3.6.07

manezz-bu4n9et009.jpg>>> Akmal MR

Kau panggil aku dengan sebutan Aan lampu kenapa? Aku terus berusaha manjauh dari tatapan matanya yang seakan terus bertanya seperti itu. “Aan telah kemabali….Aan telah kembali” teriak Rudi memecahkan galau menungku tatkala melihat tatapan Aan yang runcing menghujam ingatanku. “Bang, itu Aan, itu dia, cepat lari! Jangan dekati dia” Rudi yang kecil terus berteriak melihat Aan menuju ke arah kami. “jangan takut dek, dia tidak akan menyakiti kita”. Ucapku sambil memegang tangan Rudi yang terus bergetar saat Aan melintas dihadapan kami.


Sorot matanya tajam, sangat tajam. Ia terus melihat kami dengan baik. Tatapan itu seakan-akan menjelaskan bahwa matanya mampu menghitung jumlah kerutan di wajahku dengan jelas saat ia melintas dihadapan kami. Aku juga terus melihatnya bergerak sedikit-demi sedikit menjauh dari kami, tapi matanya kini beralih ke Rudi yang terlihat semakin ketakutan. “untuk apa dia melihat Rudi?” gumamku dalam hati sambil menaruh senyum pada Aan. “Tapi, dia tak juga melihatku lagi, apalagi membalas senyumku. Ah, aku sebaiknya pergi saja”. Dia hanya melintas dan kemudian lalu begitu saja. Dia terus berjalan dan matanya terus menuju ke tanah disekitar dia.

Beranjak dari itu, langitpun benar-benar bengis, matahari telah membakar hampir ke setiap sudut tubuhku. Rasa letih kian merundung, tubuhku sudah merasa gerah dan lelah usai mencabut rumput di halaman depan rumah. Sementara itu Rudi telah masuk untuk mengambilkan segelas air untukku. “apa yang membuat Rudi takut melihat Aan? Semestinya dia tak harus merasa seperti itu. Memang tubuh Aan terlihat lesuh karena tidak pernah disirami air, kecuali saat musim hujan”. Hatiku terus meracau tak menentu.

Minggu itu memang tidak asing bagi semua warga kampung itu. Seperti biasanya ketika pagi tiba, seperti halnya burung yang berkicau dipagi hari, anak-anak di kampung itu juga terlihat asyik berlari-lari dan sesekali terjatuh lalu menangis. Tapi, hari ini aku tidak melihat Rania, biasanya dia yang selalu terlihat girang bermain bersama-sama. Kadang bermain balon, kayu, dan sesekali melempari kawannya dengan batu kemudian dia lari menjauh kerena melihat temannya yang telah menangis. “tapi kemana Rania hari ini, aku benar-benar tidak melihatnya. Riyan, Saskia, Rudi, Dede, Rhiska, Alul, dan Riski mereka ada semua. Ah, mungkin Rania belum datang. Inikan masih sangat pagi! Tidak. Seharusnya Rania ada.” Hatiku terus meracau melihat suasana yang serasa asing. Pada biasanya mereka sekawanan kecil itu selalau bermain bersama tapi hari ini mengapa hanya Rania yang tidak ada.

“bang ian……………….!!!” Teriak Rania memanggil Riyan. Ah, itu rupanya dia. Baru kelihatan sekarang. Inlah suasana pagi yang serasa tak akan berubah hingga kemudian mereka merasa dewasa dan mereka jua yang akan mengubah segala suasana ini. Tertwa, menagis, berlari, bersembunyi dan kemudian mereka bubar. Jika taman yang aku buat dihalaman rumah tak jua berbunga aku tak pernah heran, namun, jika meraka tak lagi bermain disitu aku merasa semua bungaku telah gugur. Aku lega karena Aan cepat lewat hari ini andai dia lewat sekarang mungkin kebahagiaan bocah-bocah kecil ini akan segera usai dan berubah menjadi minggu pagi yang hilang jiwa.

***

            Bajunya telah koyak, tangan dan kakinya penuh dengan tampalan perban yang sudah sangat kotor. Ragam warna membungkus kain yang seharusnya putih itu. Disela balutan itu sesekali keluar nanah bercampur darah. Namun, ia tidak juga peduli dengan keadaannya yang seperti itu.

Sayup kicau burung telah beranjak dari indra dengar. Halulalang kendaraan di jalanan telah membuyar suasana tenang di pagi minggu ini. Kawanan belia itupun telah merasa lelah dan kemudian mereka beranjak pulang untuk mandi.

Aku masih duduk di teras depan sambil membuang lelah. Dari jauh aku melihat Aan kembali. Dengan membawa beberapa lampu bekas yang dia dapatkan entah dimana. Tangan kanannya memegang kertas putih. Aku juga tidak tahu isinya apa. Aku hanya jelas melihat kupiah yang dia pakai telah miring dan beberapa lampu yang memantulkan cahaya dari matahari.

“Buat apa bola lampu itu?” aku mulai mendekatinya. “Wah, aroma tubuhnya sangat menyesak” gumamku melihat tubuhnya yang lesuh, kecil hitam dan tebal oleh debu jalanan yang telah melumut ditubuhnya. “Untuk apa lampu bekas itu?” sembungku mencoba akrab supaya aku tahu tentang kehidupannya seperti apa.

Lidahnya tak juga terlihat bergerak. Dia terus melihatku. Dengan tersenyum dia mengtakan “ampu…ampu..”sambil menunjukkan beberapa bola lampu yang dia pegang. Aku tahu dia mengatakan lampu. Saat ia katakan itu baru aku sadar bahawa dia tidak bisa berbicara secara normal. “tunggu disini ya, akan ku ambil beberapa buah lampu bekas yang ada dibelakang rumahku untukmu”. Aku berlari lambat ke belakang rumah. Aku melihat ada sebuah bola lampu pijar yang masih bersih. Dan aku mengambilnya, dengan maksud memberikan untuk Aan aku bergegas kembali kedepan. Tapi setiba aku didepan aku tidak menemukan Aan disana, dia menghilang. Mungkin dia telah kembali kerumah atau mungkin saja dia pergi untuk mencari bola lampu lagi.

“Acek… lagi nagapain disitu?” tanya Rania girang, membunuh galau lamunku melihat jejak Aan yang tidak tersisa sedikitpun. “Acek, lagi mencari Aan!”. Ketika aku berkata seperti itu, aku melihat muka Rania sepertinya biasa saja. “Padahal dia lebih kecil daripada Rudi yang telah berumur empat tahun. Tapi mengapa rania tidak juga takut saat aku mengatakan nama Aan. Bukankah dia mengenalnya. Bahkan ibunya sering menakuti dia dengan sebutan nama Aan ketika Rania tidak mau makan. Tapi, kali ini mengapa dia tidak takut lagi?”.

Keesokan harinya aku mengantar Rania ke sekolah. Setiba kami disana aku melihat Aan sedang duduk menyaksikan anak-anak sedang bermain ayunan ditaman kecil itu. Aku juga melihat beberapa kali dia tertawa terbahak-bahak. Tangannya masih memegang bola lampu yang kemarin ia dapati.

Setelah mengantar Rania aku mencoba mengikuti dia yang juga telah beranjak pergi menuju kekampungnya. Aku melihatnya membawakan sebuah plastik besar biru yang didalamnya berisikan puluhan lampu kecil. Aku terus mengikutinya dengan sepeda kecilku. Dan setiba dirumahnya aku melihat dia masuk dari belakang.“Padahal pintu depan terbuka lebar, akan tetapi mengapa dia lebih memilih masuk dari belakang?” pikiranku terus menerawang mwncari sudut yang jelas dari semua ini.

“sedang apa kau nak?” sesuara perempuan tua itu membuatku terkejud. “oh, ibu..anu bu, aku hanya ingin melihat si Aan. Tadi sewaktu pulang dia membawakan banya bola lampu, aku hanya mau tahu untuk apa bola lampu bekas itu?” jawabku sambil membungkuk kerena malu melihat ibunya yang agak sinis melihat kedatanganku. Sambil tersenyum lepas dia mengajakku masuk kedalam rumahnya. Aku melihat beberapa foto yang terpajang di dinding yang beberap bagian catnya telah terkeupas.

Aku tidak berani bertanya apa-apa lagi sekarang, sambil melihat-lihat arah sekitarnya aku mendengar beberapa suara ledakan pecahan lampu dari arah belakang rumah itu. “itu dia, itulah yang menjadi mainannya sekarang. sejak umurnya lima tahun dia mulai menampakkan hal-hal aneh dari dirinya. Suatu pagi sambil menyapu dibelakang, ibu melihat dia memegang sebuah bola lampu kecil kemudian dia menggenggamnya dengan kuat hingga bola itu meledak ditangannya dan membuatnya mengeluarkan darah begitu banyak. Padahal ibu sudah hampir pingsan melihat banyaknya darah yang keluar dari tangannya, tapi dia tidak juga mengais. Ibu mulai heran lagi ketika semua lampu yang berada dirumah dia ambil dan dimasukkan kekamarnya lalu dilemarkan kedinding kamar hingga meledak dan kemudain dia tertawa terbahak-bahak”. Ibu itu terus bercerita sambil membukakan pintu kamar Aan untukku lihat.

Aku terkejud melihat suasana yang begitu asing dan sangat menakutkan. Kamar itu dipenuhi percikan darah. Dindingnya telah merah semua. Aku melihat ribuan kepingan pecahan bola lampu yang setiap hari dia pecahkan.

“apa ibu tidak mencoba untuk membersihkannya?” tanyaku sambil terpana melihat kegilaan Aan terhadap ini semua. “ibu tidak bisa nak, pernah beberapa kali ibu mencoba merubah kelakuannya. Bahkan ibu pernah mengurungnya selama dua bulan dalam kamar ini. Namun hasilnya tetap saja nihil. Setelah mengurung dia sekian lama dikamar ibu merasa kasihan juga, lalu ibu mencoba mengajaknya jalan-jalan. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluarka sepatah katapun lagi sampai sekarang untuk ibu”. Sambil menangis ibu yang terlihat sudah tua itu terus bercerita, sesekali ia menyeka airmatanya yang telah melaut dipipinya.

“Aan dimana bu? Tadi aku melihat dia pulang, tapi kenapa dia tidak ada di dalam kamarnya?”. Tanyaku sambil membuang rasa haru melihat ibu itu terus  menangis. “dia dibelakang ruamah nak, dia ditempat biasa tertawa sendiri sambil membakar rokok yang dikasih oleh orang-orang yang suka mengganggu dia dijalanan”.

Kami berdua bearnjak ke arah belakang rumah. Disitu aku benar-benar terkejut melihat sebuah kain putih yang terlentang telah bergambar sebuah seketse wajah perempuan namun tak ada mata dan hidung. “Hanya mulut yang tergambar tertawa. Gambar apa itu? Untuk siapa dia menggambarnya?” pikiranku semakin menggila melihat hal aneh itu. Ibu itu hanya tersenyum sambil meyapu kembali airmata diwajahnya itu. “itu gambar ibunya nak, ibunya telah lama meninggal. Kira-kira saat itu umurnya masih dua tahun ibunya sakit parah, akibat kami tidak mampu berobat ke dokter kami hanya bisa merawar ibunya dirumah. Kemudian sakitnya kian parah sampai akhirnya ibunya meninggal. Ayahnya pergi merantau, sampai sekarang tidak ada kabar darinya!”.

Rupanya wanita ini adalah neneknya. Akan tetapi wajah nenek ini masih terlihat muda dan pantas dipanggil ibu. “di rumah ini kami hanya berdua saja. Anak-anak saya semua sudah besar, mereka kadang setahun sekali menjenguk kami disini. Tapi, ibu tidak pernah mengeluh merawat Aan walau keadaannya seperti itu. Dia memang sangat suka dengan bola lampu, ibu tidak bisa melarangnya nak. Ibu tidak sanggup melihat hatinya terluka lagi. Ibu tahu anak-anak disekitar sini bila elihat dia pasti akan merasa ketakutan. Tapi nak, sungguh dia sangat menyukai anak-anak. Ibu sering melihatnya duduk di dekat Taman Kanak-kanak itu. Sambil tersenyum wajahnya terlihat sangat damai. Karena itu ibu tidak pernah melarang apa yang dia buat. Walau dia tidak lagi normal ibu tetap saja menyayangi cucu ibu”. Dia terus bercerita padaku, sesekali terlihat wjahnya kecut dan menangis.

Langit mulai terlihat enggan bercahaya. Burung-burung mulai berarak ke barat tanda hari kian sore. Akupun pamit pulang. Tap mesih saja Aan sibuk dengan gambar yang dia buat dikain putih itu. Ketika ku toleh kebelakang, gambar itu telah dibakarnya aku sangat terkejut melihatnya. Aan tertawa dengan girangnya sedangkan nenek itu hanya berdiri dipintu belakang melihat sisa api yang telah menghanguskan kain putih bergambar wajah ibu Aan. Dan sesekali ia juga tersenyum ketika Aan meolehkan muka ke arah neneknya.







Lam U, 17 Mai 2007



* Akmal MR adalah penulis lepas, saat ini bekerja di Episentrum Ulee Kareng, Perusahan Pertunjukan dan Seni Film juga Meja diskusi. Poenya Komunitas Tikar Pandan

3 comments:

anita said...

karya anda mengkagumkan saya. Saya jarang membaca cerpen apatah lagi nukilan yang panjang-panjang kerana ketiadaan masa untuk berbuat demikian. Tetapi hari ini, saya terbaca nukilan anda sehingga ke akhir. Saya sendiri tidak sedar bahawa nukilan anda mampu membuat saya membacanya sehingga habis. Ini bermaksud anda berjaya menarik minat saya untuk terus membaca, walhal terdapat bahasa anda yang saya sendiri tidak faham. terima kasih.

aamovi said...

Trims.... hehehe,... sering-sering diliat ya...
aku sendiri baru belajar nech.. ngak ada yang lebih dan ngak sebagus karya orang lain.
aku masih terus mencari khazanah dalam hidup.. bagiku, bagi jiwaku, bagi cintaku, bagi semua yang melihatku, mendengarku dan tahu akan aku terutama bagi karyaku.

salam

Akmal MR

Akmal MR said...

terima kasih...
semoga bisa berkunjung kembali