30.4.07

che-guevara.jpgAkmal MR

Pada tanggal 12 Mei 2000, adalah hari dimana sejarah baru tentang perdamaian di Aceh. Sebenarnya perjanjian damai ini sudah tak asing lagi di telinga rakyat Aceh sendiri. Namun, yang menarik dari ini adalah damai yang bertajuk referendum setelah perang berkecamuk dan ingin berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tersayang ini. Di Bavois (Swiss) dan di Aceh, adalah tempat terpisah yang menjadi mediator penghentian pertikaian ini saat perwakilan RI dan GAM menandatangani perjajnjian damai itu.


Berita damai pun disambut hangat dengan rasa bangga disetiap kampung-kampung Aceh ini. Akan tetapi disela itu masih ada pihak-pihak yang masih saja mengeruti niat baik agar darah tumpah lagi ini. Berarti jika damai dengan perjanjian jangan dikira tak ada lagi perang atau pembantaian berlanjut. Lihat saja ulah pasukan siluman yang masih berkeliaran di jalanan dan disudut-sudut kampung yang sunyi. Bisa kita saksikan sendiri, atau sekabar dari media massa sejak DOM dicabut, pembunuhan di Aceh malah marak dan terang-terangan tak kenal ampun. Jika boleh saya mengusik sedikit saya ingin menagajak anda mengingat tentang kekejaman itu anda pasti teringat tentang banyaknya sekolah yang dibakar, kasus Teungku Bantaqiah, Simpang KKA, atau catatan-catatan yang tak pernah berakhir keadilan bagi para korban atau keluarganya.

Atas dasar ketidakpuasan itu akhirnya pihak GAM kembali menuntut pisah dari NKRI akan tetapi hal ini dianggap angin lalu oleh RI. Melirik dendam itu GAM akhirnya membrontak dan perang bergejolak lagi di tanoh seuramoe mekkah. Perang ini menjadi perang yang bisa dikatakan sangat luar biasa dalam catatan perang saudara di Indonesia. Adalah tingkah Ryamizard Ryacudu yang bertindak sebagai panglima operasi tak segan-segan mengutus puluhan ribu tentarannya untuk bersiap membasmi kelompok sparatis. Ryamizard sendiri waktu itu pernah mengrutu “di Aceh, TNI seperti perang-perangan, tapi matinya beneran”(editorial damai. 2005).

Perang sengit kembali terjadi dimana sekawanan pasukan GAM dikepung di Paya Cot Trieng, Aceh Timur. Ribuan tentara dikerahkan untuk mematiakan musuh besar TNI di Aceh yang kabarnya hanya berkisar 10 orang. Tank dan pesawat tempur juga ikut meramaikan. Setelah seminggu terus terpenjara dalam kepungan TNI akhirnya GAM mengisyaratkan mundur. Isyarat itu langsung ditindak serius oleh TNI dengan menyisir kawasan yang dikepung dengan bermaksud membersihkan dan menagkap tentara GAM, alhasil paya Cot Trieng yang menghebohkan itu ternyata kosong dan berbekas arang-arang sisa pasukan GAM masak. Seperti mengenpung orang “kemping” saja. Benar-benar usaha yang melelahkan.

Pada 9 Desember 2002 di Jenewa Swiss, Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) ditandatangani. Hal ini terjadi atas usaha Gus Dur yang menindaklanjuti ketika Megawati Soekarnoputri menghuni Buitenzorg. Saat itu ‘Cut Nyak’ bersua untuk menghentikan pertumpahan darah dan apa daya ia sudah kadung berjanji tak akan menumpahkan setetespun darah di Aceh.

Perjanjian yang untuk kesekian kalinya terjadi di Negeri orang itu disambut dengan haru oleh masyarakat Indonesia dan rakyat Aceh khususnya. Ritual agama pun dijadikan mediator perayaan. Orang-orang memenuhi setiap mesjid-mesjid, meunasah-meunasah, sekolah-sekolah dan diperkantoran hanya untuk berdoa dengan memacakan Al quran – surat Yasin. Hal ini merupakan ritual adat orang Aceh dalam mensyukuri nikmat dari Allah swt.

