3.12.07

Oleh : Akmal MR
* Majalah Aceh Magazine edisi November

Dari sudut jendela rumah, aku menyaksikan awan-awan mulai beranjak pergi diusir senja. Burung-burung beranjak pulang sembari menyajikan nyayian penudur matahari punah. Aku masih duduk di kursi tua ini. Di depanku masih suasana yang biasa. Kertas putih penuh coretan. Ingin ku memulai menulis sepucuk surat untuk Emak yang telah lama tak kunjung pulang.

“Agam…! Agam….! Sesuara panggilan memecahkan hening. Membuyarkan pikiranku. Padahal aku masih merindukan satu pucuk bulan hinggap diantara kejora penuh kedip. Aku sangat merindukan itu.

“ada apa Miwa? Sautku, lepas Miwa menggedor pintu kamarku.

“Nak, sudah magrib, saatnya kau pergi mengaji, bukankah kau tidak mau teungku kembali menghukummu?” sambung miwa seraya mengambilkan baju-baju kotor yang berserakan di atas kasur, di kursi, di dekat jendela, juga yang tersangkut di belakang pintu kamarku.


“baik Miwa, ku pergi sekarang” patuhku pada kata-katanya.

“Miwa adalah satu-stunya orang yang sekarang berada dalam keseharianku, ia tak pernah lelah mengajariku”. Gerutu ku dalam hati sambil memandang mata Miwa yang selalu memancarkan cahaya keindahan yang membuatku hangat dan damai.

“apa yang kau yang sedang kau pikirkan, nak?” Tanya Miwa memecah khayalku!

“tidak miwa, aku tidak berpikir apa-apa, Miwa” elak ku.

“Ya sudah kau cepat pergi mengaji.”

Aku melangkah jauh dari rumah ku. Kulewati puluhan petak sawah yang melintang rapi di hadapanku. Begitu mulianya kampungku. Penuh dengan keindahan, ada gunung, sawah, petani, dan juga mesjid walau kadang hanya ada imam dan muazin saja. Aku disuruh mengaji oleh Miwa, sedangkan tengku yang mengajariku sibuk membuat nama dayahnya dikenal luas. Mungkin niatnya baik, dia mencoba membangun kampung itu dengan caranya sendiri. Tapi, aku juga tidak mengerti mengapa dia lebih memilih membuat shalat berjamaah di dayahnya ketimbang harus ke mesjid yang jaraknya padahal tidak begitu jauh.

Padi-padinya ini mulai sujud, mungkin bukan karena mendengar azan dari mesjid, aku lihat sepertinya padi ini tidak ada lagi yang merawatnya. “Aku jenuh dengan kampung ini, aku sudah sangat jenuh dengan keadaan kampung yang sepi. Apa yang harus kulakukan? Mungkin umurku belum pantas untuk berbicara dihadapan orang kampung. Tapi aku mau ini semuanya berakhir.” Aku terus berjalan, pikiranku mencoba menerawang setiap penjuru sepi.

Sesaat ku dipeluk angin, serasa tubuhku bugil, dinginnya tidak dapat kutahan. Tidak lama kemudian anginpun semakin kencang. Aku lari terbirit-birit seperti orang menghindar amuk peluru, aku pernah melihatnya di kampungku. Pelurunya menembus tulang mereka. Aku tidak pernah tahu siapa yang memegang senjata itu.

“Agam, kenapa kau telat lagi?”

“maaf tengku, disana hujan aku harus berhenti tadi”

“ya sudah, cepat kau wudhu. Bukankah kau belum shalat?”

“baik tengku, sekali lagi aku minta maaf”

Aku sangat kedinginan. Bajuku memang tidak basah, tapi udaranya sungguh sangat membuatku menggigil. Setelah shalat, seperti biasanya tengku mulai membacakan satu demi satu setiap halaman kitab lalu menjelaskannya. Kali ini tengku tidak bisa menemani kami, dia hanya membacakan kitab saja. Kami malam ini mengaji dengan Bang Amir.

Si Amat, Ulih dan Rahmat sangat rajin bertanya, sedang aku hanya diam saja. Aku belum bisa memusnahkan rasa rinduku pada abah dan emakku. Aku tidak bisa terus begini. Ya, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku selalu diam ketika mengingat emak. Haruskah aku memburunya dalam setiap ingatan? Aku sudah jenuh. Aku harus berbuat sesuatu. Aku ingin emakku pulang.

“bang Amir, kenapa kampung kita sangat sepi? Dimana sekarang pak Amat yang hilang kemarin malam, pak Rusli, juga Bang Daman yang selama ini juga tidak pernah aku lihat lagi.” Entah apa yang aku pikir, semestinya aku tidak bertanya itu.

“Agam, jangan berbicara tentang itu. Sebaiknya kita lupakan saja.” Jawab bang Amir

“ada apa dengan kampung kita?” tanyaku dengan suara yang lebih lantang.

. Matanya meruncing. Kepalanya tak berhenti berpaling ke kiri dan ke kanan. Bang Amir adalah seorang pembantu tengku. Dia juga guru mengaji disini. Bang Amir lah yang sering menggantikan tengku saat ia berhalangan. Suasana menjadi hening dan sangat sepi. Tak ada lagi yang berbicara. Sepertinya binatangpun enggan bersuara.

Aku meninggalkan bilik pengajian. Aku bergegas pulang ke rumah. Malam kian larut. Aku terus berjalan melewati sawah yang diapit oleh pegunungan menjulang membunuh cahaya bulan yang terlihat mencoba menembus pucuk-pucuk cemara itu.

Hujan terus membasahi tanah, kebun, sawah dan kampungku pun mulai sunyi. Tak biasanya aku pulang selarut ini. Sepertinya kampungku telah lelap. Mungkin pintu-pintu rumah mereka semuanya telah rapat terkunci. Mereka sangat ketakutan jika membayangkan saat sekelompok bertopeng hitam membawa pak Amat jauh dalam gelap.

Aku masih berlari melawan amuk hujan. Angin berusaha membuatku kecut dan basah oleh percik hujan hingga akupun mengakhiri langkahku di sebuah gubuk kecil, tepat di tengah sawah.

Diam ku di tempat ini seakan membawa petaka. Dan kemudian aku benar-benar kembali menjadi sepi. Aku tidak bisa menahan rasa dingin yang terus memburu tubuhku. Hujan sepertinya mangutuk langkahku. “Apa yang harus aku perbuat? Aku sungguh takut pada kegelapan”. Sepi kian merundung membuatku dikerumuni rasa rindu pada emak. “dimanakah emak sekarang? Mengapa mak tak mau pulang melihatku? Apakah mak bosan, atau apa amak?”

Waktu terus berlanjut menjauh. Aku tertidur dianatara kebisuan dan dinginnya angin malam. Tiba-tiba datang sekelompok orang berpakaian perang. Aku tidak begitu mengenal mereka. Mata mereka jelas menusuk dan membuayarkan rasa kantukku.

“Sedang apa kau di sini, bocah kecil?” tanya salah satu dari mereka.

“aku...aku...aku kehujanan, pak?” dengan susah payah mulutku menembus angin yang membuatku terus menggigil, ditambah lagi dengan kehadiran mereka yang belum aku kenal sebelumnya.

“Kau masih kecil, kenapa kau tidur di sini? Apa kau tidak punya rumah?” mereka terus bertanya padaku. Aku tidak tahu menjawab apalagi. Satu persatu diantara mereka mencoba menanyakan – tentang kampugnku, lahir di mana, sekolahku, dan aku anak siapa? – tentang diriku.

“apakah kau melihat orang lewat di sini? Mereka berempat. Bajunya hampir sama dengan kami. Dan mereka juga membawa senjata. Kau melihatnya”. Aku kian kecut dan sangat takut usai salah seorang dari mereka menanyakan itu. Tubuhnya kekar. Aku tidak begitu jelas melihat wajahnya karena ditutupi oleh kain hitam. Tubuh mereka semua basah. Akan tetapi kenapa mereka tidak juga menggigil kedinginan. Aku yang tidak basah saja merasa hampir seluruh tubuh ini kaku.

“tidak, pak. Selama aku berada disini aku tidak melihat siapapun yang lewat.”

“kau berniat membodohi kami? Kua masih kecil. Jangan coba-coba menipu kami” sikap sangar mereka keluar sepertinya ingin mencabik-cabik mulutku.

Aku tidak tahu mesti berbuat apa. Aku ditampar lebih dari tujuh kali. Aku meresa sangat pusing dan telingaku berdengung hingga aku sampai di rumah. Aku masih merasakan sakitnya tamparan mereka.

Masih terbayang di setiap sudut ruang pikiranku, tubuhnya kekar, tegap, sepatunya sangat lebar dan keras. Mereka menggunakan tas besar dan mereka juga membawa senjata kemanapun mereka pergi. Sungguh aku tidak bisa melupakan saat mereka menamparku.

“emak, tubuhku sangat sakit. Telingaku masih berdengung. Haruskah aku balas perbuatan mereka?” setiap saat aku terus digelumuti perasaan tidak enak. Lalu ku ambil sebuah kertas dan pulpen. Aku ingin menulis surat. Ya, suratku untuk emak yang tidak pernah aku lihat lagi.


kepada Emak Niffa

Di -

Kampung Sunyi


Emak, sekarang aku mulai beranjak dewasa. Miwa yang berkata itu. Saat ini Agam sungguh sangat ingin melihat wajah Mak. Semenjak emak pergi sepi dan selalu sunyi yang Agam rasa. Mak, Agam sudah dipindahkan ke kelas yang baru di sekolah yang lain juga. Miwa bilang aku sudah naik kelas. karena sudah tidak ada lagi tempat ku di sekolah dulu. Kini aku sudah punya sekolah baru dan perlengkapan sekolah baru yang dibelikan Miwa dan Pak Wa untukku.

Maaf, bukan aku tak lagi memakai baju yang Mak beli dulu. Mak, sekolah ku sekarang sudah sangat beda. Memang baju masih putih sama seperti yang emak belikan dulu. Akan tetapi celana ku tak lagi merah, sekarang aku pakai celana biru pekat agak hitam, kata oarang-orang warna itu namanya biru dongker.

Mak, engkau berada dimana sekarang???

Pernah sekali aku bertanya pada Miwa. Dia selalu berusaha membuat ku tak lagi bertanya tentang emak. Hingga kuputuskan untuk tak bertanya lagi karena memang tak pernah ku temu jawabnya. Mak, aku setiap pagi ke kedai kopi Cek Wan. Aku membantu Miwa mengantarkan kue yang dia buat setiap malam. Setiba aku disana pasti orang-orang melihat aku dengan mata yang kejam. Banyak diantara mereka berucap nama Niffa saat melihat aku tiba di kedai itu. Bukankah Niffa itu nama Mak? Mungkin benar, sebab mata mereka merah bengis menatapku. Tapi dalam ucap mereka Niffa tak seperti mak yang lembut, penyayang, dan tak pernah melihat senjata. Pernah Nyak Maneh bercerita padaku sedikit tentang emak dulu. Tapi kini Nyak Maneh sudah tidak ada lagi. Malam itu ada sepuluh orang datang kerumahnya. Lalu aku melihat dia dibawa ke hutan. Setelah itu aku tak pernah mendengar lagi kabar tentangnya.

Mak tau? Racau mereka, mak punya bedil, Mak musuh tentara, Mak sudah bisa membunuh dengan tangan Mak. Benarkah itu Mak? Ah,... mak aku tak percaya! Tapi ingatanku mulai resah saat mereka sering berkata tentang itu. Maka aku tulis ini untuk mak.

Mak, apa yang engkau lakukan sekarang dan dimana engkau sekarang???

Agam sangat rindu pada Mak. Malam itu Agam tertidur di Jambo blang. Agam tak pergi mengaji seperti suruh Miwa. Agam tidak pergi karena saat itu hujan. Agam tunggu hujan reda hingga agam ketiduran.

Mak, masihkah kau mengingat bisikan itu? saat aku tidur kau berbicara tentang kehidupanku saat dewasa nanti, tentang kau ingin bertualang bersama abah. Saat kau rindu hingga ingin memelukku. Saat aku di Jambo itu, bisikan itu seakan kembali berdengung di telingaku, maka aku lelap karena aku begitu merindukanmu.


