10.5.07

manezz-bu4n9et009.jpgAkmal MR

Rumah kecil itu makin terlihat kumuh dan lesuh usai kabar kematian Yah Wa setelah memakan nasi bungkus yang ia dapatkan dalam kantong plastik hitam dekat tempat sampah di bawah jembatan kampung itu. Tidak lama setelah melahap isi bungkusan itu jantung Yah Wa terasa panas dan mulutnya mengeluarkan busa putih yang terus mengalir kesudut-sudut tulangnya yang renta.


Semenjak Yah Wa meninggal dunia kini Nek Si Ôn tinggal sendiri dirumah tua itu. Ia sering tak mendengar apa yang orang-orang bilang padanya. Ia menghabiskan hari-hari sendirinya dengan duduk di kursi tua buatan Yah Wa saat mereka baru pindah ke Banda Aceh setelah menikah, Nek Si Ôn terus memandangi matahari surut dan menunggu tanah terang kembali.

Namun kini Nek Si Ôn terus berlajan dari satu tempat ke tempat yang lain sambil menenteng sebuah kantong plastik biru isi kantong itu hanya lembaran-lembaran koran yang terkoyak. Ia mengganggap itu uang. Dan kemudian dia terus berlajalan seraya menancapkan tongkat kuning yang kecil pada setiap langkahnya yang tak kenal dibakar panas ataupun gigil kala hujan.

***

Nek Si Ôn adalah seorang perempuan dari tanah Pasee, ia merantau ke Banda Aceh guna menyelesaikan jenjang pendidikan yang Ia anggap paling penting untuk mengubah kehidupan keluarga mereka. Namanya adalah Zuhra. Dia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Dia hanya seorang anak yatim. Saat umurnya dua tahun, bapaknya meninggal dunia. Hidup hanya berdua dengan Emak membuatnya harus membantu Emak mencari nafkah untuk makan dan biaya sekolahnya, kadang Ia mencuci dan sesekali Ia mengemis di sepanjang pasar di Pasee. Tapi, jika emak tau ia mengemis, celaka! Emak akan membecutnya tujuh kali dengan rotan. Apabila Ia masih membantah maka tujuh kali tambahan becutan baginya karena tujuh merupakan angka sacral di kampong itu. Konon jika seorang sudah murka pada ibu, maka wajib dia dibecut sebanyak tujuh kali sesuai jin yang berada dalam badannya. Biarpun seperti keinginannya untuk bisa sekolah tak jua surut. Ia terus bekerja untuk bisa membayar iyuran sekolah setiap bulannya.

Setelah lama merasa hidup dalam susah, dia akhirnya meminta ijin untuk kuliah di Banda Aceh. “Mak, zuhra pergi ke Banda ya? Zuhra ingin kuliah dan punya kerja disana. Nanti jika sudah selesai, Zuhra pasti pulang, Zuhra ingin kita bisa lebih baik dari ini.” Sambil memanja Ia memilas pada Emaknya agar bisa diijinkan ke Banda.

“tapi nak, emak tak ada uang! Bagiamana kau mau kuliah?” jawab emak sambil mengelus paha yang letih usai menyuci dirumah Cut Ida.

“tidak apa-apa mak, zuhra bisa cari disana! Mak tenang saja, Emak tidak perlu repot dan susah memikirkan Zuhra disana, nanti sesekali Zuhra kirimkan kabar lewat surat buat Mak”.

“ya sudahlah nak, Mak juga tak bisa larang. Tapi kamu jaga diri disana. Jangan pernah bohong sama Emak ya” pinta Mak sambil meneteskan air mata. “yah,. Emak mengapa menangis, kan Zuhra hanya kuliah disana! Nanti Zuhra pasti pulang!”

Ia pun pamit sambil mencium tangan Emaknya yang sudah tua itu. Keesokan harinya ia pergi kerumah Cut Ida dan meminta untuk bisa menumpang ke Banda dengan mobil barang Pak Leman yang hendak membawa kelapa dan jagung hasil panen ke Banda Aceh.

Setiba disana Ia tinggal di rumah Nyak Nie. Ia bekerja sebagai pembantu dirumah itu, Nyak Nie adalah ibu kost yang sekampung dengan Zuhra. Ia memilih tinggal disitu agar tak banyak menghabiskan biaya sewa rumah dan makan. Kerja di rumah Nyak Nie dia dibayar sedikit karena dipotong untuk biaya kost.

Pada suatu pagi minggu, Zuhra sedang menyapu didepan kostnya. Sela itu seorang pemuda menghampirinya dan mereka terlihat akrab berbicara, pemuda itu bernama Junaidi yang akrab dipanggil Yah Wa. Setiap harinya Yah Wa menyempatkan diri melihat Zuhra sebelum Ia kuliah. Kadang mereka pulang dari kampus berdua berjalan kaki melewati kampus yang masih terlihat kumuh tak terawat.

Junaidi tepikat hati dan hendak melamar Zuhra. Saat itu Zuhra masih baru memulai kuliah dan Juniadi berstatus mahasiswa semester akhir. “dek, andaikan abang diijinkan menemui orang tua adek,..” ucap Junaidi pada Zuhra sambil menahan malu. “Tapi bang, bukankah itu terlalu cepat, zuhra masih mau kuliah dan menjadi seorang wanita yang punya penghasilan” jawab Zuhra sambil menjamu muka sayu kepada Junaidi. “ya sudah,..tak apalah dek, moga saja kita dapat bersatu” lanjut Junaidi sambil memandang mata Zuhra. Hanya saja Zuhra tak melontar sepatah katapun, dalam hati Ia hanya bergumam satu kata “amin!”.

***

“Harusnya hari ini anakku mengirimkan surat. Tapi mengapa tak satupun yang datang setelah mereka menikah. Apakah Zuhra telah melupakanku? Aku sungguh tak percaya. Jika hanya gara-gara pemuda itu ia melupakanku, aku sungguh tak bisa menerimanya” gumam emak yang setiap hari menunggu surat datang dari Banda. Namun, beberapa tahun terakhir setelah Zuhra menikah dia tak lagi mengirimkan surat kapada emaknya.

Zuhra dan Junaidi kini hidup berdua membangun rumah tangga dalam kasih, mereka berdua telah tinggal pisah dengan orang tua. Zuhra hanya seorang ibu rumah tangga sedangkan Junaidi kini seorang pekerja bangunan yang keseharinya hanya mampu membawa sedikit makanan untuk dimasak di rumah. Kehidupan seperti ini mereka jalani terus sampai mereka beranjak tua. Sepi dan terus sunyi menghampiri keseharian Zuhra membuat tidak bisa berpikir tenang. Ia sangat mendambakan kehadiran seorang anak untuk menghiburnya kala suaminya pergi mencari nafkah. Namun, itu hanya sebatas angan, dan hanya impian yang luput seperti senja ditelan kesunyian malam.

Gelap malam menghampiri bumi, cahaya matahari telah pudar dan padam dalam senja yang telah diusir malam meraja. Dirumah yang hanya terhias lampu kecil terdengar lirih suara kecil nan manja, “bang, apa yang telah terjadi pada diri kita? Apakah ini kutukan, sudah duapuluh lima tahun lebih kita menikah tak jua tuhan memberikan kita seorang anak. Seharusnya kita sekarang sudah menimang seorang cucu” Tanya zuhra pada Junaidi yang baru saja pulang dari kerja. “entah, jangan kau pikirkan! Jikapun ada anak, apa yang akan kita berikan kepadanya. Untuk sendiri saja susah, apalagi ada anak. Benar aku tak mampu” balas Junaidi sambil mengambil bingkisan kecil yang ia dapat dari bawah jembatan saat pulang dari kerja.

“kau sudah makan? Tadi aku dapat ini di bawah jembatan. Abang cium, sepertinya belum basi makanya abang bawa pulang” Junaidi yang sambil melahap makanan terus mengajak Zuhra untuk makan bersamnya. “tak apalah bang, aku tadi sudah makan, Nyak Ni mengajakku kerumah Zubaidah. Disana aku makan tadi”.

Tiba-tiba Junaidi merasa mual dan terjaduh dilantai. Suasana hening berubah menjadi suram tatkala zuhra berteriak meminta tolong pada warga sekitar rumah mereka. Dalam sekejap puluhan orang mengerumuni rumah kecil yang berdinding pelepah rumbia itu. “innalillahi wainnailahi raji’un, sabar ya Nyak! Yah Wa sudah tiada”. ucap seorang pemuda sambil membersihkan busa yang terus keluar dari mulut Yah Wa yang terbaring dilantai beralas tikar tua penuh dengan tampalan kain. Keesokan harinya Yah Wa dikuburkan didekat rumah mereka juga. Karena Yah Wa tak punya keluarga dan peninggalan lagi. Hanya tanah dan rumah itulah satu-satunya tumpuan hidup mereka sekarang.