Banyak yang mengira suasana di Aceh tak meriah menyambut datangnya harapan baru ini. Semua itu hanya asumsi yang kini menemukan jawabannya. Lihat saja saat wakil GAM dan RI berpose bersama di depan Masjid Raya Baiturrahman. Tempat di mana Kohler meregang nyawa di ujung rencong. Jenderal Endriartono Sutarto dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen Djali Jusuf melakukan sujud syukur bersama di Lhokseumawe dan masih banyak kalangan yang peduli damai merasa harus mensyukuri nikmat damai ini. Belum lagi anggota TNI/Polri dan GAM yang bisa duduk santai di warung kopi sembari menyembunyikan senjata mereka karena ada larangan tidak boleh mempertontonkan bedil di muka umum.

Yang patut dijadikan sebagai momen penting era perdamaian baru ini adalah damai yang perdamaiannya benar-benar dipantau dan di-manage dengan lebih rapi. Pihak ketiga dari masyarakat internasional dilibatkan di lapangan. Tapi umurnya hanya lima bulan. Kantor-kantor Joint Security Committee (JSC) dibakar di Takengon dan Tapaktuan. Satu per satu anggota JSC dibunuh. Program penarikan pasukan ke Jakarta dan penggudangan senjata oleh GAM berantakan di tengah jalan. GAM melakukan rapat-rapat terbuka, merekrut anggota baru, dan secara resmi mengakui pungutan dengan nama pajak nanggroe. Situasi makin carut marut, silang sengkarut.

Dari jakarta sendiri dikabarkan bahwa Markas Besar Cilangkap menginginkan perang. Masyarakat dikondisikan dengan ujung tombak media massa sebagai pemandu sorak-nya. Banyak media massa memuat berita tentang perang Aceh saat itu. beerita-berita Aceh yang digarap dengan kualitas yang tak kalah memprihatinkan. Dari itulah sebabnya status darurat diperpanjangan hingga tiga kali antara Mei 2003 hingga Mei 2005. Media telah berhasil memompakan rasa nasionalisme semu, bahwa mempertahankan NKRI harus sama dengan menumpahkan darah orang Aceh.

Perang terus berlanjut di Aceh, dan satu persatu rakyat sipil menjadi korban. pembantaian dan perampokan kembali marak, satu persatu sarana umum hangus dilalap api akibat ulah mereka yang tidak pernah merasa bersalah akan hal ini. dari catatan perang di Aceh yang menjadi korban lebih banyak dari sipil sendiri. dari hal itu menumbuhkan rasa dendam yang bermula mereka ingin berperang agar keadilan dapat mereka capai.

Hingga saatnya status darurat militer pun diringankan menjadi darurat sipil. Mengingat Aceh yang kian hari mulai kondusif karena banyaknya anggota GAM menyerahkan diri. Mereka yang menyerahkan diri pun kian menuai rasa was-was karena dianggap `cuak` atu penghianat komunitas. Maka mereka menjalani hari-hari didalam rumah tahanan yang tersebar di Indonesia.

26-12-2006, gelombang raya merenggut kembali banyak nyawa di aceh. Prahara tsunami pun menuai hitam ditrengah hiruk pikuk orang menagani bantuan dari dalam maupun luar negeri. kacauan kembali terjadi saat banyak mobil-mobil bantuan di jarah dan dirampok ditengah jalan menuju Banda Aceh. Ada yang bilang itu GAM akan tetapi banyk juga kalangan yang berasumsi bahwa itu hanya ulah pihak ketiga (OTK) yang ingiin membuat Aceh kembali kisruh. Tsunami tak hanya menyisa kuburan masal yang stiap tempat dihuni oleh puluhan ribu jiwa, akan tetapi tsunami juga meninggalkan bekas perih dan trauma yang menusuk jiwa bagi semua rakyat Aceh.

15 Agustus 2005 dari Helsinski hingga Indonesia masyarakat Aceh bersujud sykur atas tercapainya Mmemorandum Of Undesrtanding (MoU) antara GAM dengan RI. Dalam hal ini GAM menyerahkan semua senjatanya untuk dimusnahkan dan dari pihak RI menarik sebagian pasukan dan memulangkan semua pasukan non-organik (BKO) yang dikabarkan pasukan paling kejam dalam hal ‘menyita’ hak manusia. Damai kali ini juga meminta perhatian banyak kalangan hingga dibentuk sebuah tim pemantau asing yang diberi nama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang tugasnya menjaga betul-betul perdamaian ini dapat terlaksana untuk masyarakat Aceh.

Serasa damai betul-betul datang membawa berkah, hampir semua kalangan menemukan kenyamanan dalam segala hal. Hak-hak mereka yang dulu ‘dirampok’ penguasa seakan kini betul-betul merasa nyaman di Aceh. Sosialisasi pun mulai gencar, hampir setiap sudut desa ada penyuluhan hasil yang dicapai di Helsinski.

Syukur pada damai seakan ‘terkoyak’ saat melirik upacara peringatan satu tahun perdamain ini. Disela-sela puluhan ribu masyarakat Aceh memadati Mesjid Raya Baitulrahman dan berorasi untuk semua kalangan dapat menjaga damai ini dengan semestinya. Namun, sempat-sempatnya pemerintah Indonesia memperingati ulang tahun yang pertama ini dengan acara yang bertajuk budaya dan seni. Upacara yang dipusatkan di Ulee Lheu itu hanya dihadiri oleh Perwakilan RI ada Yusuf kala dan jajaran pemerintah provinsi NAD, dari pihak GAM sendiri diwalkili oleh Malik Mahmud, Muzakir Manaf dan jajaran dari KPA, ada ‘mas’ Peater Piet dari AMM dan jajarannya, disaana ada yang mulia Madem Arti Sari selaku mediator damai kali ini. Lengkap sudah catatan harian ‘penikmat’ damai Aceh.

Yang menyedihkan acara ini hanya dinikmati oleh kalangan pejabat saja. Toh rakyat aceh bukan pemilik damai sepenuhnya. Tak ada undangan terbuka untulk hal ini apalagi mengharap yang special. Alangkah sedihnya ketika seorang ibu kawan saya Sri Maryati yang jauh-jauh dari Aceh selatan hanya ingin melihat anaknya membawakan tarian kapal dan seudati yang dilakukan secara massal bersama ratusan penari lainnya harus menuai cerita sedih. Mereka dihadang dipintu masuk sangat jauh dari pusat kegiatan. Katanya hanya orang yang mempunyai undangan yang dipebolehkan masuk.

Apakah catatn perdamaian Aceh akan selamanya tercoreng kotor akibat ulah-ulah penguasa yang selalu ‘pintar’ membuat ulah. Jika kita tidak menjaga damai kali ini. Tak mustahil perang akan kembali. GAM kini belum resmi dibubarkan dan masih banyak sisa-sisa dendam. Jika damai ini berupa janji. Tnunggu akan ada yang mengingkari. Atau saja ada pihak lain yang rindu perang dan rakus kekuasaan hingga menjadikan rakyat kecil menjadi tumbal ritual perang perebut kekuasaan itu.

Sejarah sekali lagi akan membuktikan bahwa penguasa yang berkuasa. dalam rentang sejarah di atas, bisa jadi semua ini hanya sambungan dari sebuah cerita panjang saja. Dengan menyelipkan sisa-sisa kabar tsunami, dan mungkin saja ini adalah bab-bab akhir dari sebuah buku yang penulisnya sendiri tak pernah tahu kapan dan bagaimana mengakhirinya. Cerita yang selalu menunggu waktu menjadi beku untuk berakhir. Pun kita sendri yang tidak pernah menyadari bahwa jika kita sendiri yang tidak menjaganya, pasti ada yang akan mencoba mengingkarinya. Sekabar berita yang pernah menyatakan Aceh menjadi peta kematian bercatatan pinggir hitam dan penuh coretan merah. Damai ini akan menjadi obat penyembuh luka dendam pada korban perang Aceh. Syukur, untuk pertama kalinya, kata “merdeka” mulai dicoret dalam kamus GAM. Mungkin mengisyaratkan akhir dari segala pertikaian ini.

Mari sama-sama kita menjaga damai ini dengan baik dan benar-benar damai untuk rakyat Aceh. Bukan untuk penguasa yang haus kematian!


Aceh Besar 2006

Akmal MR adalah penulis lepas dan pegiat sastra. Aktif di Teater Gemasastrin Unsyiah.

0 comments: