam Puisi Surabaya. Tapi aku masih punya keinginan yang belum tercapai. Target yang sudah menjadi keinginanku baru-baru ini. Adalah semoga, kelak, bisa bermalam puisi di Bali. Tempat dimana perhelatan agung para pujangga ini lahir sekitar satu tahun lalu dengan nama Malam Puisi. Tanpa harus berstatus penyairkan? Aku ingin sekali ke sana.

Bermula dari Kedai Kopi Kultur, Bali, Malam Puisi lahir dengan niat menyediakan ruang bagi pencinta puisi; pendengar, pembaca, penulis yang ingin menerikkan kejujuran mereka. Sepanjang perjalanannya kemudian, Malam Puisi sudah hampir ada di setiap kota di Indonesia. Atas dasar itulah saya ingin sekali berada di Bali untuk bermalam puisi. Semoga nanti bisa. Dan semoga bisa!

Karena jarak antara tempat tinggalku dengan lokasi acara Malam Puisi Surabaya, akhirnya aku harus terlebih dahulu meninggalkan jemaah puisi. Pulang dengan rasa yang dingin sekali. Kali ini bukan dingin karena puisi, tapi karena Surabaya tiba-tiba sudah hujan dan membuat badan semua menjadi basah. Hanya saja di dingin yang seperti ini bisa membuatku terserang rindu yang amat dahsyat. Rindu yang seperti apa? ah, dia tahu kok...! akhirnya, semoga bisa kembali dengan puisi lain di tempat itu. dah dulu!
calam cinta
@vanroem

0 comments: