29.4.07

Dia Dipanggil Nek Si Ôn



>>> Akmal MR

Rumah kecil itu makin terlihat kumuh dan lesuh usai kebar kematian Yah Wa setelah memakan nasi bungkus yang ia dapatkan dalam kantong plastik hitam dekat tempat sampah di bawah jembatan Lamnyong. Setelah memakan nasi itu jantung Yah Wa terasa panas dan mulutnya mengeluarkan busa begitu banyak. Konon bungkusan itu adalah racun untuk anjing-anjing liar di kampong itu.


Semenjak Yah Wa meninggal dunia kini Nek Si Ôn tinggal sendiri dirumah tua itu. Ia sering tak mendengar apa yang orang-orang bilang padanya. Ia menghabiskan hari-hari sendirinya dengan duduk di kursi tua buatan Yah Wa saat mereka baru pidah ke Banda Aceh setelah menikah, Nek Si Ôn terus memandangi matahari surut dan menunggu tanah terang kembali.


***


Nek Si Ôn adalah seorang perempuan dari tanah Pasee, ia merantau ke Banda Aceh guna menyelesaikan jenjang pendidikannya yang Ia anggap paling penting untuk mengubah kehidupan keluarga mereka. Namanya adalah Zuhra. Dia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Dia hanya seorang anak yatim. Saat umurnya dua tahun, bapaknya meninggal dunia. Hidup dengan ibu membuatnya harus membantu ibu mencari nafkah, kadang Ia mencuci dan kadang pula Ia mengemis di sepanjang pasar di Pasee. Namun, keinginannya untuk bisa sekolah tak jua surut. Ia terus bekerja untuk bisa membayar iyuran sekolah setiap bulannya.


Setelah lama merasa hidup dalam susah, dia akhirnya meminta ijin untuk kuliah di Banda Aceh. “Mak, zuhra pergi ke Banda ya? Zuhra ingin kuliah dan punya kerja disana. Nanti jika sudah selesai, Zuhra pasti pulang, Zuhra ingin kita bisa lebih baik dari ini.” Sambil memanja Ia memilas pada Emaknya agar bisa diijinkan ke Banda untuk kuliah.


“tapi nak, emak tak ada uang! Bagiamana kau mau kuliah?” jawab emak sambil mengelus paha yang letih usai menyuci dirumah Cut Ida.


“tidak apa-apa mak, zuhra bisa cari disana! Mak tenang saja, Emak tidak perlu repot dan susah memikirkan Zuhra disana, nanti sesekali Zuhra kirimkan kabar lewat surat buat Mak”.


“ya sudahlah nak, Mak juga tak bisa larang. Tapi kamu jaga diri disana. Jangan pernah bohong sama Emak ya” pinta Mak sambil meneteskan air mata. “yah,. Emak mengapa menangis, kan Zuhra hanya kuliah disana! Nanti Zuhra pasti pulang!”


Ia pun pamit sambil mencium tangan Emaknya yang sudah tua itu. Keesokan harinya ia pergi kerumah Cut Ida dan meminta untuk bisa menumpang ke Banda dengan mobil barang Pak Leman yang hendak membawa kelapa dan jagung hasil panen ke Banda Aceh.


Setiba disana Ia tinggal di rumah Nyak Nie. Ia bekerja sebagia pemabantu dirumah itu, Nyak Nie adalah ibu kost yang sekampung dengan Zuhra. Ia memilih tinggal disitu agar tak banyak menghabiskan biaya sewa rumah dan makan. Dirumah Nyak Nie dia dibaya sedikit karena dipotong biaya kost.


Pada suatu pagi minggu, Zuhra sedang menyapu didepan kostnya. Sela itu seorang pemuda menghampirinya dan mereka terlihat akrab berbicara, pemuda itu bernama Junaidi yang akrab dipanggil Yah Wa. Setiap harinya Yah Wa menyempatkan diri melihat Zuhra sebelum Ia kuliah. Kadang mereka pulang dari kampus berdua berjalan kaki melewati kampus yang masih terlihat kumuh tak terawat.


Junaidi tepikat hati dan hendak melamar Zuhra. Saat itu Zuhra masih baru memulai kuliah dan Juniadi berstatus mahasiswa semester akhir. “dek, andaikan abang diijinkan menemui orang tua adek,..” ucap Junaidi pada Zuhra sambil menahan malu. “Tapi bang, bukankah itu terlalu cepat, zuhra masih mau kulIah dan menjadi seorang wanita karir” jawab Zuhra sambil menjamu muka sayu kepada Junaidi. “ya sudah,..tak apalah dek, moga saja kita dapat bersatu” lanjut Junaidi sambil memandang mata Zuhra. Hanya saja Zuhra tak melontar sepatah katapun, dalam hatinya hanya bergumam satu kata “amin”.


“Harusnya hari ini anakku mengirimkan surat. Tapi mengapa tak satupun yang dating setelah mereka menikah. Pakah Zuhra telah melupakanku? Aku sungguh tak percaya. Jika hanya gara-gara pemuda itu Ia melupakanku, aku sungguh tak bisa menerimanya” gumam emak yang setiap hari menunggu surat dating dari Banda. Namun, beberapa tahun terakhir setelah Zuhra menikah dia tak lagi mengirimkan surat kapada Emaknya.


Zuhra dan Junaidi kini hidup berdua membangun rumah tangga dalam kasih, mereka berdua telah tinggal pisah dengan orang tua. Zuhra hanya seorang ibu rumah tangga sedangkan Junaidi kini seorang pekerja bangunan yang keseharinya hanya mampu membawa sedikit makanan untuk dimasak dirumah. Kehidupan seperti ini mereka jalani terus sampai mereka beranjak tua. Sepi dan terus sunyi menghampiri keseharian Zuhra membuat tidak bisa berpikir tenang. Ia sangat mendambakan kehadiran seorang anak untuk menghiburnya kala suaminya pergi mencari nafkah. Namun, itu hanya sebatas angan, dan hanya impian yang luput seperti senja ditelan kesunyian malam.


Gelap malam menghampiri bumi, cahaya matahari telah pudar dan padam dalam senja yang mengundang malam meraja. Dirumah yang hanya terhias lampu kecil terdengar lirih suara kecil nan manja, “bang, apa yang telah terjadi pada diri kita? Apakah ini kutukan, sudah 20 tahun lebih kita menikah tak jua tuhan memberikan kita seorang anak. Seharusnya kita sekarang sudah menimang seorang cucu” Tanya zuhra pada Junaidi yang baru saja pulang dari kerja. “entah, jangan kau pikirkan! Jikapun ada anak, apa yang akan kita berikan kepadanya. Untuk sendri saja susah, apalagi ada anak. Benar aku tak mampu” balas Junaidi sambil mengambil bingkisan kecil yang Ia dapat dari bawah jembatan Lamnyong.


“kau sudah makan? Tadi aku dapat ini di bawah jembatan. Abang cium, sepertinya belum basi makanya abang bawa pulang” Junaidi yang sambil melahap makanan terus mengajak Zuhra untuk makan bersamnya. “tak apalah bang, aku tadi sudah makan, Nyak Ni mengajakku kerumah Zubaidah. Disana aku makan tadi”.


Tiba-tiba Junaidi merasa mual dan terjaduh dilantai. Suasana hening berubah menjadi suram takkala zuhra berteriak meminta tolong pada warga sekitar rumah mereka. Dalam sekejap puluhan orang mengerumuni rumah kecil yang berdinding pelepah rumbia itu. “innalillahi wainnailahi raji’un, sabar ya Nyak! Yah Wa sudah tiada”. ucap seorang pemuda sambil membersihkan busa yang terus keluar dari mulut Yah Wa yang terbaring dilantai beralas tikar tua penuh dengan tampalan kain. Keesokan harinya Yah Wa dikuburkan didekat rumah mereka juga. Karena Yah Wa tak punya keluarga dan peninggalan lagi. Hanya tanah dan rumah itulah satu-satunya tumpuan hidup mereka sekarang.


Kini Zuhra hidup sendirian, Ia hanya mengabiskan waktunya dengan memandangi langit yang kadang gelap dan kadang terang. Sambil tersenyum, ia terus melontarkan pandangannya yang jauh tak bertepi.


“Nek, apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau mengahbisakan waktumu duduk sendiri disitu?” Tanya seorang pemuda yang melintas lewat rumah. Nenek tua itu hanya tersenyum dan kemudian berteriak, hingga pemuda itu lari ketakutan. hari-hari terus berganti, Nenek tua itu tak lagi betah melihat rumah yang kian rapuh dan remuk. Ia memilih pergi dan terus berjalan meskia tanpa arah dan tujuan.


Hanya saja Ia tak melupakan satu helai jilbab kuning yang diberikan Yah Wa disaat mereka masih pacaran dulu. Jilbab kuning itu kini dibawa kemana Nenek itu pergi, namun Ia tak pernah memakaikan jilbab itu dikepalnya. Ia hanya menggunakan jilbab itu untuk mengikat perutnya yang makin kurus. Dengan tongkat kecil dia menghapiri orang-orang dan meminta uang seribu rupiah. Dia tak mau dikasih uang yang lebih ataupun kurang.


Dia akan selalu memukul kaki orang-orang yang tidak mau memberikan uang seribu padanya. Kadang sambil tertawa dia mengancam akan membungkus orang-orang itu dengan jilbab kuningnya. Sambil tertawa dia selalu berucap “panggil saya Nek Si Ôn ya”


Semenjak itulah dia akrab dipanggil Nek Si Ôn. Kini Ia tak lagi waras, mukanya lesuh dan keriput. Ia terus berjalan dan terus melakukan apa yang dia suka dan mengejar anak-anak yang selalu mengejeknya.



Ulee Kareng, 29 April 2007


 


cerpen ini adalah tugas matakuliah prosa fiksi. Akmal MR sekarang masih mahasiswa semester tengah di Jurusan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah. Mantan komandan Brigade PII Aceh Besar ini sekarang aktif di Teataer Gemasastrin Unsyiah.


 

Newer Post
Previous
This is the last post.

0 comments: