18.7.14

Ketika pertama kali membaca tentang berbagai pengalaman mengabdi di daerah terpencil yang ditulis oleh Sarjana Mendidik daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal angkatan pertama, saya langsung jatuh hati untuk bisa menjadi bagian dari mereka. Selang beberapa bulan setelahnya, program yang sama terbuka kembali bagi lulusan sarjana pendidikan di seluruh Indonesia. Saya langsung mendaftarkan diri dan syukur diterima dari LPTK Universitas Syiah Kuala, Aceh. Bersama 101 sarjana lainya, saya bertugas di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.

Di Kaputen Sanggau, saya tinggal di Desa Entikong yang merupakan desa terakhir yang berbatasan langsung dengan distrik Serawak, Malaysia. Selama satu tahun berada di dusun Serangkang, Desa Entikong, tentu memiliki banyak kenangan seru yang tak mudah dilupakan. Dusun yang dihuni oleh masyarakat dayak Sungkung ini memiliki penduduk yang cukup ramah. Tidak ada penduduk muslim di sana, meskipun saya beragama Islam, saya disambut dengan ramah dan baik sekali. Toleransi beragama di tempat itu cukup luar biasa. Saya begitu nyaman dan aman berada di tengah komunitas masyarakat seperti ini.

Saya ingat sekali betapa mereka menghargai waktu saya berpuasa. Bahkan, kakak angkat saya beberapa kali menyediakan makanan untuk saya saat berbuka. Pun begitu saya juga sering dilibatkan dalam kegiatan adat dusun Serangkang seperti pesta pernikahan, pesta panen (gawai) dan ragam kegiatan lainnya.

Masyakat memfasilitasi semua kebutuhan yang saya perlukan. Bagi mereka, membuat saya nyaman berada di sini adalah tugas mereka sebagai balasan atas keinginan dan kemauan saya untuk mengabdi demi pendidikan dusun Serangkang ini. Begitu kira sambutan yang diberikan oleh Pak Herman Jumani ketika memperkenalkan saya di depan khalayak ramai. Pak Herman Jumani adalah kepala dusun Serangkang yang baik sekali.

Akmal M Roem
Rumah Betang Panjang: tempat berkumpulnya warga Serangkang. Rumah adat yang digunakan sebagai tempat rapat, gelaran pesta adat, pernikahan dan kegitaan umum lainnya. foto: Akmal
Saya ditugaskan mengajar di SMP Negeri 4 Satu Atap Entikong yang letaknya tepat di pinggir dusun Serangkang. Di sekolah ini terdapat 33 siswa yang sangat hebat-hebat. Mereka ternyata mampu menginspirasi saya melakukan banyak hal. Dengan kondisi sekolah yang sangat terbatas, kami bisa melanjutkan pembelajaran dengan baik. Tentu dengan seperti apa yang kami harapkan.

Bangunan sekolah tersebut masih terbilang baru, karena rampung dikerjakan pada tahun 2007. Akan tetapi fasilitas penunjang pendidikan lainnya masih sangat jauh dari apa yang diharapkan. Contohnya  saja perpustakaan, masih sangat banyak buku yang kurang sebagai bahan bacaan anak-anak untuk mendapatkan berbagai informasi.

Ini adalah siswa saya, tak masalah mereka tak punya sepatu buat sekolah :)

Awal-awal tugas di sini, siswa saya menganggap bahwa membaca itu pekerjaan paling membosankan dan tidak penting sama sekali. Mungkin selama ini tidak ada yang mengenalkan pada mereka pentingnya membaca sehingga sewaktu saya mencoba meminta mereka untuk membaca buku, mereka tidak memiliki kemampuan membaca yang bagus. Hanya ada beberapa siswa yang bagus membacanya. Tapi lemah memaknai hasil bacaannya. Ah, tentu mereka punya alasan beragam soal itu. Kebiasaan membaca yang kurang ternyata bisa saya pastikan berdampak pada kurang mampunya mereka menulis dan berbicara. Ini sangat menganggu di minggu-minggu awal saya mengajar di tempat tersebut.

Saya kemudian berpikir untuk lebih dekat dengan mereka. Tidak hanya sebatas guru dan siswa saja. Maka setelah selama seminggu sempat tinggal di pusat kecamatan, saya akhirnya memutuskan untuk pindah tinggal ke dusun Serangkang. Warga memberikan sebuah gudang umum yang kemudian saya gunakan sebagai tempat berteduh. "Markas penyamun" nama yang diberi oleh Niko untuk tempat itu. Salah satu siswa yang sangat sering ke rumah saya. Kampung kami gelap sekali kalau malam hari. Tidak ada listrik di tempat ini. Maka jika berkumpul, sah sudah seperti markasnya penyamun. Berisik dan penuh rencana-rencana.

Beberapa siswa yang sering belajar di rumah saya ini adalah manusia-manusia kecil yang memiliki motivasi belajar yang sangat luar biasa. Sebenarnya mereka lebih suka belajar sore hari. Tapi karena harus berbagi waktu bermain dan juga memberi makan ternak, jadilah mereka sering ke tempat tinggal saya itu malam hari setelah makan malam. Berbekal penerang seadanya, mereka mengerjakan berbagai tugas sekolah.

Sesekali kami bisa berbagi tawa karena melihat salah satu dari mereka yang sedang belajar jadi hitam wajahnya kadang berada terlalu dekat dengan sumbu pelita. Syukur tidak terbakar rambut saja. Tapi begitulah nasib mereka yang tinggal di dusun Serangkang ini. Gelap malam sudah menjadi kebiasaan. Padahal selama ini warga sudah berulang kali mengajukan kepada pemerintah untuk dipasang listrik. Hanya saja belum terealisasi sampai saat ini.