Kini Zuhra hidup sendirian, Ia hanya mkengabiskan waktunya dengan memandangi langit yang kadang gelap dan kadang terang. Sambil tersenyum, ia terus melontarkan pandangannya yang jauh tak bertepi. Surat terakhir buat emak hilang, Emak telah mengggap ia anak durhaka hingga membuatnya tak berani pulang kampung untuk melihat kuburan bapak dan emaknya.

***

“Nek, apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau menghabiskan waktumu duduk sendiri disitu?” Tanya seorang pemuda yang melintas lewat rumah. Nenek tua itu hanya tersenyum dan kemudian berteriak, hingga pemuda itu lari ketakutan. hari-hari terus berganti, Nenek tua itu tak lagi betah melihat rumah yang kian rapuh dan remuk. Ia memilih pergi dan terus berjalan meski tanpa arah dan tujuan. Lumut kesunyian kian membuatnya renta.

Hanya saja ia tak melupakan satu helai jilbab kuning yang diberikan Yah Wa disaat mereka masih pacaran dulu. Jilbab kuning itu kini dibawa kemana Nenek itu pergi, namun Ia tak pernah memakaikan jilbab itu dikepalanya. Ia hanya menggunakan jilbab itu untuk mengikat perutnya yang makin kurus. Dengan tongkat kecil dia menghapiri orang-orang dan meminta uang seribu rupiah. Dia tak mau dikasih uang yang lebih ataupun kurang.

Dia akan selalu memukul kaki orang-orang yang tidak mau memberikan uang seribu padanya. Kadang sambil tertawa dia mengancam akan membungkus orang-orang itu dengan jilbab kuningnya. Sambil tersenyum, ia memilas meminta uang lembar. Jika dikasih uang receh maka ia akan mengamuk.

Semenjak itulah dia akrab dipanggil Nek Si Ôn. Kini ia tak lagi waras, mukanya lesuh dan keriput. Ia terus berjalan dan terus melakukan apa yang dia suka dan mengejar anak-anak yang selalu mengejeknya. Wajahnya yang keriput telah kecil dan runcing. Masih membekas comel wajahnya saat muda dulu.

Ia melintas di atas jembatan kampung itu. Sambil melihat bayang sinar bulan yang melukis diri didamainya air yang mengalir. Tiba-tiba ada seorang pemuda setengah baya membawa bungkusan kecil. Ia menaruhnya didekat tempat sampah. Bingkisan itu sangat rapi. Plastiknya juga hitam. Ia teringat Yah Wa, lalu ia mengejar laki-laki itu. Sambil berteriak memmecah kesunyian malam.

“Kau pembunuh!” ia terus lari mengejar pemuda itu. Kata-kata itu berulang kali ia ucapkan. Dan kemudian ia melihat anjing-anjing mengambil bingkisan itu. Dua diantara anjing-anjing itu juga mati dengan mengeluarkan busa yang sama seperti Yah Wa tempo dulu.


Ulee Kareng, 29 April 2007



Akmal MR adalah penulis lepas dan pegiat sastra. Saat ini aktif di Teater Gemasastrin Unsyiah.

7 comments:

Zoeljadi said...

Leutahat lageeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee....
ka peulheu saboh...dile

Alumni SMA 1 Inja said...

Bak leu teumuleh... nyan mantong dari kamoe...

fakrul said...

siapa sech Nek Si on itu???? kok banyak kawan-kawan yang aktif nulis tentang nek si on

liza said...

saleum,

mantap... cerita jih got, peu ka neu publish?
sang lagee na tom loen baca batjut di milis iacsf
jino baroe loen jak kalon keuno

gusthe said...

Bagus akmal. Jadi pengen blajar ama Bro nech!!

Akmal MR said...

nek si on ada di darussalam.
dia inspirasi kami menulis cerita.
dia orang yang baik sekali

Akmal MR said...

kalheu na jitubiet bak koran pih sigo.. bak majalah detak