Mak, apakah kau temukan abah?

Kenapa tak pernah ada kabar tentang itu? Aku begitu rindu wajah abah, aku ingin ia membawakan aku mainan bedil.


Mak, aku akan terus giat sekolah untuk mendapatkan hadiah itu saat abah pulang nanti...

Aku ingin mewujudkan cita-cita mu yang pernah kau ucap tentang harap, padaku dulu!

Mak, akan ku jadikan cita-citamu itu menjadi sebuah kenyataan yang memungkinkanmu bahagia melihat keberhasilanku.

Tamat sekolah nanti. Agam akan pergi ke Banda dengan Pak Wa. Agam akan segera menjadi seorang tentara seperti yang mak bilang sebelum abah pergi ke hutan lalu tidak kembali pulang hingga waktu itu mak menyusul. Sekarang mak juga tak pulang.

Mak, jika ucap orang-orang di kedai itu benar. Masihkah kau mau aku menjadi seorang tentara? Atau aku harus bagaimana? Mengikuti jejakmu ke hutan?

Mak, jika kau pulang nanti, ceritakan padaku tentang kepergianmu selama ini. Karena kerinduanku sudah aku catat semua di buku yang Miwa beli untuk kupakai di sekolah. Saat guru mengajar tidak satupun kata yang aku tulis. Aku hanya sibuk sendiri, aku menulis rasa hati ini untuk emak. Apa emak marah padaku?

Mak, sudah lima tahun kau pergi! Akan tetapi kampung ini seakan telah melupakan tentangmu. Mereka hanya mengenalmu sebagai pembunuh. Aku tak bisa menggambar rupamu. Namun, siapa yang membunuh Yah Cek yang menjadi pengkhianat di kampung kita? aku masih mengingatnya rupanya yang penuh dengan kemunafikan. Tapi yang Aku lihat pembunuh Yah Cek memakai cadar putih, rambutnya terikat dibelakang dan dia memegang bedil yang besar. Matanya hampir sama dengan matamu. Maaf mak, tapi memang hanya mata dan rupamu yang saat ini masih aku ingat. Mengapa aku bilang hanya mata yang aku ingat pada si pembunuh Yah Cek itu... mak tau? Cadarnya menutupi seluruh wajahnya. Yang nampak hanya kedua matanya. Rambutnya terlihat terikat karena angin menghempas penutup kepalanya saat dia menarik tubuh Yah Cek dengan kawannya ke dalam hutan.

Aku tidak tahu jelasnya kemana mereka pergi. Tapi entah kenapa dia tidak membunuhku, padahal saat dia mencoba menembak Yah Cek, aku melihatnya dan dia juga lama memperhatikan aku.

Saat teringat kata orang-orang di kedai kopi itu, aku menjadi kuat dan tidak takut lagi. Karena aku pikir yang membunuh Yah Cek itu adalah emak. Maaf!!!

Mak, buat aku bahagia sedikit saja! Mak, walau tidak engkau balas satupun suratku. Tapi aku sangat berharap kau mau membacanya. Mungkin aku akan tahu kabar emak dan abah dari angin malam ketika aku juga mati.


Salam,..

Agam Nurdin-Niffa


Akmal MR, lahir pada 26 Feb ’1987 di Lam U, Aceh Besar. Mantan Komandan Brigade PII Aceh Besar ini sekarang aktif di Teater Gemasastrin Unsyiah dan bekerja di Episentrum Ulee Kareng.



5 comments:

elindasari said...

Akmal, Bintang kagum akan tulisan "cerpenmu". Apakah itu fakta yang kau alami ?. Gimana kabar Mak , Abah kini ?.
hem Bintang masih ahnyut dalam cerita itu...

Best Regard,
Bintang
http://elindasari.wordpress.com

Cinta said...

aku sudah baca Buku Gemasastrin. bagus banget. selamat buat semua penulis muda di Aceh.

aries said...

salut, imajinasinya sngt bgs...

Akmal MR said...

terima kasih sudah singgah..

Akmal MR said...

Bintang, ini kisah yang kutulis untuk sahabatku.
kabar Mak dan Abahnya tak ada yang pernah tau lagi.
mereka telah pulang ke kampung yang sunyi sekali.