Belajar di Markas Penyamun
 Di sekolah pun demikian, sulit menerapkan pendidikan yang sama seperti di daerah yang terbilang sudah maju. Selain sarana yang belum memadai, tingkat kepedulian masyarakat terhadap pendidikan juga terbilang sedikit apatis. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih memilih berpikir bahwa kelak anak mereka juga tidak akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Mereka akan bekerja di ladang atau kebun sawit milik Malaysia.

Rupa sekolah SMP Negeri 4 Satu Atap Entikong
Saya pernah beberapa kali terlibat diskusi hebat dengan warga di Serangkang terkait masalah pendidikan. Terus terang, mereka sangat mengapresiasi kehadiran saya di tempat ini, namun, tak banyak dari mereka yang juga berpikir pesimis karena melihat kondisi ekonomi dan keadaan pemerintah yang seolah acuh terhadap pendidikan di daerah pedalaman.

Secara umum, akses pendidikan di daerah perbatasan Indonesia - Malaysia ini memang masih jauh dari harapan. Selain sarana di sekolah, jalan menuju ke tempat mengajar juga menjadi permasalahan tersendiri. Kadang, jika hujan lebat, kampung tempat sekolah berada seperti daerah terisolir. Sangat susah untuk dijangkau.

Kondisi jalan saat kami melakukan kunjungan ke sekolah SMP 2 Sekayam
 Selama mengabdi di tempat itu, saya kemudian berpikir bahwa bila ingin mencerdaskan anak-anak didik, tentu harus mengenal lingkungan mereka terlebih dahulu. Mengenali cara mereka menerima dan menelaah apa yang disampaikan oleh guru. Saya selalu berpikir untuk belajar dari mereka. Jadi saya tidak sering memposisikan diri sebagai guru mereka. Malah menjadi teman bermain menjadi lebih mudah mengarahkan mereka. Sulit sekali berhadapan dengan peserta didik yang masih tidak begitu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan di sekolah mereka berinteraksi dengan menggunakan bahasa daerah.

Beberapa bulan mengajar, siswa saya biarkan bebas bermain dengan apa yang mereka inginkan. Bahkan akhirnya mereka lebih suka memilih belajar di perpustakaan. Kelas memang hanya diisi oleh 8 dan 9 siswa saja. Karena hanya itu yang sekolah itu punya. Jadi sangat mudah mengontrol perkembangan pendidikan mereka.

Saya kemudian semakin akrab dan bisa dikata sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hampir setiap hari naik sampan pergi mencari sayur di hutan, menembak ikan di sungai, dan memetik ragam buah-buahan ketika musimnya. Dan justru di tempat itu saya bisa lebih mudah mengenali pendidikan berbahasa kepada mereka. Sepulang dari bermain, kadang saya mengajak mereka menulis puisi dan catatan harian. Hasilnya, menarik sekali!
Buah-buahan yang bebas dipetik di tengah hutan kampung Serangkang


Jika menginginkan mereka bisa menulis dengan lebih bagus, tentu mereka membutuhkan buku bacaan tambahan agar mereka bisa mendapatkan informasi-informasi baru. Saya kemudian berinisiasi dengan beberapa teman-teman dari LPTK Aceh untuk mengadakan sebuah kegiatan dalam bentuk donasi buku. Kegiatan yang kami beri nama "One Man, One Book!"

Gerakan satu orang menyumbang satu buku ini mendapat respon positif oleh masyakat luas. Saya memposting tentang itu di twitter dan facebook juga dibantu oleh beberapa teman-teman media lokal di Aceh, akhirnya terkumpul beberapa ratus judul buku dan majalah bekas yang sangat bermanfaat menurut saya.

Buku yang terkumpul itu kemudian saya serahkan kepada warga dusun Serangkang untuk membuat sebuah perpustakaan kampung yang bisa diakses oleh semua orang. Senang rasanya bisa membantu mereka mengenal dan menemukan masa depan mereka.

Bagi saya sendiri, kontribusi selama berada di sana mungkin masih jauh dari yang diharapkan oleh pemerintah, dalam hal ini ditjen pendidikan tinggi melalui program SM3T. Tapi saya sudah bekerja maksimal hingga saat ini masih menyempatkan menghubungi mereka untuk sekedar bertukar kabar. Mereka sudah menjadi bagian dari cerita dalam kehiduapan saya. 

Banyak hal yang saya pelajari dari mereka. Berhadapan dengan masyakat Dayak yang dulu hanya saya baca di internet. Tapi dengan mengikuti program SM3T saya bahkan harus mengikuti prosesi adat saat meninggalkan kampung damai itu.

Apa yang sudah saya lewatkan selama berada di tempat itu sedang saya rawat dengan menulisnya berulang kali. Seperti tulisan-tulisan sebelumnya yang ada di blog ini. Saya hanya sangat berharap bisa segera kembali ke tempat itu untuk bisa mengabdi seperti dulu sehingga bisa menjadi teman bermain dan belajar untuk mereka yang masih menyimpan asa menjadi orang yang penting untuk negara yang mereka cintai ini. Semoga!


Surabaya, 18 Juli 2014
Akmal M Roem, saat ini sedang mengikuti Pendidikan Profesi Guru di Universitas Surabaya.



3 comments:

Mawi Wijna said...

Tetap sabar dan semangat ya mengajar di daerah terluar Indonesia! :D

Kadang saya bingung, jalannya benar-benar jalan tanah seperti itu apa memang tidak ada niat dari pemerintah setempat untuk membuatnya jadi jalan aspal. Apa sih ya kendalanya?

Mi Nurmi said...

Salut sama kakak.

Salam sukses. Salam kenal dari saya asal Kalimantan Timur, angkatan ke IV SM-3T. :)

Hye In said...

;-(
Bismillaah.... aku pengen ke situ juga